Toyota Kijang berwarna hijau lumut, tampak menelusuri jalan raya desa Nania menuju desa Lateri. Pak Kristo tetap berkonsentrasi menyetir mobil, sambil memperhatikan percakapan isterinya, ibu Shinta dan ibu Imah.
"Ibu dokter e, beta sangat berterima kasih, Ahmad bisa tinggal dengan Ibu dokter dan keluarga."
"Iya, usie Imah. Beta dan suami juga senang Ahmad tinggal dengan kami. Samuel juga senang ada Ahmad tinggal di rumah kami."
"Ibu dokter..."
"Ops..." Ibu Shinta menengok ke belakang menatap Ahmad, yang ingin mengajaknya bicara. "Ahmad, kenapa panggil tante, Ibu dokter. Tante kan bukan dokter. Oom Kristo yang menjadi dokter." Ibu Shinta mencoba menyederhanakan situasi, agar  santai dan kekeluargaan.
"Iya, Ahmad. Panggil saja kami, Oom dan Tante. Atau, panggil saja kami, mama Shinta dan papa Kristo. Seperti, Samuel memanggil mama Aya dan papa Mathew."
"I...i...iya, Oom papa Kristo." Ahmad masih merasa kikuk. "Makasih, papa Kristo dan mama Shinta."
"Sama-sama, Ahmad." Pak Kristo dan ibu Shinta, menyahut dengan kompak. Ahmad dan Samuel saling berpandangan, dan tersenyum bahagia. Ibu Imah yang sedang memangku anak perempuannya, ikut tersenyum bahagia. Meskipun, dia harus meninggalkan Ahmad untuk tinggal bersama keluarga Samuel, namun dia percaya dan yakin. Anaknya, Ahmad berada dan tinggal di rumah yang tepat. Bahkan, melalui persahabatan anaknya, ibu Imah pun belajar arti persahabatan dan persaudaraan.
***
Kriiinnggg....Kriiiinnnggg....Kriiiinnnggg. Suara telepon di rumah Tika berdering. Tika keluar dari kamar dan berjalan ke meja telepon di ruang tamu. "Halo, mau bicara dengan siapa?"
"Tika...Tika...Huuuhhh....Huuuhhh..."
"Mia, kamu kenapa?!" Tika memegang teleponnya, dan menyandarkannya ditelinganya rapat-rapat. "Ada apa, Mia?!"
"Tika, Papa...Papa...Beta punya Papa kecelekaan."
"Apa?!" Tika terperanjat. "Papa Anis kecelekaan apa?"
"Huuuhhh...Papa...Papa tertabrak motor, Tika. Papa baru pulang dari kebun, panen keladi dan singkong. Papa ditabrak, Tika."
"Yeah ampun, Mia. Ose sabar ya. Sekarang, ose ada di mana? Beta ikut ose sekarang." Tika berkata kepada Mia, serta mengangguk dan memahami apa yang dimaksudkan Mia. Tika menutup telepon setelah berbicara dengan Mia. Tika memakai jaketnya yang berwarna biru, meminta ijin dari papa dan mama yang sedang duduk nonton di ruang keluarga.
"Ya, Allah. Semoga papa Anis tidak kenapa-kenapa." Ibu Wati menepuk bahu Tika. "Sampaikan pesan mama buat Mia, Tika. Semoga Mia sabar dan kuat. Insya Allah, papa Anis selamat."Â
"Iya, Mama. Nanti Tika sampaikan pesan mama..."
***
Anak-anak sedang berkumpul di beranda rumah Samuel. Mereka sedang membicarakan kecelekaan yang menimpa papa Yohanes, papa Mia. Papa Yohanes, biasa dipanggil papa Anis. Sekarang, Mia sudah pulang ke Kamarian untuk menengok papa Anis.
"Jadi, bagaimana sahabat-sahabat?" Samuel bertanya. "Siapa diantara kita yang akan pulang ke Kamarian, untuk menengok Mia dan keluarga?"
"Menurut beta, kita semua pulang ke Kamarian saja. Kita harus kompak. Papa sahabat kita, Mia sedang mengalami musibah. Kita harus menengoknya." Berty mengajukan pendapatnya.
John yang sedang duduk bersandar di dinding beranda, menjulurkan kakinya. John mempunyai pendapat yang berbeda dengan Berty. "Menurut beta, ini bukan permasalahan kompak atau tidak kompak. Tapi, coba kita berpikir tentang apa yang sebenarnya menjadi kebutuhan Mia saat mengalami musibah ini."
"Maksud kamu, John?" Sisi, bertanya.
"Menurut beta, jika Mia kembali ke Lateri. Mia masih tetap tinggal dan bersekolah karena ada mama Corry, saudara perempuan paa Anis." John berhenti sebentar. "Tapi, bagaimana dengan kehidupan keluarga Mia? Jika, papa Anis belum bisa bekerja karena kakinya patah?!"
Anak-anak terdiam sebentar. Pedro, berujar. "Jadi, sebaiknya uang tiket ferry pergi-pulang ke Kamarian, kita kumpulkan dan berikan untuk menolong biaya kehidupan keluarga Mia. Ketika, papa Anis belum dapat bekerja dua atau tiga bulan ke depan. Mungkin, seperti itu maksud John."
"Tapi, beta tetap setuju juga tentang adanya kebersamaan dan kekompakan." Tandas, Delon. "Beta setuju dengan pendapat Berty. Jika, kita memang tidak dapat pergi semua ke Kamarian. Setidaknya, ada perwakilan dari kita untuk pergi ke Kamarian."
"Oke. Jika memang kita tetap mengutamakan kebersamaan dan memikirkan kebutuhan. Berarti, kita harus memilih siapa diantara kita yang ke Kamarian, menengok papa Anis dan keluarga." Samuel menyimpulkan perbedaan pendapat didalam kelompok.
"Benar apa yang dikatakan Samuel. Tentang apa yang mau kita berikan, baik dukungan moril maupun materi. Kita dapat memberikan dengan kerelaan hati saja."
Anak-anak mengangguk dan menyetujui pendapat Samuel dan Nona. Kebersamaan dan kepedulian diantara mereka, semakin bertumbuh dan berkembang. Akhirnya, mereka memutuskan dan memilih. Pedro, Ahmad, Tika dan Nona yang mewakili kelompok persahabatan dan persaudaraan mereka, menengok Mia dan keluarga di Kamarian. John juga mengajak sahabat-sahabatnya berdoa kepada keluarga Mia, dan memimpin doa secara iman Kristen Protestan.
***
"Jadi, Ann sudah tidak ngompol lagi, mama Aya?!"
"Iya, dokter Kristo." Mama Aya tersenyum senang. Mama Aya sedang berkonsultasi dengan dokter Kristo, tentang perkembangan terapi Ann. "Sekarang, Ann sudah memegang celana atau rok yang dipakainya sambil berkata. Mama, Ann mau pipis ya. Dan, Ann juga sudah tidak meniru dan mengulang-ulang iklan kesukaannya."
"Oh ya?!"
"Iya, Dok. Saya mengikuti saran dokter. Beta mendampingi Ann menonton televisi, dan mengatur waktu menonton televisi juga. Saya juga mengajak Ann bermain, menyanyi dan membaca buku."
"Wow! Syukurlah." Pak Kristo, tersenyum senang.
"Tapi, Dok..." Mama Aya memegang ujung meja dan menatap dokter Kristo. "Ada kebiasaan baru Ann, Dok. Saya juga tidak tahu bagaimana menanganinya."
"Kebiasaan baru apa, Mama Aya?!"
"Ini, dokter Kristo." Mama Aya berdehem sebentar. "Ann cepat marah dan memukul kepalanya, jika tidak bisa menjawab pertanyaan saya."
Dokter Kristo berpikir sebentar. "Pertanyaan tentang apa, Mama Aya?"
"Tentang huruf.., tentang angka juga..."
"Hanya itu?!"
Mama Aya mengangguk. "Kenapa ya, dokter Kristo?!"
"Hhmmm..." Dokter Kristo memasukan jemari kedua tangan dirambutnya, mengerutkan kening dan bertanya kepada Mama Aya. "Bagaimana cara Mama Aya mengajarkan angka dan huruf kepada Ann?"
"Beta beli poster angka dan huruf. Kemudian, beta menunjuk dan bertanya kepada Ann. Ini huruf apa? Ini angka berapa?"
"Saat Ann tidak bisa menjawab pertanyaan, dan mulai marah dan memukul kepalanya. Mama Aya menghentikan belajar, dan pernahkah menggantikan teknik mengajar yang berbeda?!"
Mama Aya menggeleng dan menjawab. "Tidak pernah, Dok."
"Oh!" Dokter Kristo menghembuskan napasnya sebentar. Dokter Kristo berpikir sejenak, mengingat sharing dan diskusi bersama para orang tua anak penyandang autis di Jakarta. Dokter Kristo mencoba untuk menjelaskan kenapa dan bagaimana menangani perilaku atau kebiasaan baru Ann. Dimana, Ann cepat marah dan memukul kepalanya, ketika tidak dapat menjawab pertanyaan angka dan huruf dari Mama Aya. Pak Kristo berusaha memberikan solusi yang terbaik untuk Ann. Teristimewa, bagi Mama Aya dan Papa Mathew yang berjuang dan bekerja sama untuk menerapi Ann, berdoa dan bekerja. Ora Et Labora.
***
(Writer : Johanna Ririmasse)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H