Mohon tunggu...
Johani Sutardi
Johani Sutardi Mohon Tunggu... Freelancer - Pensiunan Bankir Tinggal di Bandung

Hidup adalah bagaimana bisa memberi manfaat kepada yang lain

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mabuk Laut yang Hebat dalam Perjalanan Kapal Laut merupakan Penderitaan Tiada Terperi

5 April 2021   12:11 Diperbarui: 6 April 2021   21:09 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kusibakan tirai jendela bulat, di luar dalam kegelapan gelombang ombak liar seperti mau menerkam kapal. Aku kaget, KM Lambelu yang besar dan setinggi mesjid itu seperti berada di bawah laut tak berdaya dihantam ombak. Sesaat kemudian yang tampak langit, aku terdorong ke pinggir jendela. Kini kapal seperti kembali di atas laut. Begitu terus-menerus bergantian kapal seolah bergelut dengan gelombang ombak membuat kapal dan segala isinya berguncang-guncang.

Suara adzan subuh terdengar melaui loudspiker, aku terjaga. Heran, rupanya bisa tidur juga tadi malam. Betul kata petugas restoran, tidur adalah obat mujarab. Perutku sudak tak mual lagi, sakit kepala mulai berkurang. Istri dan anak-anak masih terlelap, aku bangkit untuk pergi ke mushala. Badan masih terasa oleng, kupaksakan pergi, merangkak di selasar. Di geladak tampak langit sudah mulai terang, fajar menyingsing kemerahan. Kapal melaju di Selat Sunda. Orang ramai bercerita soal gelombang besar yang menghantam kapal semalaman terutama saat memasuki perairan Bengkulu.

Anehnya para penumpang di dek ekonomi tidak terlalu mengeluhkan penderitaan itu. Kehidupan sehari-hari jauh lebih pahit daripada pahitnya angin laut, katanya. Tuhan Maha Adil, orang yang memilki keterbatasan ekonomi diberi ketangguhan dalam menghadapi ganasnya alam. Di lambung kapal mereka ditempatkan di dek paling bawah berhimpitan macam pindang Deles, benturan ombak tidak begitu terasa. Sementara yang hidup berkecukupan terlalu manja dalam keseharian, berhadapan dengan gelombang dan angin laut jungkir balik mabuk kepayang. Ditempatkan di dek paling atas agar "menikmati" goncangan kapal yang sangat hebat. Sengaja ditata seperti itu karena yang berkecukupan mampu membeli obat.

Setelah melewati Selat Sunda kapal melenggang di laut Jawa yang tenang. Ketika kuberi tahu bahwa tak lama lagi kapal akan tiba di Tanjungpriuk, istriku sumringah. Kami pun berempat naik ke geladak untuk memandang daratan dari laut. Pukul dua siang aku menginjakan kaki di dermaga Pelabuhan Tanjungpriuk. Kepala masih sedikit limbung tetapi pikiranku meyakini bahwa penderitaan sudah akan berakhir. Beberapa jam lagi akan sampai di Kuningan, sudah terbayang-bayang wajah Emak, yang kutinggalkan lebih dari dua tahun. Aku pun bergegas mencari kendaraan darat.

Beberapa tahun hidupku dididera efek krisis moneter sehingga setiap hari menelan pahitnya hidup di perantauan. Tetapi tidak bisa melawan penderitaan tak terperi saat mabuk laut yang hebat sepanjang perairan Bengkulu, hanya semalam saja.

#salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun