Mohon tunggu...
Johani Sutardi
Johani Sutardi Mohon Tunggu... Freelancer - Pensiunan Bankir Tinggal di Bandung

Hidup adalah bagaimana bisa memberi manfaat kepada yang lain

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mabuk Laut yang Hebat dalam Perjalanan Kapal Laut merupakan Penderitaan Tiada Terperi

5 April 2021   12:11 Diperbarui: 6 April 2021   21:09 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kapal yang berbobot mati lebih dari 14 ribu ton itu selesai dibangun di galangan kapal terbaik di Jerman tahun 1997. Baru berusia 3 tahun ketika kami menumpangnya. Dinding lambungnya berwarna kuning keemasan, di bagian atasnya yang merupakan dak untuk penumpang bekelas berumpak-umpak bercat warna putih yang semakin semarak dengan lampu yang menyala terang. Betul-betul memesona, pemandangan yang tak pernah kulihat sebelumnya. Ingin segera aku melompat ke dalamnya.

Menurut informasi petugas di dermaga kapal itu mampu berlayar dengan kecepatan rata-rata 18 knot. Aku tidak mengerti kecepatan kapal laut dengan satuan knot itu yang katanya setara hampir 2 kilo meter per jam, sehingga 18 knot setara 36 km/jam. Terhitung hebat kemampuan mesin kapal itu mendorong bangunan dan penumpang manusia dan barang yang bisa mencapai puluhan ribu ton.

Setelah melalui petugas pengecekan tiket kami masuk ke atas kapal. Aku menyeret koper kecil berisi pakaian berempat untuk keperluan selama di kampung sambil menuntun Putri, si Sulung. Istriku menggendong Bagus, anak laki-laki terkecil sambil menenteng polybag berisi oleh-oleh dan susu formula. Sebelum masuk ke dak, di ujung tangga aku menengok ke belakang, melambaikan tangan ke Pak Endang dan istrinya yang masih menunggu di dermaga. Mereka membalas dengan melambaikan tangan juga. Mereka tampak kecil terlihat dari atas kapal.

Petugas memberi petunjuk kami untuk menemukan kamar sesuai dengan yang tertera dalam tiket. Kapal seluas itu tidak mengangkut banyak penumpang malam itu dari Pelabuhan Sibolga. Kami pun dengan mudah menelusuri lorong-lorong hingga menemukan kamar di dak penumpang paling atas. Di dalam kapal situasinya sangat bersih dan terawat. 

Bau pengharum ruangan beraroma rempah membuat nyaman bernapas. Ketika berhasil membuka kamar kapal dengan kunci aku terpesona ketika melongok ke dalamnya. Sekalipun tidak luas  betul-betul layaknya kamar hotel berbintang seperti cerita Pak Endang. Di dalamnya terdapat dua tempat tindur kecil dari besi dengan kasur busa yang empuk dibungkus seprey warna putih lengkap dengan bantal dan selimut wol. Ada meja kecil, cermin dan tempat sampah. Sementara itu dalam toiletnya yang sempit terdapat washtapel, wc duduk, tempat sabun, gantungan handuk dan shower. Aku menghirup napas panjang menyedot aroma rempah-rempah memenuhi paru-paru, merasa nyaman dan puas dengan harga tiket yang sesuai.

Di dinding di antara dua tempat tidur terdapat jendela bulat yang bisa mengintip ke luar. Tidak tampak Pak Endang dengan istrinya yang mungkin masih menunggu sampai kapal berangkat karena jendela menghadap ke laut. Lautpun tak tampak karena jarak jendela ke permukaan laut tak kurang dari 40 meter. Yang tampak hanya langit yang sudah gelap.

Tidak lama kemudian sepertinya kapal mulai bergerak. Terasa sedikit bergoyang pelan, kapal besar itu bergeser perlahan menyusul bunyi terompet kapal yang khas, meraung. Setelah cukup beristirahat kami menuju restoran untuk menikmati makan malam.

Untuk penumpang kelas satu disediakan restoran khusus untuk sarapan, makan siang dan makan malam. Restoran menyediakan menu yang cukup untuk makan malam. Ada nasi putih, sup, ayam goreng, tumis sayuran. Minuman yang tersedia berupa air mineral, teh dan kopi. Boleh memilih yang paling disukai boleh juga mengambil semua minuman yang tersedia. Ketika menyantapnya di meja restoran kecil yang cukup untuk empat orang itu tidak berasa kalau kami sedang makan di atas kapal. Hanya sedikit bergoyang yang tidak terlalu mengganggu.

Sehabis makan aku mengantar istri dan anak masuk ke kamar, sementara aku naik ke geladak untuk menikmati suasana kapal di malam hari di area terbuka. Di geladak paling atas suasana sangat terang dan ramai dengan orang-orang yang nongkrong sambil minum kopi, makan mi instan atau sekedar mencari angin. Mereka datang dari dek berkelas atau dek penumpang ekonomi. Aku memandang ke daratan yang gelap, hanya telihat kilau-kilau lampu dari bangunan rumah di pinggir pantai. Kapal mulai menjauh dari daratan.

Lewat pukul 10 malam geladak atas masih ramai. Aku mengantuk dan turun ke bawah menuju kamar untuk beristirahat. Baru terbangun setelah terdengar adzan subuh, aku pun bangkit menuju mushala di geladak atas.

Di geladak atas sudah ramai lagi dengan orang-orang begitu juga mushala penuh sesak. Dari atas geladak tampak daratan seperti mendekat. Lampu-lampu tampak lebih terang, gedung-gedung bangunan terlihat lebih jelas. Rupanya itu adalah dermaga di Pelabuhan Telukbayur. Dalam satu jam ke depan KM Lambelu akan singgah bersandar di sana untuk bongkar muat sampai lewat tengah hari. Penumpang orang dan barang biasanya lebih banyak dari pada yang naik dari Pelabuhan Sibolga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun