Kusibakan tirai jendela bulat, di luar dalam kegelapan gelombang ombak liar seperti mau menerkam kapal. Aku kaget, KM Lambelu yang besar dan setinggi mesjid itu seperti berada di bawah laut tak berdaya dihantam ombak. Sesaat kemudian yang tampak langit, aku terdorong ke pinggir jendela. Kini kapal seperti kembali di atas laut. Begitu terus-menerus bergantian kapal seolah bergelut dengan gelombang ombak membuat kapal dan segala isinya berguncang-guncang.
Suara adzan subuh terdengar melaui loudspiker, aku terjaga. Heran, rupanya bisa tidur juga tadi malam. Betul kata petugas restoran, tidur adalah obat mujarab. Perutku sudak tak mual lagi, sakit kepala mulai berkurang. Istri dan anak-anak masih terlelap, aku bangkit untuk pergi ke mushala. Badan masih terasa oleng, kupaksakan pergi, merangkak di selasar. Di geladak tampak langit sudah mulai terang, fajar menyingsing kemerahan. Kapal melaju di Selat Sunda. Orang ramai bercerita soal gelombang besar yang menghantam kapal semalaman terutama saat memasuki perairan Bengkulu.
Anehnya para penumpang di dek ekonomi tidak terlalu mengeluhkan penderitaan itu. Kehidupan sehari-hari jauh lebih pahit daripada pahitnya angin laut, katanya. Tuhan Maha Adil, orang yang memilki keterbatasan ekonomi diberi ketangguhan dalam menghadapi ganasnya alam. Di lambung kapal mereka ditempatkan di dek paling bawah berhimpitan macam pindang Deles, benturan ombak tidak begitu terasa. Sementara yang hidup berkecukupan terlalu manja dalam keseharian, berhadapan dengan gelombang dan angin laut jungkir balik mabuk kepayang. Ditempatkan di dek paling atas agar "menikmati" goncangan kapal yang sangat hebat. Sengaja ditata seperti itu karena yang berkecukupan mampu membeli obat.
Setelah melewati Selat Sunda kapal melenggang di laut Jawa yang tenang. Ketika kuberi tahu bahwa tak lama lagi kapal akan tiba di Tanjungpriuk, istriku sumringah. Kami pun berempat naik ke geladak untuk memandang daratan dari laut. Pukul dua siang aku menginjakan kaki di dermaga Pelabuhan Tanjungpriuk. Kepala masih sedikit limbung tetapi pikiranku meyakini bahwa penderitaan sudah akan berakhir. Beberapa jam lagi akan sampai di Kuningan, sudah terbayang-bayang wajah Emak, yang kutinggalkan lebih dari dua tahun. Aku pun bergegas mencari kendaraan darat.
Beberapa tahun hidupku dididera efek krisis moneter sehingga setiap hari menelan pahitnya hidup di perantauan. Tetapi tidak bisa melawan penderitaan tak terperi saat mabuk laut yang hebat sepanjang perairan Bengkulu, hanya semalam saja.
#salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H