Mohon tunggu...
Johani Sutardi
Johani Sutardi Mohon Tunggu... Freelancer - Pensiunan Bankir Tinggal di Bandung

Hidup adalah bagaimana bisa memberi manfaat kepada yang lain

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Telur di Ujung Tanduk

24 Januari 2020   20:30 Diperbarui: 24 Januari 2020   20:35 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebagai orang baru di dunia perbankan aku merasa gugup ketika hari pertama masuk sebagai trainee. Sebelumnya aku tidak pernah membayangkan bagaimana bekerja di bank, menjadi nasabah sebagai deposan atau debitur pun belum pernah. Hanya sekali saja selama hidupku mengalami berurusan dengan bank saat menerima beasiswa dari Departemen P & K -kemendikbud sekarang, pada Tahun 1983 untuk menerima sejumlah uang tunai dari kasir di BRI Cabang Asia-Afrika Bandung.

Sebenarnya bukan benar-benar tidak tahu karena pada saat wawancara sudah diinformasikan bahwa formasi yang tersedia adalah untuk pegawai unit. Tetapi yang kubayangkan sekalipun sebagai pegawai unit mengingat aku lulusan sarjana mestinya bertugas di bagian manajerial. Ternyata tadi pagi baru diberi tahu oleh Kasi Rutang bahwa tidak memandang latar belakang pendidikan semua yang memulai bekerja hari ini akan ditugaskan di unit desa sebagai deskman -juru buku, customer service sekarang. Sebagai pembekalan maka selama satu minggu akan diberi pembelajaran tata buku ringkas baik teori maupun praktek.

Mengawali pembelajaran itu di hari pertama kami belajar melakukan jurnal pembukuan.

"Jawilem datang ke bank untuk melakukan setoran ke tabungan atas namanya sebesar 30 ribu rupiah. Maka jurnalnya Debet Kas sebesar 30 ribu dan Kredit Tabungan Jawilem sebesar 30 ribu"

Aku tidak habis mengerti kenapa orang melakukan setoran ke tabungan jurnalnya menjadi kredit?

Tak perlu banyak tanya, kata pengajarnya. Nanti belakangan akan tahu sendiri.

Beruntung aku duduk di samping Kurniadi, kawan baru yang sama-sama sarjana tetapi mengisyaratkan sudah banyak tahu tentang perbankan.

Kurniadi kawan baruku ini usianya 30 tahun, terpaut 5 tahun lebih tua dari usiaku, sarjana ekonomi berasal dari Cianjur. Berperawakan tinggi besar. Perutnya sudah sedikit maju ke depan sehingga tampak terlalu makmur untuk orang yang baru mau sehari bekerja di bank. Kemeja putih yang dikenakan berlengan panjang tampak dari bahan yang berkualitas, begitu juga celana panjangnya yang berwarna hitam kemilau dengan garis bekas setrikaan yang runcing di bagian depan dan belakangnya. Sepatunya vantopel hitam mengilat, rambutnya disisir rapi dengan minyak rambut yang tercium wangi. Penampilannya tampak menawan sangat kontras denganku yang culun. Tadi pagi aku nyaris salah menilai, kupikir ia pimpinan di kantor ini.

Ayahnya sebelum meninggal adalah pegawai Bank BRI. Selain itu ada beberapa saudaranya yang bekerja di Bank BRI. Paman dari ibunya bahkan bekerja di Kanca BRI Indramayu sebagai Acount Officer. Pantas ia begitu paham dengan kultur di perusahaan ini.

"Kalo orang mengatakan bekerja di bank ibarat telur di ujung tanduk. Artinya apa?" aku bertanya kepada Kurniadi saat jeda dari pembelajaran pertama. Untuk materi berikutnya sudah diunformasikan oleh Kasi Rutang bakal terlambat mengingat yang ditugaskan sedang on the spot.

"Siapa bilang?" Kurniadi balik bertanya.

"Tadi saat makan siang di warung sebelah. Ada seorang Bapak, saya gak tahu bekerja di seksi apa, mengatakan demikian." Aku menjelaskan.

"Begini, bekerja di bank itu menyandang predikat yang berat di masyarakat." ia menjawab.

Setelah berpikir sejenak ia melanjutkan dengan memberi penjelasan panjang lebar.

Sebagai pegawai yang berkecimpung dalam mengelola keuangan masyarakat umum memandang pegawai bank itu hidupnya bergelimang dengan uang. Padahal faktanya tidak demikian. Memiliki penghasilan lebih tinggi dari pegawai negeri atau pegawai lain mungkin saja tetapi kalau bergelimang dengan harta apalagi untuk orang yang baru meniti karir tentu sangat tidak masuk akal. Sebagian pegawai tidak ambil pusing dengan pandangan masyarakat umum itu tetapi sebagian lainnya ingin mewujudkan persepsi itu menjadi kenyataan. Bahkan berharap dapat membuktikannya secara instan.

Ayahnya pernah bercerita tentang seorang pekerja yang dipecat karena persoalan sepele, di awalnya. Orangnya sangat cerdas dan teliti serta loyal dalam bekerja. Tetapi, setan tak pernah pilih bulu untuk kepada siapa harus menggoda.

Saat mengajukan dokumen untuk minta persetujuan, atasannya terlihat menggunakan arloji yang melilit di pergelangan tangannya. Ia tertarik dan ingin segera memilikinya. Saat bersamaan setan sedang mencari korban. Maka timbul dalam pikiran pegawai muda itu untuk berbuat curang.

Saat ada seorang datang di hadapannya untuk melakukan setoran tabungan ia menyambutnya dengan ramah. Seperti biasanya. Ia mencatat di buku nasabahnya, tetapi pada pembukuan bank ia lakukan koreksi pembatalan. Uangnya sebesar lebih dari harga sebuah arloji ia tilap.

Besoknya jam tangan mengkilat sudah melilit pada pergelangan tangan kirinya. Kawan-kawan dekatnya bangga dan memujinya sebagai orang yang pandai mengelola uang sehingga belum sampai 3 tahun bekerja sudah sanggup membeli arloji mewah.

Untuk menutupi tabungan nasabah yang dicurinya ia lakukan penyetoran dari orang lain dengan cara mengelabuinya seperti yang pertama, sebesar yang dibutuhkan kalau cukup. Sedangkan bila tidak cukup ia lakukan dari beberapa orang. Begitulah terus menerus tutup lobang gali lobang. Karena merasa aman ia pun tambah berani sampai dalam beberapa bulan berikutnya ia sudah mengendarai sepeda motor baru. Kawan-kawan dekatnya tidak curiga mengingat sebelum masuk bekerja ia anak seorang kaya raya di kampungnya.

Sampai satu saat tibalah waktunya. Apa yang ditabur itulah yang akan dipanen. Pada pagi hari Jumat atasannya mengabarkan kalau ia akan dimutasi. Hari Senin depan harus sudah aktif di unit kerja baru. Ia tercengang mendengarnya dan terduduk lemas. Sejak pagi itu wajahnya murung sampai sore menjelang tutup kantor. Kawan-kawan dekatnya menduga ia bersedih karena akan meninggalkan kawan-kawan dekatnya, sementara di unit kerja baru tentu ia harus menyesuaikan diri untuk membangun persahabatan baru sehingga terbentuk kawan-kawan dekat yang baru.

Hari Senin ia tak masuk bekerja di unit kerja baru, begitu juga hari Selasa dan Rabu. Hari Kamis atasan barunya mengunjungi rumahnya untuk memastikan kenapa pegawainya tidak masuk bekerja tanpa kabar.

Ketika sampai di rumahnya atasan barunya kecewa. Hanya ada istri dan anaknya yang masih kecil. Istrinya mengatakan bahwa suaminya pergi mengendarai sepeda motornya tanpa memberi tahu mau ke mana sejak Sabtu pagi. Ia hanya menitipkan buku yang diminta disampaikan kepada siapa pun pegawai dari kantornya yang datang ke rumah.

Rupanya uang nasabah yang digunakannya ia catat dalam buku kecil itu meliputi tanggal penggunaan, nama nasabah, nomor rekening beserta kapan ditutupi: dari nasabah nomor rekening dan nama siapa serta tanggal berapa. Dicatat juga nama dan nomor rekening nasabah-nasabah yang uangnya masih belum ditomboki. Catatan yang tertib dan rapi, memudahkan pemeriksaan. Semudah itu juga ia kehilangan pekerjaan.

Aku menggelengkan kepala.

"Ada juga atasan yang terjungkal karena ulah pekerja!" kata Kurniadi.
"Kok, bisa."

"Ceritanya begini..."

Seorang pekerja meminjam uang kepada debitur bank sebagian kecil dari pinjaman yang sudah dicairkan. Untuk mengembalikannya ia meminjam lagi kepada debitur lain. Begitu seterusnya dengan jumlah yang semakin membengkak seirama dengan syahwatnya yang terus meningkat. Ketika tak ada lagi debitur yang mau pinjami maka pinjaman debitur menjadi macet yang membuka akal bulusnya. Atasan turut bertanggung jawab sebab pada setiap putusan kredit ada persetujuan atasan dalam dokumen yang disimpan di bank. Atasannya itu tidak sampai dipecat karenanya, tetapi jabatan yang sudah lama dirintis, hilang begitu saja.

Aku menggeleng-gelengkan kepala.

"Betul-betul menyakitkan." kataku
"Sangat!" kata Kurniadi geram.

Belum lagi soal persaingan meraih jabatan antar pegawai. Semakin bernafsu ia menjelasakan.

"Ayah saya yang menjadi korban." Kurniadi mengucapkannya sambil menatap langit-langit. Matanya menerawang.

Tidak lama ia pun melanjutkan ceritanya. Jabatan ayahnya wakakanca. Sebelum dipromosikan untuk menduduki jabatan kepala cabang tiba-tiba sakit yang tak jelas penyebabnya. Telah mencoba berobat ke mana-mana tak kunjung sembuh penyakitnya sampai akhirnya meninggal sehabis memuntahkan belasan paku berkarat dari mulutnya.

Aku tak bisa berkata-kata. Kurniadi kembali menatap langit-langit. Air matanya meleleh.

Aku merasa berdosa memintanya bercerita.

Ia pun mulai meraung-raung. Tangan kanannya dipukul-pukulkan di atas meja.

Aku ke luar ruang rapat memberi tahu Kasi Rutang. Tidak lama kemudian seorang pegawai masuk -belakangan aku tahu itu paman dari ibunya.

Kurniadi mengikuti isyarat pegawai yang baru masuk itu lalu mengikuti ke luar ke tempat parkir. Tak lama kemudian ia sudah duduk di sadel sepeda motor Honda Win, membonceng. Pulang.

Besoknya sebelum pengajar datang kami sudah berada di ruang rapat. Kurniadi datang seperti biasa. Ia masuk ke ruang rapat dengan membawa tas. Wajahnya biasa saja -pikirku. Tak menyisakan mimik sedih padahal hari kemarin menangis meraung-raung.

"Menjadi pegawai bank tidak boleh kosong, harus berisi."  suara Kurniadi nemecah kesunyian. Ia mulai membuka tasnya.

Dari dalam tas ia mengeluarkan kitab tebal, mushap Al-Quran. Tak lama jari-jari tangannya mulai membuka-buka halaman Al-Quran dan mulai mengaji, membaca Al-Quran dengan suara keras.

Kami kaget dibuatnya dan reflek berseru.

"Haaahh..!"

Sebaliknya,  Kurniadi juga kaget. Ia berhenti mengaji lalu bangkit berdiri. Matanya melotot. Tiba-tiba telunjuknya menuding kami.

"Kalian tidak suka!" teriaknya.

Mendengar keributan di ruang rapat seorang pegawai masuk ke ruang rapat. Rupanya Bapak yang kemarin, paman Kurniadi dari ibunya. Seperti kemarin ia pun memberi isyarat. Kurniadi pun menurut, segera ia mengemasi tasnya. Pulang.

Hari Kamis Kurniadi tak masuk lagi begitu juga hari berikutnya. Ia pegawai bank yang terlalu dini pensiun. Hanya 3 hari.

Pada hari-hari pertama aku bekerja di bank aku memperoleh bekal yang sangat berharga. Yang pertama adalah materi pembukuan, suatu yang paling mendasar dalam operasional perbankan. Yang kedua tentang telur di ujung tanduk. Kurniadi -kawanku, yang hanya bertemu beberapa saat tetapi telah memberiku bekal materi yang jauh lebih penting. Tentu di sebagian ceritanya terkandung unsur-unsur subjektif, tetapi banyak hikmah yang bisa digali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun