Aku tak bisa berkata-kata. Kurniadi kembali menatap langit-langit. Air matanya meleleh.
Aku merasa berdosa memintanya bercerita.
Ia pun mulai meraung-raung. Tangan kanannya dipukul-pukulkan di atas meja.
Aku ke luar ruang rapat memberi tahu Kasi Rutang. Tidak lama kemudian seorang pegawai masuk -belakangan aku tahu itu paman dari ibunya.
Kurniadi mengikuti isyarat pegawai yang baru masuk itu lalu mengikuti ke luar ke tempat parkir. Tak lama kemudian ia sudah duduk di sadel sepeda motor Honda Win, membonceng. Pulang.
Besoknya sebelum pengajar datang kami sudah berada di ruang rapat. Kurniadi datang seperti biasa. Ia masuk ke ruang rapat dengan membawa tas. Wajahnya biasa saja -pikirku. Tak menyisakan mimik sedih padahal hari kemarin menangis meraung-raung.
"Menjadi pegawai bank tidak boleh kosong, harus berisi." Â suara Kurniadi nemecah kesunyian. Ia mulai membuka tasnya.
Dari dalam tas ia mengeluarkan kitab tebal, mushap Al-Quran. Tak lama jari-jari tangannya mulai membuka-buka halaman Al-Quran dan mulai mengaji, membaca Al-Quran dengan suara keras.
Kami kaget dibuatnya dan reflek berseru.
"Haaahh..!"
Sebaliknya, Â Kurniadi juga kaget. Ia berhenti mengaji lalu bangkit berdiri. Matanya melotot. Tiba-tiba telunjuknya menuding kami.