Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Nilai Rasa yang Kadang-kadang Membuat Kita Tergelincir

25 Agustus 2021   03:13 Diperbarui: 25 Agustus 2021   05:19 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dimensi sampul buku. Sumber: proglobalbusinesssolutions.com

Dalam bahasa Indonesia ada peribahasa "Tepuk dada tanya selera" yang dimaknai sebagai "Pertimbangkan segala sesuatu sebelum melakukan suatu pekerjaan."

Bak sebuah neraca, keseimbangan terjadi di antara 2 sisi, "dada yang ditepuk" dan "selera yang ditanya."

Ini berpotensi menimbulkan masalah, karena dalam bahasa Indonesia kita juga mengenal "nilai rasa." "Nilai rasa" tentunya berkelindan dengan "selera" dan selama kita memiliki selera yang sama akan nilai rasa itu, masalah tersebut tidak muncul ke permukaan.

Contoh: Dimensi
Kata sifat "dalam," kata benda "kedalaman," nilai yang dirasakan banyak orang masih sama, "Kedalaman sungai itu hanya beberapa meter."

Tapi begitu kita memasuki kata sifat "tinggi," kata bendanya, "ketinggian," mulai menimbulkan nilai rasa yang berbeda. Ada yang memaknai ketinggian sebagai:

1. "Ukuran tinggi," misalnya "Ketinggian kota Jonggol adalah 68 meter di atas permukaan laut," dan ada pula yang memaknainya sebagai:

2. "Kelewat tinggi," misalnya "Jangan ketinggian menaruh harapan kepada seseorang, karena kalau dia tidak bisa memenuhi harapanmu, engkau akan lebih kecewa."  

Makna kedua kalimat di atas masih bisa kita serap dengan mudah, itulah nilai rasa masing-masing kalimat menurut konteksnya.

Namun, begitu kita memasuki kata sifat "panjang" dan "lebar," makna kalimat ke-2 sudah lebih memagut, coba renungkan.

Akibatnya, kita menggunakan kata panjang dan lebar sebagai kata sifat sekaligus kata benda: "Panjang dan lebar meja itu masing-masing 1 meter dan 0,8 meter."

Nilai rasa mengalihkan penggunaan kata-kata, yang jika kita ikuti kaidah dasarnya (pembentukan kata benda dengan menambahkan imbuhan ke- dan -an pada kata sifat) seharusnya: "Kepanjangan dan kelebaran meja itu masing-masing 1 meter dan 0,8 meter." Logika kalimat ini jadi lebih sulit diserap bukan?

Ajar
Definisi ajar adalah petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui (dituruti). Mengajar adalah memberi petunjuk dan belajar diberi petunjuk.

Kata dasar berupa kata kerja ini menimbulkan masalah ketika menggunakan subjek dan objek, dan dibedakan dengan pengajar dan...... pelajar.

Jika kita telusuri pembuatan kata semula, "ajar" memiliki 2 arah dan menjadi "mengajar" dan "belajar" (mestinya berajar, namun sekali lagi, nilai rasa membuat kata ini kurang mudah diserap, karena bisa dimaknai sebagai: "memiliki ajar").

Orang yang belajar disebut pelajar dan bahan yang diajarkan atau dijadikan petunjuk disebut pelajaran.

Mungkin nilai-nilai rasa yang bercampurbaur ini mengilhami Andrias Harefa (Andrias Harifa)* untuk mempopulerkan istilah "pembelajar" sebagai objek dari pengajar (subjek) dan "pembelajaran" yang menurutnya lebih tepat ketimbang pelajaran.

*Catatan pinggir:
Nama Andrias tidak tercatat dalam bahasa mana pun, yang ada adalah derivatif kata Andreas dari bahasa Yunani dalam berbagai bahasa, lihat: Andrew, dan yang paling mendekati adalah nama perempuan, Andria (tanpa "s" di belakangnya).

Yang mengherankan saya, marga suku Nias, yang jelas-jelas adalah Harefa, diganti menjadi marga "alternatif": Harifa. Apakah ini juga berkaitan dengan nilai rasa karena "e" pada "Andreas" diganti menjadi "i"?

Bukan hendak menambah-nambahkan, sebenarnya saya punya usulan (jika kita merasakan apa yang diraskaan oleh Andrias), kenapa tidak kita gunakan saja pengajar - terajar dengan mengikuti analogi penuduh - tertuduh?

Namun, lagi-lagi, nilai rasa yang dibangkitkan oleh derivatif kata "ajar" bervariasi menurut selera orang-orang.

Menurut saya, nilai rasa yang ditawarkan oleh Andrias cukup masuk akal, namun, belakangan, ada orang yang memiliki nilai rasa yang "lebih mutakhir lagi" dan mengusulkan makna "pembelajar" yang kata dasarnya "belajar" sebagai "pengajar" atau "orang yang membelajarkan" dan "pembelajar" Andrias diganti menjadi "pemelajar." Nah lho, gejala hiperkoreksikah ini?

Menurut saya juga, makna kata ini terlalu diregangkan dan saya lebih memilih menggunakan usulan Andrias yang selama ini juga terasa baik-baik saja.

"Pembelajar" lebih mengarahkan kita ke kata dasar "belajar," sebuah kemandirian yang tak tergambarkan jika kita menggunakan kata "murid," yang langsung mengarahkan pikiran kita ke "guru."

Belajar bisa kita lihat sebagai sebuah kata dasar yang menambahkan awalan "bel" pada kata yang lebih dasar atau kata asal "ajar," mirip dengan:
- Depan, kedepan (taruh atau buat lebih di depan), kedepankan, mengedepankan.
- Muka, kemuka (taruh atau buat lebih di muka), kemukakan, mengemukakan.

Dengan situasi yang diuraikan di atas, saya mau mengajak para pembaca untuk "meluruskan" nilai rasa lain yang jauh lebih mudah dibenahi sebagai berikut:

Pinjam
Pinjam, meminjam: memakai barang (uang dan sebagainya) orang lain untuk waktu tertentu (kalau sudah sampai waktunya harus dikembalikan).

Meminjami: memberi pinjam, contoh: dia meminjami aku uang.
Meminjamkan: memberikan sesuatu (barang, uang, dan sebagainya) untuk dipinjam, contoh: dia meminjamkan sepeda motor kepada saya.

Sampai di sini tidak ada masalah, tetapi begitu kita masuk ke:
Pinjaman (KBBI): yang dipinjam atau dipinjamkan (barang, uang, dan sebagainya).

Di sini terlihat kerancuan yang timbul akibat penyamaan "dipinjam" dengan "dipinjamkan" yang mengabaikan arah dari subjek ke objek atau sebaliknya.

Jika kita tertib, arah "meminjam" adalah dari subjek, orang yang menerima:
1. Pinjaman.
2. Dari orang yang meminjamkan.
3. Barang yang dipinjam.

Jadi, peminjam adalah orang yang dipinjami pinjaman yang dipinjam olehnya, atau orang yang dipinjami pinjaman yang dipinjamkan kepadanya. 

Menyamakan "dipinjam" dengan "dipinjamkan" adalah fatal.

Dengan berpegang secara tertib pada kaidah dasar, maka kita tidak kesulitan memaknai arah loanword (kata pinjaman), misalnya "Kata pinjaman Indonesia dalam bahasa Belanda" yang sama maknanya dengan "Kata pinjaman Belanda dari bahasa Indonesia."

Memang, sebagai pelaku pinjam-meminjam kita hanya menggunakan kata peminjam, karena tidak bisa membentuk kata "peminjamkan" seperti pada pasangan kata "meminjam" dan "meminjamkan" (mudah-mudahan sampai di sini tidak menimbulkan kebingungan).

Alternatifnya, serupa dengan di atas, adalah peminjam dan terpinjam.

Kata "pinjam" ini memunculkan nilai rasa yang kurang lebih sama dengan "beri."

Hiperkoreksi dengan Penghilangan atau Penambahan Kata "Tidak"
Selalu: tak pernah tidak pernah.

Mena: kira-kira (dengan pertimbangan rasa).
Tidak semena-mena: dengan tidak kira-kira, semau-maunya, sewenang-wenang.

Namun, kadang-kadang nilai rasa yang menyamakan kata "mena" dengan "wenang" membuat orang memaknai sewenang-wenang sebagai semena-mena, padahal yang benar adalah "tidak semena-mena."

Ini serupa dengan kata "geming."
Geming, bergeming: tidak bergerak sedikit pun, diam saja.

Bagi sebagian pengguna bahasa Indonesia, nilai rasa membelokkan pemaknaan "tak bergeming" sebagai "diam": "Dia tak bergeming walau disodori uang miliaran Rupiah" (salah), "Dia bergeming walau disodori uang miliaran Rupiah" (benar).

Kandung, mengandung: hamil
Nilai rasa membuat kita hanya menggunakan kata "menghamili," tak pernah "mengandungi."

Adalah sebuah kreativitas untuk mengurangi pengaruh nilai rasa pada kata ini dengan menggunakan kata "konten" (isi, kandungan) untuk membedakannya dengan "kandungan berupa janin."

Bahasa Indonesia juga tidak sampai menggunakan kata "mengandungkan."

Dalam bahasa Batak, saya pernah mendengar ungkapan:
Arga nai arga na (mahal kali harganya).
Arga: mahal, harga.

Salam literasi.

Jonggol, 25 Agustus 2021

Johan Japardi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun