“Ingat. Harapan. Kenapa memangnya ?”
“Apa yang kau lihat di sana ?”
“Tunas hijau...”
“Itu bukan sekedar tunas hijau, itu harapan yang begitu mendekati kenyataan. Harapan yang sesungguhnya. Kau tahu mengapa manusia bisa terantuk dan terjatuh ?”
“Karena ttidak hati-hati, karena terlalu sering melihat ke belakang, ke masa lalu. Benarkan ?”
“Benar. Tapi sering manusia juga terantuk dan jatuh karena terlalu melihat ke atas. Ke langit. Melihat pelangi. Keindahan. Harapan yang begitu tinggi.”
“Maksud mu ?”
“Kau lihat tunas-tunas hijau itu bukan ? Tunas-tunas harapan itu sering terinjak dan mati karena orang tak melihatnya. Harapan dan kesempatan yang harusnya dipelihara hingga jadi besar sering mati karena terabaikan. Orang terlalu melihat ke atas, lupa melihat ke bawah. Lupa kalau jalaan bisa berbatu dan berbelok. Saat terantuk dan jatuh atau bahkan tersesat banyak yang tetap tidak sadar dan menyalahkan keadaan yang tak bisa dirubah. Keindahan memang sering membutakan dan membuat orang tak realistis ya.....”
“Ia juga sih, selain itu pelangi tak muncul di malam hari. Saat hujan berhenti dan pelangi tidak muncul, tunas-tunas tersebut terus tumbuh tanpa mengenal waktu.”
Kita tiba di ujung setapak. Pelangi tak lagi tampak. Mendung kembali menguasai langit membuat senja datang lebih cepat dengan warna yang berbeda. Abu-abu kemerahan.