Mohon tunggu...
Jooe Rheynald
Jooe Rheynald Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Kehidupan hanyalah jeda singkat antara kelahiran dan kematian

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Senyuman Pelangi

2 Oktober 2014   13:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:41 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1412207555475061442

Pelangi adalah lambang dari harapan, kata mu. Aku percaya itu. Aku bergidik ngeri saat hujan turun di malam hari. Gelap. Pelangi tak pernah datang dari hitam yang akromatik. Tak ada harapan. Sisa-sisa hawa dingin yang tertinggal membuat hening yang menenangkan malah jadi mengerikan.

Pagi baru mulai. Hujan turun lagi tanpa peduli. Bumi yang belum sepenuhnya kering kembali basah. Genangan air terlihat di setiap cekungan yang ada. Hujan yang terus turun membuatnya meluap dan mengalir mencari jalan keluar setelah gagal meresap ke dalam tanah. Hujan lalu berhenti. Langit masih mendung. Gerombolan awan hitam menghalangi kehadiran matahari. Tak ada pelangi. Sia-sia aku menanti kehadiran lengkung cahaya warna warni itu. Sudah seminggu ini hujan turun tanpa memberi jeda panjang bagi kita untuk melangkah lebih jauh dari rumah.

“Alam benar-benar tak dapat dimengerti,” keluh ku pada mu.

“Kita lah yang seharusnya bersabar Gus, bukan kah ini lebih baik ketimbang siang panas yang berdebu ?” kata mu.

Pelangi yang dinanti akhirnya muncul. Kau tersenyum sumringah. Bumi yang basah perlahan mulai mengering oleh hangatnya cahaya mentari yang muncul setelah absen beberapa hari terakhir. Langit biru sempurna. Mentari telah condong ke barat. Sudah lewat tengah hari.

Lihat, bagus kan ? Tidak sia-sia bukan kita menunggu seminggu terakhir untuk momen ini ?”

Pelangi yang bagus,”kata ku tanpa menatap langit.

Lengkung merah muda pucat di wajah mu lebih menarik hati ku ketimbang lengkung polikromatik di atas sana. Terlalu lama menatap mu tak baik, itu bisa membuat perasaan ini mudah kau tebak. Itu tak baik. Kau sahabat ku. Aku ingin kau tahu kau berarti lebih dari sekedar sahabat bagi ku. Ada tempat istimewa di hati yang selalu bisa kau isi kapan pun kau. Sayangnya tak siap kehilangan mu hanya karena penolakan atas tiga kata konyol yang selalu ingin ku katakan pada mu. Aku cinta kamu.

Menjadikan mu sahabat adalah cara terbaik agar tidak kehilangan diri mu. Kau benar-benar seperti pelangi, hadir sebagai pertanda berakhirnya hujan dan hawa dingin. Indah namun terlalu tinggi untuk digapai.

Kita begitu dekat tapi ketakutan ku yang besar membuat jarak yang kadang hanya beberapa inchi itu jadi teramat jauh.

“Jalan-jalan yuk.”

“Ke mana ?”

“Ke mana saja. Ayo...”


Jalanan yang rusak menyisahkan genangan air hujan yang terjebak di dalamnya. Panas matahari akan menguapkan dan membebaskan mereka kembali ke langit. Kumpulan air yang beruntung, tidak seperti perasaan ku yang masih terus terkurung oleh ketakutan. Pinggiran jalan mulai menghijau. Tunas-tunas baru tumbuh dari dalam bumi. Hujan tak seburuk yang dikeluhkan orang. Hujan membuat manusia harus berlindung dan merasa terpenjara tapi pada saat yang sama ia menumbuhkan tunas-tunas hijau dari dalam bumi dan menjaganya beberapa hari hingga cukup kuat menahan langkah manusia yang menginjaknya.

“La, kamu tahu tidak apa yang lebih indah dari pelangi ?”

“Aku ? hehehehe”

“Iya, kamu... Kepedean kamu, hehehe. Coba kamu lihat itu”


Sejenak kita melupakan pelangi. Tunas-tunas hijau itu tampak biasa bagi mu. Tunas hijau itu mungkin seperti aku di mata mu.


“Kau ingatkan apa yang sering kau katakan tentang pelangi ?”

“Ingat. Harapan. Kenapa memangnya ?”

“Apa yang kau lihat di sana ?”

“Tunas hijau...”

“Itu bukan sekedar tunas hijau, itu harapan yang begitu mendekati kenyataan. Harapan yang sesungguhnya. Kau tahu mengapa manusia bisa terantuk dan terjatuh ?”

“Karena ttidak hati-hati, karena terlalu sering melihat ke belakang, ke masa lalu. Benarkan ?”

“Benar. Tapi sering manusia juga terantuk dan jatuh karena terlalu melihat ke atas. Ke langit. Melihat pelangi. Keindahan. Harapan yang begitu tinggi.”

“Maksud mu ?”

“Kau lihat tunas-tunas hijau itu bukan ? Tunas-tunas harapan itu sering terinjak dan mati karena orang tak melihatnya. Harapan dan kesempatan yang harusnya dipelihara hingga jadi besar sering mati karena terabaikan. Orang terlalu melihat ke atas, lupa melihat ke bawah. Lupa kalau jalaan bisa berbatu dan berbelok. Saat terantuk dan jatuh atau bahkan tersesat banyak yang tetap tidak sadar dan menyalahkan keadaan yang tak bisa dirubah. Keindahan memang sering membutakan dan membuat orang tak realistis ya.....”

“Ia juga sih, selain itu pelangi tak muncul di malam hari. Saat hujan berhenti dan pelangi tidak muncul, tunas-tunas tersebut terus tumbuh tanpa mengenal waktu.”


Kita tiba di ujung setapak. Pelangi tak lagi tampak. Mendung kembali menguasai langit membuat senja datang lebih cepat dengan warna yang berbeda. Abu-abu kemerahan.

“Gus, boleh tanya sesuatu ?”

“Apa La ?”

“Aku lebih mirip pelangi atau tunas-tunas hijau itu bagi mu Gus ?”

“Entahlah La.... Mungkin kau seperti pelangi, kau kan suka pelangi bukan ? Yang ku tahu kau adalah sahabat ku.”

“Kau itu seperti hujan bagi ku Gus. Kau hadirkan pelangi dan tumbuhkan tunas-tunas hijau itu. Kau punya hak untuk menentukan arti diri ku bagi mu Gus, bukan berdasar apa yang ku suka. Jangan biarkan pelangi itu hilang begitu saja dan tunas-tunas hijau itu mati layu karena terik matahari. Harapan adalah harapan Gus, semustahil apapun itu ia tetaplah suatu yang baik yang bisa membuat manusia terus bertahan dan berjuang.”


Kita pulang. Percakapan tentang hujan, pelangi dan tunas hijau membawa hening ke dalam kebersamaan kita. Hening yang aneh. Hening yang penuh tanda tanya. Kita mempertanyakan arti diri kita masing-masing. Sekedar sahabatkah ?

“Kau tahu aku menyayangi mu kan La ?”

“Tahu, aku juga menyanyangi mu Gus. Kita sahabat. Sahabat memang saling menyayangi bukan ?”

“Aku menyayangi mu sebagai seorang pria pada wanita. Aku mencintai mu La”

“Aku tak pernah tahu itu. Kau tak penah menyatakan apalagi menunjukannya. Aku menyukai mu lebih dari sekedar sahabat Gus. Tapi aku wanita, aneh jika aku menunjukannya terlebih dahulu. Aku tak tahu di mana tempat ku yang kau sediakan, di langit sebagai pelangi ataukah di bumi seperti tunas-tunas hijau itu. Kau laki-laki, kau lah hujannya. Kau yang tentukan jadi apa dan di mana tempat ku.”


Ku beranikan diri mengenggam tangan mu. Kau menatap ku. Dalam bening bola mata mu aku melihat sebuah dunia yang begitu indah, langit yang berpelangi dan bumi yang menghijau. Harapan yang jadi kenyataan.

You would not believe your eyes

If ten million fireflies

Lit up the world as I fell asleep

'Cause they'd fill the open air

And leave tear drops everywhere

(Owl City - Fireflies)



Langit yang mendung membuat malam begitu gelap. Lampu-lampu rumah sudah menyala melawan gelap yang datang menyergap. Di langit tampak titik cahaya-cahaya kecil bergerak menari. Kunang-kunang. Titik-titik kecil itu menghilang saat rintik mulai turun.

*****

Maumere, September 2014 (Menanti datangnya musim hujan. Siang hari yang begitu panas)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun