Dalam jurnalisme makna, para awak media tetap mematuhi tata kerja sesuai ketentuan sesuai standar ataupun kaidah jurnalistik yang terukur, rasional dan tetap berdedikasi terhadap dunia objektif, yang sekaligus bersikap sensitif, mampu berolahrasa -- sehingga jika dikombinasikan menjadi jurnalisme yang berobjektivitas subjektif.
Membincang dan untuk memahami jurnalisme makna memang tidaklah cukup hanya berlandaskan paradigma positivisme/empiris, namun paradigma kritis akan lebih menuntun dan melengkapi para pewarta sehingga mampu memroduksi info-info penting/mendesak yang akan mencerahkan, menunjang, membantu, memperlancar atau memberikan solusi terhadap peristiwa yang sedang terjadi.
Maka dari itu, mewartakan peristiwa bencana yang kerap terjadi di sekitaran kita, tidaklah cukup hanya dengan modal nekat, aktual, viral, kepentingan sepihak, apalagi hanya demi perolehan 'cuan' tanpa mempertimbangkan dampaknya, baik dampak fisik maupun dampak psikologis tentunya ini mencemaskan.
Semakin melubernya info atas nama freedom (tidak dibarengi responsibility) yang semakin tak terbendung belakangan ini, seperti dilontarkan oleh awak Kompasiana bahwa 'Banjir Info Gempa dan Tsunami NTT Juga Berbahaya' sangat-sangat boleh jadi akan terbukti kebenarnya.
Sayang sekali bilamana di era yang berteknologi modern saat  ini- pemanfaatan ruang publik media hanya  dipenuhi info-info yang 'ringan dan tidak lucu' atau malah hanya dijejali fake news yang menyesatkan. Bukankah ruang publik (public sphere) itu diciptakan untuk memenuhi kepentingan manusia dan kesejahteraan bersama?
JM (16-12-2021).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H