Nah bersamaan saat artikel ini disusun, yang telah disiapkan beberapa hari lalu (ketika terjadi erupsi Gunung Semeru, Jatim)- ternyata dalam perjalanannya menemukan 'teman berlatih' berbagi atau sparring partner yang kebetulan mempunyai kesamaan pandangan tentang perlunya khalayak mengadopsi info tentang bencana yang berasal dari sumber-sumber resmi dan kredibel.
Kredibilitas menjadi penting manakala kita mengonsumsi sajian pemberitaan dalam segala bentuk dan teknisnya. Â Dalam sajian info yang kredibel sangatlah memerhatikan akurasi berita melalui cek dan ricek serta menyantumkan narasumber yang relevan.
Sehingga setiap info yang telah diliput atau dihimpun telah dilakukan proses verifikasi ketika hendak dipublikasikan kepada khalayak luas.
Patut diapresiasi, dalam suasana genting belakangan ini, Kompasiana menurunkan judul artikel: "Banjir Info Gempa dan Tsunami NTT Juga Berbahaya" (14 Desember 2021, Headline) dengan menganalogikan pengalaman gempa Jogja 2006 dan memang sebaran info gempa saat itu diliputi rumor atau info simpang siur dan meresahkan tanpa diketahui sumbernya.
Hal ini sekaligus mengingatkan bahwa derasnya arus informasi (= banjir info) yang setiap saat menerpa lingkungan di mana kita berada ternyata juga berbahaya.
Terlebih menjamurnya jumlah pengguna media sosial cq. ponsel yang telah menjadikan setiap orang boleh menjadi 'wartawan' tanpa pembekalan memadai, sehingga fungsi media komunikasi bukan lagi dapat menunjang (to support), memperlancar, mempercepat penanganan segala persoalan berkait bencana -- namun justru sebaliknya hanya memperkeruh suasana.
Lebih jauh pada kenyataannya, tidak hanya media sosial cq. ponsel yang secara gegap gempita menyebarluaskan info kebencanaan. Media arus utama (mainstream media) di era global pun cenderung ikut serta mewarnai ruang publik sekaligus melanggengkan industri dan bisnisnya.
Atas nama kebebasan dan demokratisasi, fakta yang telah diracik serta dibumbui sedemikian rupa selanjutnya dikemas atau dibingkai (baca: di-frame) menjadikan nilai jual tersendiri.
Belajar dari kasus pemberitaan erupsi Gunung Merapi 2010 (Yogyakarta), gempa bumi dan beberapa bencana banjir yang pernah diwartakan beberapa stasiun TV swasta bahwa peristiwa bencana disiarkan melalui siaran khusus atau melalui breaking news maupun dalam slot jam siaran dan cenderung ditampilkan melalui teknik peliputan satu sisi, hanya terfokus pada aspek tertentu.
Gambar-gambar suasana kepanikan, lokasi bencana yang dahsyat, tempat tinggal warga yang porak-poranda diekspos habis-habisan dan dipublikasikan atau ditayangkan secara berulang-ulang sehingga rangkaian sajian melodrama peristiwa bencana dikonstruksi agar menggugah perasaan iba khalayak pemirsanya.