Barangkali sudah menjadi naluri atau kebiasaan saya yang saban hari bergiat sebagai 'pemulung informasi' selalu menaruh atensi terhadap peristiwa-peristiwa penting.
Terutama peristiwa yang berdampak pada stabilitas sosial maupun stabilitas keamanan (lokal, nasional, atau internasional), selalu menjadi fokus perhatian sehingga perkembangannya bisa diikuti melalui sumber-sumber berita yang kredibel.
Seperti peristiwa bencana yang cenderung simultan melanda negeri ini, mulai bencana non-alam (baca: pandemi Covid-19) sejak Maret 2020, disusul bencana alam seperti banjir, tanah longsor, erupsi gunung Semeru (di Jawa Timur), dan teranyar berita gempa bumi yang belum lama ini mengguncang sejumlah daerah terutama di NTT dan sekitar dengan kekuatan hingga 7,4 SR, terus menghiasi ruang publik media dengan konten berlimpah jumlahnya.
Nilai aktualitas sebuah berita kini semakin tidak menjadikan masalah. Dalam hitungan menit setiap kejadian penting dapat segera diketahui, demikian pula siapa saja yang terlibat dalam peristiwa hingga perkembangannya mudah diakses, bahkan secara realtime. Â Â Â Â
Itu semua berkat kehadiran teknologi informasi yang telah mempermudah manusia untuk saling berkoneksi, saling berinteraksi yang pada gilirannya diharapkan ikut menunjang (to support), membantu mempercepat setiap penyelesaian masalah yang sedang dihadapi.
Namun dalam realita yang terjadi selama ini, sangat disayangkan teknologi yang telah memudahkan manusia melangsungkan komunikasi atau bertransaksi informasi tidaklah serta-merta berfungsi secara optimal.
Di satu sisi, zaman teknologi seperti sekarang kita tidak pernah lagi kekurangan informasi (info). Setiap peristiwa/kejadian dapat segera diketahui dan menyebar ke seluruh penjuru, bahkan 'banjir info' akan melanda setiap saat.
Kini semua orang bisa menjadi pewarta, menyebarkan berita melalui media online tanpa batas, tanpa melalui sensor, sesuai keinginan dan kepentingannya. Kapan dan di manapun setiap orang sangat mungkin melakukan penyebaran info.
Begitu gencarnya difusi pesan ibarat banjir bandang semakin sulit dibendung, bahkan tidak sedikit menyertakan 'kotoran atau sampah-sampah' sehingga bagi mereka yang terkontaminasi menjadi tersesat di kemudian hari.
Itulah sisi lain yang perlu dicermati bilamana kita tidak ingin terjebak atau menelan begitu saja info berasal dari sumber yang tidak jelas.
Nah bersamaan saat artikel ini disusun, yang telah disiapkan beberapa hari lalu (ketika terjadi erupsi Gunung Semeru, Jatim)- ternyata dalam perjalanannya menemukan 'teman berlatih' berbagi atau sparring partner yang kebetulan mempunyai kesamaan pandangan tentang perlunya khalayak mengadopsi info tentang bencana yang berasal dari sumber-sumber resmi dan kredibel.
Kredibilitas menjadi penting manakala kita mengonsumsi sajian pemberitaan dalam segala bentuk dan teknisnya. Â Dalam sajian info yang kredibel sangatlah memerhatikan akurasi berita melalui cek dan ricek serta menyantumkan narasumber yang relevan.
Sehingga setiap info yang telah diliput atau dihimpun telah dilakukan proses verifikasi ketika hendak dipublikasikan kepada khalayak luas.
Patut diapresiasi, dalam suasana genting belakangan ini, Kompasiana menurunkan judul artikel: "Banjir Info Gempa dan Tsunami NTT Juga Berbahaya" (14 Desember 2021, Headline) dengan menganalogikan pengalaman gempa Jogja 2006 dan memang sebaran info gempa saat itu diliputi rumor atau info simpang siur dan meresahkan tanpa diketahui sumbernya.
Hal ini sekaligus mengingatkan bahwa derasnya arus informasi (= banjir info) yang setiap saat menerpa lingkungan di mana kita berada ternyata juga berbahaya.
Terlebih menjamurnya jumlah pengguna media sosial cq. ponsel yang telah menjadikan setiap orang boleh menjadi 'wartawan' tanpa pembekalan memadai, sehingga fungsi media komunikasi bukan lagi dapat menunjang (to support), memperlancar, mempercepat penanganan segala persoalan berkait bencana -- namun justru sebaliknya hanya memperkeruh suasana.
Lebih jauh pada kenyataannya, tidak hanya media sosial cq. ponsel yang secara gegap gempita menyebarluaskan info kebencanaan. Media arus utama (mainstream media) di era global pun cenderung ikut serta mewarnai ruang publik sekaligus melanggengkan industri dan bisnisnya.
Atas nama kebebasan dan demokratisasi, fakta yang telah diracik serta dibumbui sedemikian rupa selanjutnya dikemas atau dibingkai (baca: di-frame) menjadikan nilai jual tersendiri.
Belajar dari kasus pemberitaan erupsi Gunung Merapi 2010 (Yogyakarta), gempa bumi dan beberapa bencana banjir yang pernah diwartakan beberapa stasiun TV swasta bahwa peristiwa bencana disiarkan melalui siaran khusus atau melalui breaking news maupun dalam slot jam siaran dan cenderung ditampilkan melalui teknik peliputan satu sisi, hanya terfokus pada aspek tertentu.
Gambar-gambar suasana kepanikan, lokasi bencana yang dahsyat, tempat tinggal warga yang porak-poranda diekspos habis-habisan dan dipublikasikan atau ditayangkan secara berulang-ulang sehingga rangkaian sajian melodrama peristiwa bencana dikonstruksi agar menggugah perasaan iba khalayak pemirsanya.
Pada tataran inilah sesungguhnya objektivitas produk suatu berita menjadi semakin dipertanyakan. Apakah berita atau info merupakan refleksi dari peristiwa yang terjadi ataukah merupakan representasi atas peristiwa yang dilakukan oleh (subjektivitas) awak media?
Hal ini cukup beralasan, sejalan pandangan tradisi fenomenologi yang menolak pemisahan antara subjek dan objek bahasa.
Dalam tradisi ini disebutkan bahwa subjek atau pengguna bahasalah yang menjadi aktor sentral dalam setiap aktivitas wacana. Subjek-lah yang awal mula memilih dan menggunakan bahasa untuk menyampaikan info dengan maksud-maksud tertentu.
Di samping itu, dalam perspektif ekonomi politik media, komodifikasi demikian mungkin bisa dipahami, namun jika dilihat dari dampak atau efek-efek yang terjadi atas pemberitaan bencana inipun menjadi layak untuk dipertimbangkan kembali.
Para pengungsi erupsi Merapi (2010) sempat dibuat panik oleh gencarnya tayangan yang menyebabkan eksodus pengungsi hingga menyebar ke tempat lebih jauh, sebanyak 550 pengungsi warga Muntilan berbondong-bondong segera pindah ke Nanggulan, Kulonprogo, mencari tempat lebih aman (detikNews, 8/11/2010).
Nah belajar dari pengalaman tersebut, apalagi setiap peristiwa bencana selalu melibatkan manusia dan menyertakan kehidupannya -- maka sayapun masih teringat konsep-konsep dan pemikiran yang telah diwariskan oleh Jakob Oetama (Alm), ketika menerima gelar Doctor Honoris Causa di bidang komunikasi dari Universitas Gadjah Mada (17 April 2003) dalam pidatonya antara lain mengatakan:
Betapa pentingnya penyajian berita yang sarat dengan humanisme dan keadilan, sehingga perlunya menempatkan manusia dan kemanusiaan pada posisi sentral pemberitaan.
Di tengah melimpah ruahnya informasi yang tak terhingga jumlahnya, seorang wartawan menurut beliau tidak hanya memberitakan sebuah peristiwa, tetapi masuk lebih jauh menggali apa makna dari peristiwa itu, sehingga khalayak mendapatkan enlightment (pencerahan). Itulah pemikiran Jakob Oetama, yang selanjutnya dikenal dengan istilah Jurnalisme Makna.
Dalam implementasinya, sajian berita bukan sekadar fakta menurut urutan kejadian, bukan fakta secara linier, melainkan fakta yang mencakup, yaitu disertai latar belakang, proses dan riwayatnya. Masing-masing dikorelasikan, di-interpretasikan sehingga membuahkan arti dan makna dari peristiwanya.
Perlu dipahami, bahwa cara kerja jurnalisme makna ini memang dapat dikatakan subjektif. Namun subjektivitas di sini bukanlah berlandaskan like and dislike (suka-tidak suka), tidak pula berdasar prasangka, termasuk tidak untuk memenuhi kepentingan sepihak, pribadi, kelompok atau partisan.
Lebih dari itu, subjektivitas di sini dalam artian bekerja serius, jujur, profesional dan bertanggung jawab, mulai dari mengumpulkan fakta, menulis, menyunting hingga menyajikannya kepada publik, tanpa meninggalkan pedoman politics of values.
Dalam jurnalisme makna, para awak media tetap mematuhi tata kerja sesuai ketentuan sesuai standar ataupun kaidah jurnalistik yang terukur, rasional dan tetap berdedikasi terhadap dunia objektif, yang sekaligus bersikap sensitif, mampu berolahrasa -- sehingga jika dikombinasikan menjadi jurnalisme yang berobjektivitas subjektif.
Membincang dan untuk memahami jurnalisme makna memang tidaklah cukup hanya berlandaskan paradigma positivisme/empiris, namun paradigma kritis akan lebih menuntun dan melengkapi para pewarta sehingga mampu memroduksi info-info penting/mendesak yang akan mencerahkan, menunjang, membantu, memperlancar atau memberikan solusi terhadap peristiwa yang sedang terjadi.
Maka dari itu, mewartakan peristiwa bencana yang kerap terjadi di sekitaran kita, tidaklah cukup hanya dengan modal nekat, aktual, viral, kepentingan sepihak, apalagi hanya demi perolehan 'cuan' tanpa mempertimbangkan dampaknya, baik dampak fisik maupun dampak psikologis tentunya ini mencemaskan.
Semakin melubernya info atas nama freedom (tidak dibarengi responsibility) yang semakin tak terbendung belakangan ini, seperti dilontarkan oleh awak Kompasiana bahwa 'Banjir Info Gempa dan Tsunami NTT Juga Berbahaya' sangat-sangat boleh jadi akan terbukti kebenarnya.
Sayang sekali bilamana di era yang berteknologi modern saat  ini- pemanfaatan ruang publik media hanya  dipenuhi info-info yang 'ringan dan tidak lucu' atau malah hanya dijejali fake news yang menyesatkan. Bukankah ruang publik (public sphere) itu diciptakan untuk memenuhi kepentingan manusia dan kesejahteraan bersama?
JM (16-12-2021).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H