(Oleh: Jisa Afta)
Jika Puisi bukan teks fiksi, lalu, apakah Puisi termasuk teks nonfiksi? Belum tentu. Untuk menentukan apakah puisi termasuk nonfiksi atau tidak, kita harus melihat tema puisi, bukan gaya dan teknik penulisan pada puisi.
Ada begitu banyak karya nonfiksi di dunia ini yang menggunakan teknik penulisan atau gaya tulis perumpamaan, majas, atau gaya tulis puisi.
Saat ini pembaca atau pendengar puisi, memiliki kecenderungan tertarik pada karya-karya yang memiliki dasar pada realitas nyata, atau bukan karya fiksi atau khayalan.
Sangat sulit mencari pengakuan atau menantang ide berupa penyodoran karya puisi nonfiksi untuk memperkaya dan memperluas nonfiksi. Sebab nonfiksi sebenarnya justru yang belum tentu memiliki jaminan kebenaran mutlak. Pada dasarnya karya nonfiksi selalu harus mengalami proses pengujian data dan fakta untuk menyimpulkan apakah hal benar dalam nonfiksi tersebut melampaui kebenaran relatif, atau masih berada pada tahap kebenaran relatif. Tentunya kita sama ketahui kebenaran yang bersifat relatif bisa saja terbantahkan dikemudian hari bila ternyata ada fakta baru yang menggagalkan kebenaran yang diyakini sebelumnya.
Secara umum karya nonfiksi tidak dituntut harus benar-benar teruji secara faktual, sebab artikel, opini dan kajian sejarah, catatan atau surat-surat berisi pesan bijak pada masa tertentu dan runutan argumentasi sepihak, juga termasuk dalam karya nonfiksi.
Dengan demikian, memaksakan puisi nonfiksi masuk dalam kategori karya nonfiksi, justru melemahkan posisi puisi nonfiksi itu sendiri. Kelemahan jika puisi nonfiksi dimasukan kedalam kategori nonfiksi adalah hilangnya keunggulan dan keindahan seni berkata dalam penuturan gaya bahasa dalam puisi itu sendiri.
Seorang penulis bernama Jessica Wilkinson dalam esai terbitan juni 2020 berjudul "What is Nonfiction Poetry?..." (Apa itu Puisi Nonfiksi?...), Jessica mengetik 'definisi nonfiksi' ke Google; definisi yang muncul -- yang masih muncul -- adalah: 'tulisan prosa yang informatif atau faktual, bukan fiksi'. Mengapa bukan puisi ? pikir Jessica. Apakah puisi yang informatif dan faktual bukan nonfiksi?.
Menurut Jessica Wilkinson, ia sebagai pembaca puisi, selalu tertarik pada karya-karya yang memiliki dasar pada realitas yang dapat didokumentasikan, terutama karya puisi berdurasi panjang yang telah melibatkan banyak penelitian dari pihak penulisnya dan yang bisa dibilang termasuk dalam kategori puisi.
Kesadaran Jessica Wilkinson dalam memandang puisi yang didasarkan pada realitas, tentunya sangat berkaitan erat pada kesadaran persepsi faktual seorang Retno Marsudi dalam karya puisinya berjudul "Palestina Saudaraku", Bung Karno dalam puisi "Pancasila, Dasar Negara", dan Chairil Anwar dalam puisi "Karawang Bekasi".
Kategori 'puisi nonfiksi'. Jordie Albiston, .O., Anne Carson, Susan Howe, Rita Dove, dan Lyn Hejinian semuanya adalah penyair yang puisi-puisi panjang (oto) biografi, dokumenter, dan/atau sejarahnya terus menarik perhatian Jessica Wilkinson.
Puisi nonfiksi yang dimaksudkan Jessica Wilkinson tersebut, tentunya jika mengacu pada kurikulum pelajaran bahasa di Indonesia dan dunia saat ini (tahun 2024) tentunya belum diakui sebagai karya nonfiksi.
Jika Anda penulis puisi yang didasarkan pada realitas faktual atau kenyataan - peristiwa yang sedang terjadi, pasti  Anda tidak akan nyaman bila karya Anda dinyatakan sebagai karya fiksi atau tidak nyata. Dan inilah realitas kategori yang "mengganggu" yang ada pada panduan pelajaran di sekolah kita hari ini.
Sebaliknya, apakah seorang penulis puisi nonfiksi bisa menjawab tantangan struktur kepenulisan nonfiksi dalam puisi nonfiksinya? Sebab bila sebuah karya puisi nonfiksi terlampaui masuk pada level menjabarkan secara terstruktur, maka hal itu pun akan terlampau bergeser dari gaya penyajian puisi sebagai karya seni tulis kreatif.
Kelemahan jika puisi nonfiksi dimasukan kedalam kategori nonfiksi adalah hilangnya keunggulan dan keindahan seni berkata dalam penuturan gaya bahasa dalam puisi itu sendiri. Puisi menjadi semacam kode dan kata sandi membingungkan, sangat rumit untuk dipahami oleh pembaca umum yang mencari informasi terbaru atau berita atau artikel, esai dan lain sebagainya bersifat informatif.
Menurut saya, para penulis esai tentang penulis dan karya kepenulisan fiksi dan nonfiksi dimasa lalu dan saat ini, terlalu referentif. Kata referentif dalam buku buku ini artinya terlalu memaksakan karya seseorang untuk dimasukkan dalam sebuah kategori fiksi atau nonfiksi. Pada dasarnya, para penyair sejati tidak pernah terpaku untuk mendapatkan validasi atau pengakuan apakah karyanya dimasukkan kedalam fiksi atau nonfiksi, sebab kebebasan memilah dan ruang luas sastrawi dalam lingkup puisi yang sangat dinamis inilah yang menjadi pemicu lahirnya ide dan gagasan baru yang tidak akan pernah bisa dibatasi oleh kategori jenis karya nonfiksi ataupun fiksi itu sendiri.
Berikut adalah karya Puisi Nonfiksi yaitu Puisi Autobiografi dari seorang penyair Chili yang menjadi orang Amerika Latin pertama (pria atau wanita) memenangkan Penghargaan Nobel untuk Sastra pada tahun 1945. Namanya Gabriela Mistral dalam "Patagonian Landscapes".
(Puisi oleh Gabriela Mistral , 1889-1957, Chili. Terjemahan bahasa Inggris oleh Liz Henry)
Lanskap Patagonia
I. Kehancuran
Â
Kabut yang tebal dan abadi, hingga aku lupa dimana
Laut telah melemparkanku ke dalam gelombang air asinnya
Negeri yang saya datangi tidak memiliki mata air:
Ini memiliki malam yang panjang seperti seorang ibu yang bersembunyi dariku.
Â
Angin membuat rumahku dipenuhi isak tangis
dan jeritanku, dan pecah, seperti kaca, jeritanku
dan di dataran putih, dengan cakrawala tak terbatas,
Saya menyaksikan matahari terbenam yang sangat menyakitkan mati.
Â
Siapa yang bisa dia hubungi yang datang ke sini?
Andai saja orang mati berada lebih jauh darinya?
Hanya mereka yang merenungkan laut yang tenang dan beku!
tumbuh di pelukanmu dan pelukan tercinta!
Â
Kapal-kapal yang layarnya memutih di pelabuhan
Mereka datang dari negeri yang bukan milikku;
dan mereka menghasilkan buah-buahan pucat, tanpa cahaya tamanku,
Orang-orang mereka yang bermata jernih tidak mengetahui sungai-sungaiku.
Â
Dan pertanyaan yang muncul di tenggorokanku
Saat aku melihat mereka lewat, aku turun, kalah:
Mereka berbicara dalam bahasa yang aneh dan tidak tergerak
bahasa yang dinyanyikan ibuku di negeri emas.
Â
Aku menyaksikan salju turun bagaikan debu di tulang;
Aku menyaksikan kabut tumbuh seperti orang sekarat,
dan agar tidak menjadi gila aku tidak menghitung momennya,
karena "malam panjang" baru saja dimulai sekarang.
Â
Aku memandang dataran itu dengan perasaan gembira dan mengumpulkan kesedihannya,
Saya datang untuk melihat pemandangan yang mematikan.
Salju adalah wajah yang muncul melalui jendelaku;
Getahnya akan selalu turun dari langit!
Â
Selalu dia, diam, seperti tatapan besar
Tuhan atasku; selalu bunga jeruk di atas rumahku;
selalu, seperti takdir yang tidak surut dan tidak berlalu,
Ia akan turun menyelimutiku, mengerikan dan gembira.
Mistral dikelilingi oleh alam saat masih kecil, yang tercermin dalam puisinya. Santiago Dayd-Tolson, seorang sarjana Chili yang menulis buku tentang Mistral, menyatakan, "Dalam  Poema de Chile, ia menegaskan bahwa bahasa dan imajinasi dunia masa lalu dan pedesaan selalu menginspirasi pilihan kosakata, gambar, ritme, dan rimanya sendiri." Bahkan, ketika ia harus meninggalkan desanya yang kecil untuk dapat melanjutkan studinya di Vicua pada usia 11 tahun, ia mengaku tidak akan pernah bahagia lagi. Menurut Dayd-Tolson, "Perasaan telah diasingkan dari tempat dan waktu yang ideal ini menjadi ciri sebagian besar pandangan dunia Mistral dan membantu menjelaskan kesedihannya yang mendalam dan pencarian obsesifnya akan cinta dan transendensi."
Bentang Alam Patagonia
Puisi oleh Gabriela Mistral , 1889-1957, Chili.
Â
I. Kehancuran
Â
Buih laut, tak berujung, tebal, sehingga aku tak dapat menemukan
garis tempat laut menghantamku dengan ombaknya.
Tanah yang kudatangi tak memiliki musim semi:
ia memiliki malam yang panjang, di mana aku tak menemukan ibu.
Â
Angin di rumahku berhembus dengan ratapan
dan lolongan; pecah, seperti cermin, teriakanku.
Dan di padang rumput putih, cakrawala tak terbatas,
aku menatap matahari terbenam yang sangat sedih.
Â
Bagaimana memanggilnya, dia yang telah melangkah
sejauh ini sehingga hanya orang mati yang melangkah lebih jauh?
Orang mati, yang begitu sendirian, mempelajari lautan yang sunyi dan menjadi kaku,
membekukan lengan orang mati, dalam pelukan orang-orang yang mereka cintai.
Â
Kapal-kapal yang layarnya berkibar putih di pelabuhan
berasal dari tanah-tanah yang belum pernah dikunjungi orang-orang yang kucintai;
para lelaki mereka yang bermata cerah tidak mengenal sungai-sungaiku
dan menghasilkan buah-buah pucat tanpa cahaya kebun buahku.
Â
Dan pertanyaan yang muncul di tenggorokanku
ketika melihat mereka lewat, terjawab, takluk:
mereka berbicara dalam bahasa asing dan tidak tergerak
oleh lirik yang dinyanyikan ibuku di tanah emas.
Â
Aku memandangi salju seakan-akan debu kuburan;
Aku memperhatikan kabut terbentuk dan tumbuh bagai penderitaan orang mati,
dan agar tidak menjadi gila aku tidak menghitung detik-detiknya,
karena malam panjang yang kini begitu sepi itu dimulai.
Â
Aku melihat padang rumput yang terkungkung, mengumpulkan rasa sakitnya,
aku yang datang untuk melihat tanah fana.
Salju adalah kemiripan yang muncul di cerminku;
putihnya akan selalu ada, selamanya di bawah langit!
Â
Selamanya, ia akan terdiam dengan agung, bagai tatapan agung
Tuhan kepadaku; selamanya karangan bunga pengantinnya akan diletakkan di atas rumahku;
selamanya, bagai takdir yang tak pernah pudar atau pun terjadi,
ia akan turun untuk menyelimutiku, mengerikan dan penuh kegembiraan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H