A. Pendahuluan
Kejahatan korupsi merupakan bayang-bayang gelap yang melintasi berbagai tingkatan masyarakat dan lembaga di seluruh dunia. Seiring perkembangan zaman, korupsi bukan hanya menjadi masalah internal suatu negara, tetapi juga telah meluas secara lintas batas, memengaruhi stabilitas politik, ekonomi, dan sosial di berbagai belahan dunia. Kejahatan ini mencakup berbagai praktik yang melibatkan penyalahgunaan kekuasaan, penyuapan, dan manipulasi sistem untuk memperoleh keuntungan pribadi, merugikan masyarakat luas, dan merusak fondasi moral suatu bangsa.Korupsi memiliki dampak serius terhadap pembangunan berkelanjutan.
Dari tingkat lokal hingga tingkat global, praktik korupsi dapat merugikan investasi, menghambat pertumbuhan ekonomi, dan menciptakan ketidaksetaraan dalam distribusi sumber daya. Selain itu, korupsi juga menyebabkan lemahnya institusi, merongrong kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, dan menciptakan lingkungan yang tidak kondusif untuk partisipasi warga dalam proses Pembangunan ( Adioetomo, S. M.,2018)
Dalam menghadapi kompleksitas dan kedalaman masalah korupsi, masyarakat internasional semakin menyadari perlunya pendekatan holistik yang melibatkan berbagai elemen, mulai dari penguatan lembaga hukum, peningkatan transparansi, hingga perubahan budaya dan sikap masyarakat. Artikel ini akan mengeksplorasi peran lingkungan sosial dan budaya dalam upaya pencegahan dan penanggulangan korupsi, mengidentifikasi bagaimana nilai-nilai, norma, dan partisipasi masyarakat dapat membentuk fondasi kuat dalam memerangi kejahatan korupsi.Â
Fenomena kejahatan korupsi di Indonesia telah menjadi isu yang kompleks dan terus-menerus meruncing. Dalam upaya memahami akar masalah serta motif di balik perilaku koruptif, pendekatan psikoanalisis Sigmund Freud dapat memberikan wawasan yang menarik. Artikel ini akan menjelajahi diskursus antara teori Freudian dan realitas kejahatan korupsi di Indonesia, sambil memperkaya pembahasan dengan tiga ilustrasi gambar yang menggambarkan berbagai aspek fenomena ini. Indonesia, sebagai negara yang kaya akan keanekaragaman budaya dan sumber daya alam, menghadapi tantangan serius dalam bentuk fenomena kejahatan korupsi.
Kejahatan ini tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga merusak tata kelola pemerintahan, menghambat pembangunan, dan merugikan masyarakat pada umumnya. Fenomena korupsi di Indonesia mencerminkan kompleksitas masalah sosial, politik, dan ekonomi yang perlu dicermati secara mendalam. Korupsi dapat didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan atau posisi dalam rangka memperoleh keuntungan pribadi yang tidak sah. Kejahatan korupsi dapat terjadi dalam berbagai bentuk, termasuk suap, nepotisme, kolusi, dan penyuapan. Setiap jenis korupsi memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap perekonomian, pemerintahan yang bersih, dan pembangunan berkelanjutan.
Ilustrasi 1 : Korupsi di IndonesiaÂ
B. Pembahasan
1. Teori Freudian dan Dinamika Kepribadian
Menurut Freud, struktur kepribadian terdiri dari tiga komponen utama: id, ego, dan superego. Dalam konteks kejahatan korupsi, mungkin ada pertautan antara dorongan-dorongan primitif dari id yang mencari kepuasan segera dan tuntutan moral dari superego yang berperan dalam menghambat perilaku koruptif. Teori Freudian, yang dikembangkan oleh Sigmund Freud, adalah suatu pendekatan dalam psikologi yang menciptakan dasar bagi pemahaman mendalam mengenai dinamika kepribadian manusia. Freud menggagas teorinya pada awal abad ke-20, mengemukakan bahwa perilaku manusia dapat dipahami melalui analisis struktur kepribadian dan proses mental bawah sadar. Dalam esai ini, kita akan mengeksplorasi esensi teori Freudian, komponen kepribadian menurut Freud, serta dinamika yang memengaruhi perkembangan dan fungsi kepribaian manusia.
Dasar-dasar Teori Freudian:
a) Struktur Kepribadian:
Teori Freudian menyatakan bahwa kepribadian terbentuk oleh tiga struktur utama: Id, Ego, dan Superego. Id adalah bagian tak sadar yang mengandung keinginan dan insting-primitif. Ego bertindak sebagai perantara antara kebutuhan realitas dan keinginan Id, sementara Superego adalah internalisasi nilai-nilai moral dan norma-norma sosial. Dinamika antara tiga struktur ini menciptakan keunikan dalam setiap individu.
b) Konsep Ketidaksadaran:
Pemahaman Tentang Alat Psikis: Freud memperkenalkan konsep seperti ego, id, dan superego sebagai bagian-bagian psikis yang memproses informasi dan menghasilkan respons.
Proses Pertahanan: Penggunaan mekanisme pertahanan, seperti represi dan proyeksi, untuk melindungi diri dari konflik batin.
Dinamika Kepribadian Menurut Freud:
Freud mengemukakan bahwa perkembangan kepribadian melalui serangkaian tahap yang ditandai oleh fokus libido (energi psikologis) pada bagian tubuh tertentu. Tahap-tahap ini mencakup tahap oral, anal, falik, laten, dan genital. Pengalaman pada setiap tahap ini membentuk pola perilaku dan konflik internal yang mempengaruhi perkembangan kepribadian.
Tahap Oral: Fokus pada mulut dan pemberian makanan, berkaitan dengan ketergantungan dan kepercayaan.
Tahap Anal: Pusat perhatian pada pengendalian kandung kemih dan tinja, berkaitan dengan pengembangan kontrol diri dan kemandirian.
Tahap Falik: Pemahaman tentang perbedaan gender dan identifikasi dengan orang tua yang sesuai.
Tahap Latensi: Periode di mana energi psikoseksual ditujukan pada pengembangan keterampilan dan hubungan sosial.
Tahap Genital: Kematangan seksual dan orientasi pada hubungan romantis.
Konsep Oedipus Complex:
Teori Freudian menekankan peran penting dinamika seksual dalam perkembangan kepribadian. Kompleks Oedipus, sebagai contoh, merujuk pada konflik internal anak terhadap orang tua yang berkaitan dengan hasrat seksual. Konsep-konsep ini menciptakan dinamika kompleks yang membentuk pola perilaku dan hubungan interpersonal.
Perkembangan Seksualitas Anak: Pada tahap falik, anak mengalami konflik edipal, di mana anak memiliki perasaan romantis terhadap orang tua yang sesuai dengan jenis kelaminnya.
Penyelesaian Konflik: Identifikasi dengan orang tua yang sesuai dan internalisasi norma-norma sosial.
Relevansi dan Aplikasi:
Pemahaman Konflik Internal: Teori Freudian dapat memberikan pandangan mendalam mengenai konflik batin dan ketidakseimbangan dalam kehidupan individu.
Terapi Psikoanalisis: Penggunaan terapi psikoanalisis dalam meresolusi konflik dan memahami aspek-aspek bawah sadar.Teori Freudian membawa kontribusi signifikan dalam pemahaman manusia dan dinamika kepribadian. Meskipun tidak tanpa kritik, warisan Freud terus memengaruhi pandangan kita tentang diri sendiri dan masyarakat. Dengan mengakui kompleksitas lapisan-lapisan kepribadian dan pengaruh bawah sadar, teori Freudian memberikan wawasan penting untuk penelitian dan pemahaman yang lebih mendalam terhadap manusia sebagai makhluk yang kompleks dan unik.
Ilustrasi ke 2 : Dinamika Kepribadian dan KorupsiÂ
2. Proses Pertahanan Diri dan Rationalisasi Korupsi
Freud juga mengajukan konsep pertahanan diri, di mana individu cenderung mengembangkan mekanisme pertahanan untuk mengurangi konflik psikologis. Terkait dengan korupsi, individu mungkin menggunakan rationalisasi untuk meyakinkan diri bahwa tindakan koruptifnya adalah suatu keharusan atau bahkan bentuk keadilan.Â
Proses pertahanan diri dan rationalisasi adalah mekanisme psikologis yang seringkali digunakan individu untuk menjaga diri dari konflik batin dan moralitas. Di tengah kompleksitas dinamika sosial, terutama dalam konteks korupsi, pemahaman mengenai bagaimana individu mengembangkan dan menggunakan mekanisme ini menjadi krusial. Dalam menghadapi konflik dan kecemasan, Ego menggunakan mekanisme pertahanan untuk menjaga keseimbangan psikologis. Contoh mekanisme pertahanan termasuk represi, proyeksi, regresi, dan sublimasi. Mekanisme ini membantu individu mengatasi ketidaknyamanan psikologis dan melindungi kesehatan mental (Wahyuningrum, S., 2019).
Konsep Umum Pertahanan Diri:
Pertahanan diri adalah respons psikologis dan perilaku yang diarahkan untuk melindungi diri dari ancaman atau stres. Konsep pertahanan diri mencakup berbagai mekanisme dan strategi yang digunakan individu untuk menjaga keseimbangan psikologisnya dan menghadapi tantangan kehidupan. Dalam makalah ini, kita akan mengeksplorasi konsep umum pertahanan diri, mekanisme pertahanan yang umum digunakan, serta dampaknya terhadap kesehatan mental. Pertahanan diri dapat didefinisikan sebagai serangkaian respons mental dan perilaku yang dilakukan oleh individu untuk melindungi diri dari ancaman, konflik, atau stres emosional. Ruang lingkup pertahanan diri mencakup berbagai mekanisme dan strategi yang digunakan oleh individu untuk menjaga keseimbangan psikologis dan mengatasi tekanan kehidupan.
Represi: Mengesampingkan konflik atau ingatan yang tidak diinginkan.
Proyeksi: Mentransfer perasaan atau sifat yang tidak diinginkan ke orang lain.
Rasionalisasi: Menjelaskan atau melegitimasi tindakan yang mungkin tidak sesuai dengan norma moral.
Pertahanan diri dapat berperan sebagai alat adaptasi yang penting, membantu individu untuk mengatasi tantangan kehidupan sehari-hari. Namun, jika digunakan secara berlebihan atau tidak sehat, mekanisme pertahanan dapat menyebabkan distorsi persepsi diri dan realitas, memberikan dampak negatif pada hubungan interpersonal, dan mempengaruhi kesehatan mental secara keseluruhan. Pemahaman mekanisme pertahanan diri sering digunakan dalam konteks psikoterapi untuk membantu individu menggali dan memahami pola-pola perilaku yang mungkin bersifat menghambat. Psikoterapi dapat membantu individu mengembangkan mekanisme pertahanan yang lebih adaptif dan memberikan wawasan yang lebih dalam tentang dinamika emosional dan psikologis. Pertahanan diri memainkan peran penting dalam perkembangan pribadi seseorang. Saat individu belajar mengatasi tantangan dan konflik, mekanisme pertahanan berkembang dan membentuk pola perilaku yang dapat berlanjut hingga dewasa. Kesadaran akan pertahanan diri dapat membantu seseorang membuat pilihan yang lebih sadar dan sehat dalam mengatasi stres dan tekanan. Pertahanan diri adalah aspek integral dari kehidupan psikologis manusia. Mekanisme pertahanan memberikan cara bagi individu untuk menjaga keseimbangan dan melindungi diri dari beban emosional. Namun, pemahaman yang lebih dalam tentang pertahanan diri, khususnya dalam konteks kesehatan mental, penting untuk memastikan bahwa mekanisme pertahanan yang digunakan mendukung adaptasi yang sehat dan pembangunan pribadi yang positif.
Hubungan dengan Ketidaknyamanan Batin:
Ketidaknyamanan batin adalah suatu realitas yang tak terhindarkan dalam kehidupan manusia. Baik itu berasal dari ketidakpastian, rasa takut, atau perasaan tidak aman, ketidaknyamanan batin memainkan peran yang signifikan dalam membentuk perilaku, keputusan, dan interaksi individu. Dalam makalah ini, kita akan mengeksplorasi hubungan antara manusia dan ketidaknyamanan batin, serta bagaimana pemahaman terhadap ketidaknyamanan ini dapat memengaruhi perkembangan pribadi dan kesehatan mental. Ketidaknyamanan batin dapat diartikan sebagai perasaan tidak menyenangkan atau kegelisahan yang berasal dari ketidakpastian atau ancaman terhadap keadaan emosional seseorang. Ini bisa muncul dalam berbagai bentuk, seperti kecemasan, rasa takut, atau perasaan tidak aman. Ketidaknyamanan batin memainkan peran sentral dalam membentuk perilaku manusia. Sebagai respons terhadap ketidaknyamanan, individu dapat mengembangkan strategi untuk mengatasi atau menghindari situasi yang memicu perasaan tersebut. Hal ini dapat memengaruhi keputusan, interaksi sosial, dan kualitas hidup secara keseluruhan.
Hubungan dengan ketidaknyamanan batin dapat menjadi sumber pembelajaran dan pertumbuhan pribadi. Melalui pengalaman ketidaknyamanan, individu dapat belajar mengatasi tantangan, mengembangkan ketangguhan mental, dan memperoleh pemahaman yang lebih dalam tentang diri mereka sendiri. Ketidaknyamanan bisa menjadi katalisator untuk perubahan positif dan perkembangan kepribadian. Pengambilan risiko seringkali terkait erat dengan ketidaknyamanan batin. Individu yang mampu menghadapi dan mengelola ketidaknyamanan memiliki kecenderungan untuk lebih terbuka terhadap pengalaman baru, tantangan, dan peluang. Dalam konteks ini, ketidaknyamanan bisa menjadi dorongan untuk mencapai potensi penuh dan meraih tujuan.Â
Meskipun ketidaknyamanan batin dapat berperan sebagai katalis pertumbuhan, jika tidak diatasi dengan baik, dapat menyebabkan dampak negatif pada kesehatan mental. Kecemasan yang berlebihan, ketakutan kronis, atau perasaan terus-menerus tidak aman dapat menjadi faktor risiko bagi gangguan mental seperti depresi atau gangguan kecemasan.
Penting untuk mengembangkan strategi yang sehat untuk mengelola ketidaknyamanan batin. Ini dapat mencakup praktik koping, seperti meditasi, olahraga, atau terapi psikologis. Memahami asal-usul ketidaknyamanan dan mencari dukungan sosial juga dapat membantu individu menghadapi tantangan dengan lebih efektif. Menghadapi pertentangan antara apa yang dianggap benar dan tindakan yang dilakukan. Bagaimana pertahanan diri muncul ketika individu menghadapi norma sosial atau aturan hukum. Penting untuk mengembangkan strategi yang sehat untuk mengelola ketidaknyamanan batin. Ini dapat mencakup praktik koping, seperti meditasi, olahraga, atau terapi psikologis. Memahami asal-usul ketidaknyamanan dan mencari dukungan sosial juga dapat membantu individu menghadapi tantangan dengan lebih efektif. Hubungan antara manusia dan ketidaknyamanan batin adalah kompleks dan dapat memberikan dampak positif atau negatif tergantung pada cara individu mengatasi dan meresponsnya. Pemahaman yang mendalam tentang ketidaknyamanan batin dapat membantu kita membentuk strategi yang lebih adaptif untuk mengelola stres, memfasilitasi pertumbuhan pribadi, dan meningkatkan kesehatan mental.
Definisi Rationalisasi:
Rationalisasi adalah konsep yang muncul dalam berbagai konteks, termasuk dalam psikologi, filsafat, dan sosiologi. Rationalisasi merujuk pada upaya untuk memberikan alasan atau justifikasi yang rasional atau logis untuk tindakan atau keputusan yang pada dasarnya didasarkan pada dorongan emosional atau motivasi yang mungkin tidak selalu rasional. Dalam konteks ini, rationalisasi melibatkan usaha untuk memberikan penjelasan yang masuk akal terhadap perilaku atau keputusan yang sebenarnya mungkin tidak sepenuhnya didasarkan pada pertimbangan rasional. Dalam psikologi, rationalisasi dianggap sebagai mekanisme pertahanan yang digunakan oleh individu untuk meredakan konflik kognitif atau emosional. Ketika seseorang menghadapi tindakan atau keputusan yang mungkin bertentangan dengan nilai atau norma pribadi mereka, mereka cenderung mencari alasan yang rasional untuk membenarkan atau mengurangi kecemasan dan ketidaknyamanan yang muncul (Nugroho, R., & Siddiquee, N. A., 2020).
Contoh dari proses rationalisasi dapat ditemukan dalam berbagai situasi kehidupan sehari-hari. Misalnya, seseorang yang merokok meskipun tahu risiko kesehatannya dapat merasionalisasikan kebiasaannya dengan berpendapat bahwa merokok adalah cara untuk mengatasi stres atau bahwa risikonya mungkin tidak akan mempengaruhi mereka secara pribadi. Proses ini membantu individu untuk menjaga keseimbangan mental dan mempertahankan perilaku yang mungkin tidak sepenuhnya rasional. Dalam konteks pengambilan keputusan, rationalisasi juga dapat muncul ketika seseorang membuat keputusan dan kemudian mencari alasan yang mendukung keputusan tersebut. Hal ini dapat terjadi karena tekanan sosial, ketidakpastian, atau dorongan emosional. Rationalisasi dalam pengambilan keputusan bisa menjadi strategi untuk mengurangi ketidaknyamanan yang mungkin timbul karena konsekuensi dari keputusan tersebut (Emran, S., & Sulistyo, H. ,2021).
Penerapan dalam Konteks Korupsi
Pembenaran Ekonomi: Merasa bahwa korupsi diperlukan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.
Pembenaran Sosial:Â Menganggap tindakan korupsi sebagai norma dalam lingkungan sosial tertentu.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Pertahanan Diri dan Rationalisasi Korupsi:
a. Kondisi Sosial dan Ekonomi:
Ketidaksetaraan Ekonomi: Menimbulkan tekanan untuk mencari solusi cepat.
Budaya Korupsi: Adopsi nilai-nilai yang merasionalkan tindakan korupsi.
b. Kondisi Psikologis Individu:
Stres dan Ketidakamanan: Meningkatkan kecenderungan untuk menggunakan mekanisme pertahanan diri.
Kesadaran Moral: Bagaimana individu menanggapi dan meresapi nilai-nilai moral dalam diri mereka.
Dampak dan Konsekuensi:
a. Dampak Terhadap Individu
Kehilangan Integritas Pribadi: Menurunnya rasa integritas dan kejujuran.
Ketidakamanan Batin: Timbulnya konflik internal yang dapat memengaruhi kesejahteraan mental.
b. Dampak Sosial dan Ekonomi
Merusak Tata Kelola: Menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi dan pemerintah.
Ketidaksetaraan Pembangunan: Mencegah distribusi sumber daya secara adil.
Upaya Pencegahan dan Penanggulangan
a. Pendidikan dan Kesadaran: Meningkatkan pemahaman akan dampak korupsi dan mekanisme pertahanan diri.
b. Penguatan Norma Sosial: Merubah persepsi sosial terhadap korupsi.
c. Penegakan Hukum yang Tegas: Meningkatkan efektivitas hukuman terhadap tindakan korupsi.
Proses pertahanan diri dan rationalisasi korupsi adalah aspek penting dalam memahami perilaku manusia, terutama dalam konteks tindakan yang melanggar norma sosial dan moralitas. Dengan menyelidiki faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan mekanisme ini, kita dapat mengembangkan strategi yang lebih efektif untuk mencegah dan menanggulangi korupsi. Melalui pendidikan, kesadaran, dan penegakan hukum yang tegas, masyarakat dapat bersama-sama mengatasi tantangan kompleks ini dan mendorong terwujudnya tatanan sosial yang lebih adil dan bersih dari korupsi (Djani, D.,2021).
Ilustrasi 3 : Rationalisasi Korupsi
3. Peran Lingkungan Sosial dan Budaya
Korupsi merupakan masalah serius yang telah menghambat pembangunan dan merugikan masyarakat di berbagai belahan dunia. Untuk mengatasi korupsi, diperlukan pendekatan holistik yang melibatkan berbagai sektor, termasuk lingkungan sosial dan budaya. Artikel ini akan membahas peran yang dimainkan oleh lingkungan sosial dan budaya dalam upaya pencegahan dan penanggulangan korupsi.
* Kesadaran dan Pendidikan Masyarakat
Lingkungan sosial dan budaya dapat membentuk kesadaran masyarakat terhadap dampak buruk korupsi. Program pendidikan yang melibatkan masyarakat dalam memahami nilai-nilai integritas, etika, dan keadilan dapat menjadi landasan untuk mengubah perilaku dan sikap terhadap korupsi. Pendidikan yang menekankan pentingnya integritas dan tanggung jawab sosial akan membentuk generasi yang lebih cenderung menolak praktik korupsi.
* Etika dan Moralitas
Budaya yang mengedepankan etika dan moralitas akan memberikan dasar kuat untuk menentang korupsi. Melalui nilai-nilai moral, masyarakat dapat mengembangkan norma-norma yang menentang tindakan koruptif. Institusi sosial, seperti agama, juga dapat memainkan peran kunci dalam mempromosikan moralitas dan mengajarkan pentingnya bertindak dengan jujur dan adil.
* Â Partisipasi Aktif Masyarakat
Lingkungan sosial yang mendukung partisipasi aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan dapat mengurangi peluang terjadinya korupsi. Transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan, perusahaan, dan organisasi dapat ditingkatkan melalui partisipasi warga. Masyarakat yang terlibat secara aktif akan lebih cenderung mengawasi tindakan pemerintah dan organisasi, mengurangi risiko praktik korupsi.
*Â Penegakan Hukum yang Efektif
Budaya hukum yang kuat dapat membantu dalam menanggulangi korupsi. Sistem hukum yang efektif dan adil akan menciptakan deterrence bagi para pelaku korupsi. Lingkungan yang mendukung independensi lembaga penegak hukum dan memberikan dukungan kepada whistleblower akan memperkuat peran hukum dalam melawan korupsi.
* Pemberdayaan Perempuan
Pemberdayaan perempuan dapat berperan penting dalam mengatasi korupsi. Keterlibatan perempuan dalam berbagai sektor dapat membawa perspektif yang berbeda dan mengurangi ketidakseimbangan kekuasaan yang seringkali menjadi akar penyebab korupsi. Masyarakat yang memberdayakan perempuan juga cenderung lebih memperhatikan nilai-nilai keadilan dan keberlanjutan (Akbar, A.,2022).
Kesimpulan
Mengatasi korupsi memerlukan kolaborasi dan upaya bersama dari berbagai sektor, termasuk lingkungan sosial dan budaya. Kesadaran, etika, partisipasi masyarakat, penegakan hukum yang efektif, dan pemberdayaan perempuan adalah elemen-elemen kunci dalam membentuk lingkungan yang menentang korupsi. Melalui perubahan nilai dan sikap, masyarakat dapat bersama-sama menciptakan budaya yang menolak korupsi dan memperkuat fondasi bagi pembangunan yang berkelanjutan. Freud menekankan peran lingkungan dalam membentuk kepribadian. Dalam konteks korupsi di Indonesia, faktor-faktor budaya, ekonomi, dan sosial dapat memainkan peran penting dalam membentuk norma-norma yang mendukung atau menentang perilaku koruptif.
Melalui lensa teori Freudian, kita dapat memahami bahwa kejahatan korupsi bukan sekadar masalah hukum, tetapi juga memiliki dimensi psikologis yang kompleks. Dalam menanggulangi korupsi, perlu ada pendekatan holistik yang mempertimbangkan aspek-aspek psikologis dan sosial. Tiga ilustrasi di atas mencoba merefleksikan beberapa aspek dari fenomena ini, dan semoga dapat menjadi pintu masuk untuk pembahasan yang lebih mendalam dan solutif.
DAFTAR PUSTAKA
Adioetomo, S. M. (2018). Corruption, inequality, and social justice in Indonesia. Asian Education and Development Studies, 7(2), 217--230.
Akbar, A. (2022). Legal Reforms and Anti-Corruption Measures in Indonesia. Journal of Law, Policy and Globalization, 111, 1-15.
Djani, D. (2021). Building Trust in Governance: The Role of Anti-Corruption Policies in Indonesia. Journal of Southeast Asian Economies, 38(1), 52-71
Emran, S., & Sulistyo, H. (2021). The Dynamics of Corruption and Anti-Corruption in Indonesia. International Journal of Economics, Commerce, and Management, 9(2), 1-10.
Nugroho, R., & Siddiquee, N. A. (2020). Corruption in Indonesia: Causes and Solutions. Journal of Asian and African Studies, 55(2), 209--226.
Wahyuningrum, S. (2019). The Role of Civil Society in Combating Corruption in Indonesia. Journal of Public Affairs, 19(1), e1873.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H