Desember. Musim penghujan. Pukul 22.00. Kupikir kebahagiaan sederhana itu adalah segala-galanya yang kupunya. Dia menghubungiku setelah sekian lama. Aku begitu merindukannya. Ia bercerita, aku mendengarkan. Banyak sekali, dan tidak mungkin aku menceritakan semuanya disini. Satu hal yang paling ku ingat. Ia bercerita mendapatkan gelas yang telah di isi mantra oleh penjualnya. Ia membelinya di pasar malam. Berulang kali aku mengatakan padanya itu hanya omong kosong. Tetapi ia tetap pada pendiriannya. Apalah dayaku, aku tidak ingin melanjutkan pertengkaran ke arah yang lebih serius. Ia berjanji akan memberikan gelas itu padaku ketika bertemu denganku suatu saat.
      ''Tidak pernah ada mantra-mantra, tidak ada penjual gelas seperti itu, jelasia menipumu sayang.'' Pikirku dalam hati.
      Aku pada akhirnya tetap mendengarkannya. Meyakini hal ini hanya karena kami berdua berbeda. Tetapi itulah sebenarnya masalahnya. Aku mengira hal ini akan menjadi salah satu pertengkaran aneh lagi kali ini.
Pertengkaran kami selalu saja sama. Mengatakan aku egois, tidak bisa diatur, dan tergesa-gesa. Dia selalu saja memintaku untuk mengubah sesuatu yang diluar kendaliku. Seolah-olah ia akan bertanggung jawab setelah aku berubah. Tentu saja, aku tidak pernah mengubah kelakuanku. Seperti kata-katanya aku akan mengiyakan permintaannya dan lupa dalam kurang dari 5 menit. Lagipula, sudah kukatakan gelas itu tidak pernah berisi mantra tetapi ia tidak pernah percaya. Dia selalu melakukan hal yang sia-sia. Banyak sekali sebenarnya yang ingin kukatakan padanya. Hanya saja entah semua itu kembali kutelan di kerongkongan. Lagipula setiap orang selalu mempunyai kebenaran mereka masing-masing. Aku begitu terbuka dengan segala perbedaan kami berdua. Aku berlebihan mengenai karakterku disini? terserah kalian.
      Kembali lagi kepada penjual gelas mantra omong kosong itu. Kekasihku -tidak tahu ia menganggap aku apa sebenarnya- mengoceh kesana-kemari mengenai penjual tersebut. Mengatakan bahwa penjual itu tak asing terhadapku. Kukatakan padanya bagaimana pedagang itu bisa tahu aku yang mana sungguh membuatku bosan dan marah karena harus mengulang-ngulang pertanyaanku.
      ''Lebih baik kamu pergi ke dukun daripada ke pedagang gelas itu.''
      ''Ha, menguna-guna kamu? untuk apa?'' Balasnya ketus.
      Jujur aku juga ingat penjual yang ia ceritakan padaku ini. Penjual itu selalu menanyai kenapa aku sendirian ke pasar dan tak lupa menawarkan dagangannya, yakni gelas. Seperti kata kekasihku, gelas itu kata pedagang tersebut bisa mengabulkan permintaan seseorang.
      Lagi-lagi gelas yang membuatku muak. Kekasihku mengatakan gelas tersebut akan mengabulkan satu permintaan dan akan memberikan permintaan itu untukku saja. Mulai bertanya lagi apa permintaanku?
      "Mengerti tidak, kamu seperti anak kecil yang ditipu seorang penjual mainan dan aku merasa aku yang akan bertanggung jawab atas tipuan tersebut." Jawabku.
      "Sebutkan saja permintaanmu, akan kukabulkan."
      Selalu seperti ini. Percalayah, sebenarnya ia menginginkan sesuatu dariku. Tetapi selalu saja ia memutar-mutar topik seolah-olah aku meminta sesuatu darinya. dia hanya menunggu aku bertanya apa permintaannya. Pedagang gelas itu hanya pengantar untuk permintaannya. Tidak ada yang lain.
      "Kali ini apa sayang?"
      "Hari ini tanggalnya bagus. Kamu nggak ingin apa gitu?"
      "Apa?"
      "Ditanya balik nanya."
      ''Mengakhiri semua ini?''
         ''HA??''
      Ya, hubungan kami bukan semacam hubungan pacaran atau ikatan lain. Kami belum ke tahap yang mengerikan itu. Antara dia selalu ingin ke tahap itu atau pergi dariku. Menurutku permintaannya ada diantara dua pilihan itu. Dan kali ini entah yang mana. Aku mencintainya, kurasa.
      "Menurutmu penjual gelas itu lumayan atau tidak?" Dia menginterogasiku.
      "Lumayan. Dia tinggi dan garis wajahnya tegas."
      "Sungguh dia menanyakanmu tadi. Kenapa sudah tidak pernah ke pasar lagi."
      "Apalagi?"
      "Ia mencarimu. Apa hubunganmu dengannya?"
      "Tidak ada.''
      ''Berhentilah mengatakan omong kosong. Sungguh tidak mengerti bagaiamana caramu berfikir.''
      "Bagaimana ia mengenalimu seketika?"
      "Katamu ia cenayang! Mari ganti topik."
      Kecanduan akan pertengkaran mungkin adalah salah satu alasanku selalu menerima kehadirannya. Kalian pasti mengerti bagaimana percakapan ini berhenti. Dia diam. Aku sendiri tidak mengerti harus mengatakan apa. Aku mungkin ia cemburu? atau bagaimana? aku tidak mengerti yang dipikirkan olehnya. Apakah salah jika tidak mengerti maksud seseorang dan seseorang tersebut hanya diam tidak mengatakan apapun. Maksudku, hanya bicaralah jelaskan apa yang kau inginkan.
      "Hei," ucapku.
      "Kenapa?"
      "Sudahlah aku males sama kamu."
      HAHAHA. aku menemukan ini sangat lucu. Mungkin juga kalian. Baiklah aku akan mengalah. Orang yang tergila-gila cinta selalu dikatakan naif. Apakah selalu seperti itu? Asal kalian tahu, ia tidak pernah mencintaiku. Hanya aku yang selalu mengatakan aku mencintainya. Selalu seperti itu. Cerita ini akan kubawa entah sampai mana.
      Jelas aku tidak bisa meminta apa-apa darinya. Dan dia takut mengatakan apapun padaku. Begitu melelahkan.
      ''Baiklah, mari akhiri hubungan tidak jelas ini.''
       Ketika ia bertanya kenapa, aku hanya mengatakan aku lelah.
      Sungguh akhir yang sangat terduga. Ia tidak mengatakan apapun kecuali kita hanya teman dan selama ini aku hanya salah paham. Hormon wanitaku merespon kalimat tersebut dengan makian hewan yang tak pantas.
      "Kenapa? Bahkan kamu tidak pernah berniat menjadikan aku pacarmu bukan?" Tanyanya pelan. "Itulah egoisnya kamu. Sayang, kamu tidak pernah menyadari itu." Tambahnya.
      Bagaimana bisa aku menerima nasehat pengecut itu begitu saja. Bahkan setelah kuyakini ia menyabik-nyabik hatiku. Begitu parah. Aku hanya ingin ia memintaku menjalankan ikatan tertentu dengannya. Kenapa sangat susah berbicara dengan laki-laki. Selalu menanyai perasaanku padanya, padahal ia seharusnya paham bagaimana perasaan selalu berubah-ubah. Ketika kukatakan dengan jujur kepadanya, ia hanya menganggapku tidak serius.
      Bagaimanapun, begitulah kami berakhir. Tidak tragis. Aku menangis. Dia mengatakan aku gangguan jiwa dan ia pergi, lagi.
      Pada akhirnya hanya takdir yang benar-benar setia padamu. Tak perlulah kau bergantung pada hal-hal lain di dunia ini. Orang bilang, orang baik tidak pernah beruntung. Kalau boleh jujur, aku tidaklah terlalu baik tetapi aku selalu tidak beruntung. Sebagian mengatakan aku hanya kurang bersyukur dan mulai menghujat A ataupun huruf apapun setelahnya mengenaiku. Aku yang pengecut hanya berani menghujat di belakang mereka untuk membalas dendam. Mereka lupa sejatinya mereka sendiri. Tidak ada manusia yang merasa dirinya beruntung lahir di dunia kecuali ia Budhha.
      Aku hanya bisa mendatangi penjual gelas tersebut setelah berhenti menangis. Kudapati diriku hanya bisa menertawakan kekonyolanku sendiri. Penjual gelas tak kalah meriah menertawaiku. Aku tidak pernah percaya kepadanya sebelum ini. Ternyata aku salah besar. Selama ini bukan penjual gelas yang menyatakan omong kosong, bukan kekasihku, hanya aku yang salah paham disini. Andaikan aku melakukan permintaan terlebih dulu, akankan permintaanku berbeda? Aku tanyakan padanya, masihkah ada gelas berisi mantra. Gelas tersebut terbukti mampu mengabulkan permintaan kekasihku. Aku juga harus memesan satu untukku.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI