Mohon tunggu...
Jimmy S Harianto
Jimmy S Harianto Mohon Tunggu... Jurnalis - Mantan Redaktur Olahraga dan Desk Internasional Kompas

Redaktur Olahraga (1987-1993), Wakil Redaktur Opini dan Surat Pembaca (1993-1995), Redaktur Desk Hukum (1995-1996), Redaktur Desk Features dan Advertorial (1996-1998), Redaktur Desk Internasional (2000-2003), Wakil Redaktur Kompas Minggu (2003-2008), Redaktur Desk Internasional (2008-2012)

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Hujan Kritik Soal Naturalisasi Mengapa Baru Sekarang?

30 September 2024   11:38 Diperbarui: 30 September 2024   16:46 812
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemain naturalisasi pun berbaur lekat dengan pemain-pemain lokal di tim nasional Indnesia. (Foto: Dokumentasi PSSI)

Naturalisasi bukan hal baru bagi sepak bola Indonesia. Bahkan sudah sejak Cristian Gonzales dinaturalisasi tahun 2010 ketika Timnas Indonesia membutuhkan striker yang lebih berkualitas untuk meraih ambisi menjuarai Piala AFF yang waktu itu tak kunjung datang.

Cristian Gonzales malah bukan berdarah Indonesia. Ia asli Uruguay, kelahiran Montevideo 30 Agustus 1976. Gonzales bahkan pernah main untuk Tim Uruguay U20 dan juga Timnas Indonesia melalui jalur naturalisasi.

Bergabung pertama kali dengan PSM Makassar sejak 2003, Gonzales langganan sebagai top scorer, dan sempat berpindah-pindah ke Persik Kediri dan membawa klub ini juara Liga Indonesia 2006.

Klub-klub yang pernah dimasukinya, Persib Bandung (2008-2011), Persisam Putra Samarinda (2011-2012), Arema (2013-2017), Madura United, PSS Sleman, PSIM Yogyakarta masing-masing setahun (2018-2019), sebelum berlabuh di RANS Cilegon (2021-2023). Terakhir main di Timnas Indonesia melawan Qatar (2011) di Kualifikasi Piala Dunia 2014 di babak ketiga Zona Asia...

Gonzales yang resmi berpaspor Indonesia (2010) dan beristeri orang Indonesia, Eva Nurida Siregar, memang kini "tak dikenali lagi" sebagai Cristian Gonzales, tetapi Abubakar Mustafa Habibi lantaran ia mualaf dan sepenuhnya jadi penduduk Indonesia.

Era setelahnya Indonesia juga punya pemain naturalisasi, Irfan Bachdim, Stefano Lilipaly, dan Greg Nwokolo. Irfan Bachdim yang keturunan Arab Indonesia, juga tidak lahir di Indonesia tetapi di Amsterdam. Dan pengalaman main sepak bola pun ibaratnya ber"kattebelletje" Belanda: Irfan mulai bermain sepak bola di akademi sepak bola Ajax Amsterdam, main di FC Utrecht (2007-2009) dan HFC Haarlem (2009-2010) dan main di Timnas Indonesia (2010-2019).

Dan toh tidak ada yang mengkritik setajam kritik terhadap pemain naturalisasi saat Shin Tae-Yong -- yang memegang timnas Indonesia sejak 2019 , sejak era Ketum PSSI Moch Iriawan alias Iwan Bule.

Shin Tae-yong memegang timnas Indonesia saat kondisi persepakbolaan Indonesia tengah morat-marit dan baru lepas dari sanksi FIFA (2015) Indonesia tak boleh mengikuti turnamen internasional, termasuk Kualifikasi Piala Dunia dan kompetisi AFC.

Sanksi terhadap PSSI ini merupakan buntut akibat dari berbagai huru-hara di Indonesia, seperti Krisis Dualisme PSSI (2011-2013) sehingga sepak bola terpecah menjadi dua kubu kompetisinya, yakni Liga Super Indonesia (ISL) Djohar Arifin vs Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI) La Nyalla Mattalitti.

Belum lagi skandal Pengaturan Skor yang menjadi masalah besar tahun 2018, ketika Satgas Anti-Mafia Bola menangkap beberapa tokoh penting di tubuh sepak bola Indonesia. Kepercayaan publik sepak bola Indonesia terhadap kompetisi lokal anjlok ke bawah tubir jurang.

Belum lagi beruntun kasus kerusuhan pendukung sepak bola, yang sangat sering terjadi. Seperti bentrok pendukung antara Persija Jakarta dan Persib Bandung (Jakmania vs Viking), yang sering berakhir tragis. Salah satu insiden menyedihkan adalah kematian suporter Persija, Haringga Sirla, yang dikeroyok oleh suporter Persib pada 2018.

Belum lama ini sepak bola Indonesia juga diwarnai tragedi yang menelan banyak korban, kerusuhan di Stadion Kanjuruhan Malang (2022). Sebanyak 132 orang dikonfirmasi tewas setelah kerusuhan dan kena gas air mata, setelah pertandingan antara Arema FC lawan Persebaya....

Pemain naturalisasi pun berbaur lekat dengan pemain-pemain lokal di tim nasional Indnesia. (Foto: Dokumentasi PSSI)
Pemain naturalisasi pun berbaur lekat dengan pemain-pemain lokal di tim nasional Indnesia. (Foto: Dokumentasi PSSI)
Naturalisasi Menuai Kritikan

Carut marut di kalangan pemimpin teras sepak bola Indonesia dari sejak mundurnya Edy Rahmayadi yang dinilai tidak focus karena terpilih menjadi Gubernur Sumut, membuat PSSI menjalani Kongres Luar Biasa (KLB) yang digelar November (2019). Terpilih Mochamad Iriawan alias Iwan Bule yang memimpin PSSI (2019-2023) menggantikan Edy Rahmayadi.

Iwan Bule dinilai lamban menangani Tragedi Kanjuruhan yang menelan 132 korban jiwa, sehingga pada Februari 2023 lebih cepat dari jadwal seharusnya 2024, PSSI kembali menggelar Kongres Luar Biasa. Dan terpilihlah Erick Thohir Menteri BUMN sampai sekarang. Sementara Shin Tae-Yong terus memegang kendali pembinaan timnas Indonesia, dihadapkan pada keinginan besar publik sepak bola Indonesia agar bisa lolos Kualifikasi Piala Dunia 2026 di Amerika.

Shin Tae-Yong memegang timnas saat peringkat FIFA Indonesia masih 175 -- terburuk dalam sejarah. Setelah lima tahun, menanjak 46 tingkat menjadi kini peringkat 129 FIFA.

Salah satu kunci keberhasilan mendongkrak peringkat FIFA, harus diakui di antaranya dengan memasukkan pemain naturalisasi secara besar-besaran ke timnas Indonesia.

Menanjaknya prestasi timnas Indonesia karena proses naturalisasi ini memancing sorotan tajam. Membanjirnya pemain naturalisasi ke dalam timnas Indonesia dikhawatirkan menggerus rasa nasionalisme.

Terakhir adalah kritikan langsung dari Hifni Hasan anggota Komite Executive (Exco) KOI dalam sebuah penganugerahan olahraga di Jakarta pada Kamis (26.09.2024) lalu.

Kritikan Hifni Hasan ini kemudian dikoreksi, bahwa apa yang dilontarkan oleh pejabat Exco Komite Olimpiade Indonesia (KOI) itu adalah pernyataan pribadi, tidak mewakili KOI. Meskipun Hifni Hasan datang ke acara tersebut mewakili Komite Olimpiade Indonesia.

Kritikan terkeras datang sebelum Hifni Hasan. Mantan Dubes Indonesia di Polandia, Peter Gontha mengatakan dalam delapan poin tentang timnas Indonesia terkait naturalisasi. Delapan poin yang diungkapkan Peter Gontha salah satunya mengenai kecintaannya terhadap PSSI dan Indonesia.

Peter Gontha mengaku merasa malu ketika melihat Timnas Indonesia, yang di dalamnya terdapat sembilan pemain asing yang dinaturalisasi saat melawan Arab Saudi dan Australia. Menurutnya, Indonesia adalah bangsa yang besar. Malu, kata Peter Gontha, Indonesia diperkuat pemain-pemain naturalisasi.

Peter Gontha juga menyinggung status kewarganegaraan para pemain naturalisasi Timnas Indonesia yang diduga ganda. Setelah menjadi pemain timnas, mereka akan kembali memeluk kewarganegaraan Belanda.

Tak kurang pedas, kritikan akademisi dan pengamat politik Rocky Gerung, yang mengatakan bahwa proyek naturalisasi di tubuh timnas Indonesia itu "menimbulkan euforia semu karena mayoritas pemain yang tampil bukan hasil dari sistem pembibitan pemain muda lokal..,"

"Hari-hari ini kita mungkin melihat ada euforia dalam persepakbolaan kita. Tetapi, euforia itu membatalkan atau membuat kita lupa bahwa yang bermain di lapangan itu bukan grup yang kita idealkan karena yang sekarang disebut sebagai naturalisasi itu semacam penipuan terhadap sensasi," ujar dia dikutip dari kanal YouTube Rocky Gerung Official.

Kritikan-kritikan terhadap timnas itu bertolak belakang dengan mayoritas suara penggemar sepak bola Indonesia, yang terus "membela" Shin Tae-Yong, serta setuju upaya Erick Thohir untuk terus memperkuat timnas dengan pemain-pemain naturalisasi agar lolos untuk tujuan jangka pendek, lolos Kualifikasi Piala Dunia 2026 Amerika.

Kritikan itu tentunya juga tidak searus dengan antusiasme pemain-pemain naturalisasi itu sendiri. Terutama yang berdarah Indonesia-Belanda di Eropa -- bahkan tidak terbatas yang kelas pemula.

Akan tetapi juga pemain-pemain yang bermain di kompetisi elit Eropa seperti Seri A Italia, Jay Idzes, dan juga pemain-pemain lain dari Eredivisie Belanda, seperti Ragnar Oratmangoen, Nathan Tjoe-A-On, Thom Haye, Calvin Verdonk dan bahkan terakhir ini datang bergabung Mees Hilgers dan Eliano Reijnders...

Apakah melanggar Statuta?

Apakah yang dilakukan Indonesia, dalam hal ini Erick Thohir dan pelatih Shin Tae-Yong melanggar peraturan, atau statuta yang ditetapkan oleh Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA)?

Ternyata tidak melanggar. Federasi Sepak Bola Dunia memang melakukan perubahan drastis sejak September 2020, ketika FIFA memperkenalkan revisi yang lebih fleksibel pada Pasal 7 regulasi tentang Eligibilitas Pemain Nasional. Utamanya tentang kelayakan pemain yang ingin beralih tim nasional setelah sebelumnya bermain untuk negara lain.

Dalam tubuh organisasi sepak bola dunia itu, memang terjadi perubahan signifikan dari era kepemimpinan Sepp Blatter (1998-2015) yang kemudian diganti Gianni Infantino (2016-sekarang) tentang eligibilitas pemain nasional ini. Bahkan boleh dibilang perubahannya sangat drastis.

Sepp Blatter menganut sikap konservatif, menyangkut aturan eligibilitas dan naturalisasi pemain yang cukup ketat. FIFA di bawah Blatter cenderung mempertahankan prinsip bahwa pemain yang sudah mewakili satu negara di level senior tidak bisa bermain untuk negara lain.

Blatter sangat mendukung peraturan ketat ini untuk menjaga identitas nasional dan integritas kompetisi internasional. Di bawah kepemimpinannya, FIFA memperkenalkan beberapa aturan terkait, seperti yang diatur dalam FIFA Statutes mengenai pemain naturalisasi dan kebangsaan.

Secara keseluruhan, pandangan Sepp Blatter mengenai naturalisasi sangat cenderung menentang penggunaan naturalisasi sebagai alat untuk meningkatkan kekuatan tim nasional tanpa memperhatikan aspek-aspek kultural dan ikatan dengan negara.

Sementara Gianni Infantino yang sekarang ini menjadi orang nomor satu FIFA, justru longgar dalam soal eligibilitas ini, demi lebih mempopulerkan sepak bola lebih luas lagi ke negara-negara bukan sepak bola.

Bahkan mulai Piala Dunia 2026 mendatang, FIFA di bawah Gianni Infantino memperbanyak jumlah negara peserta babak Putaran Final Piala Dunia dari semula 64 timnas, menjadi 104. Sehingga di bawah format yang direvisi ini jumlah permainan yang dimainkan oleh finalis Piala Dunia akan bertambah dari tujuh menjadi delapan kali permainan.

Dan pokok-pokok peraturan yang membuat naturalisasi maupun alih kewarganegaraan dibuat lebih longgar di era Gianni Infantino, di antaranya:

Sebelum 2020, jika seorang pemain sudah bermain untuk timnas senior dalam pertandingan resmi, ia tidak bisa beralih ke timnas lain (Sepp Blatter).

Namun, revisi pada Pasal 9 memungkinkan pemain untuk beralih jika:

(1) Si pemain tidak bermain lebih dari tiga pertandingan kompetitif untuk tim nasional yang pertama,

(2) Pertandingan tersebut terjadi sebelum si pemain ulang tahun ke-21,

(3) Si pemain tidak pernah bermain di turnamen besar FIFA (seperti Piala Dunia atau Piala Eropa) untuk negara tersebut,

(4) Ada jarak minimal tiga tahun sejak terakhir kali pemain tampil untuk tim nasional yang pertama.

Ini juga kelonggaran yang dilakukan pada era masa kini (Gianni Infantino). Pemain yang hanya pernah bermain di level timnas junior (U-21, U-19) tetapi belum tampil untuk timnas senior dalam kompetisi resmi, juga bisa beralih timnas tanpa batasan usia. Syaratnya, ia harus memenuhi kriteria kewarganegaraan di negara yang baru.

Ada juga ketentuan baru yang mengizinkan pemain untuk berpindah timnas jika ia kehilangan kewarganegaraan negara sebelumnya tanpa disengaja atau tanpa keinginan pribadi. Ini merupakan kelonggaran bagi pemain yang mungkin menghadapi masalah administratif atau perubahan politik di negara asal mereka.

Dampak dari perubahan Statuta yang terjadi di era Gianni Infantino ini menyebabkan banyak pemain keturunan diaspora di seluruh dunia, termasuk pemain Indonesia yang bermain di Eropa, bisa memanfaatkan perubahan ini untuk bermain bagi negara asal mereka. Tentu saja jika memang memenuhi syarat yang diatur dalam revisi 2020 tersebut.

Qatar Naturalisasi Terbanyak

Apakah Indonesia termasuk Negara yang paling banyak melakukan Naturalisasi tim nasionalnya di dunia? Ternyata, menurut catatan FIFA, tidak demikian. 

Menurut catatan ternyata Qatar sudah sejak beberapa tahun terakhir terbanyak melakukan naturalisasi untuk timnasnya. Indonesia di urutan kelima atau keenam, setelah Qatar, China, Uni Emirat dan juga Bahrain, dan Turki.

Qatar menggunakan kelonggaran kebijakan naturalisasi FIFA untuk memperkuat timnas mereka dengan cepat, mengingat Qatar memiliki sumber daya ekonomi yang besar tetapi populasi lokal yang terbatas untuk membentuk tim kuat.

Pemain-pemain yang dinaturalisasi Qatar di antaranya datang dari Afrika dan Amerika Selatan. Terutama meningkat setelah Qatar ditunjuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022 silam. Di antara sekian pemain Qatar hasil naturalisasi adalah Rodrigo Tabata (Brasil) dan Mohammed Muntari (Ghana).

China juga menjadi sorotan karena belakangan ini menaturalisasi beberapa pemain asing, terutama dari Brasil untuk meningkatkan level kompetisi timnas mereka.

Beberapa pemain seperti Elkeson (menjadi nama China Ai Kesen), Alan Carvalho, dan Tyias Browning telah mendapatkan kewarganegaraan China dan bermain untuk timnas.

China menghadapi masalah dalam memproduksi pemain lokal berkualitas yang kompetitif di tingkat internasional, sehingga mereka mulai menggunakan naturalisasi sebagai solusi jangka pendek.

Selain Qatar, beberapa negara di Timur Tengah seperti Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain juga aktif dalam menaturalisasi pemain, terutama yang berasal dari Afrika atau negara-negara yang sebelumnya memiliki sejarah imigrasi ke wilayah tersebut.

Negara-negara ini sering menarik pemain yang sudah bermain di liga domestik mereka selama beberapa tahun dan kemudian memberikan kewarganegaraan.

Turki dikenal karena menaturalisasi beberapa pemain dari Jerman dan negara-negara Eropa lainnya, terutama pemain keturunan Turki yang lahir atau besar di luar negeri. Contohnya adalah Mesut Ozil, yang lahir di Jerman tetapi memiliki darah Turki, meski akhirnya Ozil lebih memilih bermain untuk timnas Jerman di Piala Dunia. Selain itu, ada juga pemain seperti Mehmet Aurelio, pemain Brasil yang dinaturalisasi dan kemudian bermain untuk timnas Turki.

Apakah Eropa Juga Naturalisasi?

Belanda memiliki sejarah panjang dengan pemain naturalisasi. Tetapi konteksnya sedikit berbeda dibandingkan negara-negara seperti Qatar atau China yang melakukan naturalisasi dalam skala besar untuk kepentingan kompetitif.

Di Belanda, banyak pemain yang dinaturalisasi berasal dari pemain-pemain diaspora negara-negara bekas koloni Belanda, terutama dari Suriname, Antillen Belanda, dan negara-negara lain seperti Indonesia dengan sejarah imigrasi ke Belanda.

Suriname adalah salah satu bekas koloni Belanda, dan banyak imigran Suriname yang menetap di Belanda. Karena itu, banyak pemain timnas Belanda yang memiliki keturunan Suriname. Beberapa pemain terkenal dengan keturunan Suriname antara lain:

Clarence Seedorf, Salah satu gelandang terbaik dalam sejarah sepak bola Eropa, yang juga memenangkan empat trofi Liga Champions bersama tiga klub berbeda.

Edgar Davids, Gelandang bertahan yang tangguh dan terkenal dengan kacamata hitamnya, yang pernah bermain untuk klub-klub besar seperti Juventus dan Barcelona. Ruud Gullit, Kapten Belanda saat memenangkan Euro 1988, yang memiliki darah Suriname. Juga Frank Rijkaard, mantan bek dan pelatih Belanda, juga memiliki garis keturunan Suriname.

Antillen Belanda (sekarang dikenal sebagai Curaao, Aruba, dan Bonaire) juga memiliki sejarah imigrasi yang kuat ke Belanda. Beberapa pemain dari daerah ini yang mewakili timnas Belanda adalah:

Patrick Kluivert, striker legendaris yang menjadi pencetak gol terbanyak untuk Belanda selama beberapa waktu. Kluivert berasal dari keluarga keturunan Curacao. Virgil van Dijk, Kapten tim nasional Belanda saat ini dan bek tengah yang terkenal bermain untuk Liverpool, memiliki darah keturunan dari Suriname dan Belanda.

Pemain Keturunan Indonesia juga banyak di Belanda. Walaupun jumlah pemain keturunan Indonesia yang bermain untuk timnas Belanda tidak sebanyak dari Suriname atau Antillen Belanda, beberapa pemain keturunan Indonesia cukup terkenal, seperti:

Giovanni van Bronckhorst, Mantan kapten timnas Belanda dan pelatih sepak bola, Van Bronckhorst memiliki darah keturunan Maluku (Indonesia). Demy de Zeeuw, Gelandang yang pernah bermain untuk Ajax dan Zenit St. Petersburg, juga memiliki darah Indonesia.

Pemain Keturunan Maroko juga dinaturalisasi Belanda. Imigrasi dari Maroko ke Belanda dimulai pada era 1960-an dan 1970-an sebagai bagian dari gelombang pekerja migran.

Akibatnya, ada cukup banyak pemain keturunan Maroko yang mewakili Belanda di level internasional, meskipun banyak juga yang memilih bermain untuk Maroko. Mereka di antaranya:

Ibrahim Afellay, Gelandang yang bermain untuk Barcelona dan PSV Eindhoven, berasal dari keluarga keturunan Maroko. Oussama Idrissi dan Hakim Ziyech adalah pemain yang memiliki keturunan Maroko, meskipun Ziyech akhirnya memilih untuk mewakili tim nasional Maroko dan bukan Belanda.

Apakah Mematikan Pembinaan?

Kekhawatiran akan tergerusnya rasa nasionalisme gara-gara timnas Indonesia banyak diperkuat pemain-pemain "sinyo belanda" juga perlu dipertanyakan. 

Selain sentimen sisa penjajahan seperti ini, mungkin perlu dicermati pula apakah para pemain itu memang memiliki antusiasme besar untuk membawa Indonesia ke jenjang lebih tinggi di persepakbolaan dunia?

Gelombang minat untuk menjadi pemain Indonesia, semestinya memiliki sisi positif. Bahwa ternyata di kalangan generasi muda para sinyo kita di Negeri Kincir itu banyak yang tergerak untuk mencari "tanah tumpah darah" nenek moyang mereka dulu. Mereka ingin membawa Indonesia ke Piala Dunia.

Lalu kekhawatiran akan berhentinya pembinaan? Sepertinya para kritikus itu juga perlu mempertimbangkan, bahwa setelah gunjang-ganjing dan situasi carut-marut persepakbolaan di Indonesia, kita ini harus bangkit, Bangkit dari soal suap-menyuap, kericuhan pendukung sepak bola, kongkalingkong wasit dan para penjudi dan ternyata masih ada sinar terang.

Lihat saja di percaturan sepak bola kelompok umur. Indonesia dengan hanya segelintir naturalisasi sebagai katalisator, kini bisa lolos untuk ketiga kalinya Piala Asia 2025....

Kepalsuan emosi kecintaan terhadap pemain Indonesia yang ternyata pemain keturunan?

Nyatanya masih eksis pemain hebat seperti Rizky Ridho, yang mampu bersaing dengan pemain-pemain eks Eropa. Ada juga Witan Sulaeman yang bisa berdampingan dengan striker eks Eropa Rafael Struick. Kiper andalan sebelum ditemukannya Maarten Paes, Ernando Ari Sutaryadi dari PSIS Semarang juga mengaku banyak belajar dari pemain-pemain eks Eropa.

Naturalisasi pemain di tubuh timnas Indonesia menimbulkan berbagai pandangan yang beragam. FIFA tidak menghalangi praktik ini, sementara pendukung sepak bola lokal maupun kalangan sepak bola di Indonesia juga merasa dibangkitkan kecintaan mereka akan prestasi timnas. 

Sampai memunculkan tradisi baru yang bolehlah, patriotik dengan menyanyikan lagu "Tanah Airku" setelah berlaga di kandang. Itu tentunya juga berkat menanjaknya performa tim Shin Tae-Yong yang bertebaran pemain naturalisasi.

Tentang pandangan baik atau buruknya naturalisasi tim nasional, pada akhirnya kita ini seperti dihadapkan pada kenyataan melihat gajah.

Kita berdiri di sisi mana? Sisi dekat kaki gajah, pantat gajah, perut gajah, atau di depan kepala gajah dengan gading dan belalainya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun