Mohon tunggu...
Jimmy S Harianto
Jimmy S Harianto Mohon Tunggu... Jurnalis - Mantan Redaktur Olahraga dan Desk Internasional Kompas

Redaktur Olahraga (1987-1993), Wakil Redaktur Opini dan Surat Pembaca (1993-1995), Redaktur Desk Hukum (1995-1996), Redaktur Desk Features dan Advertorial (1996-1998), Redaktur Desk Internasional (2000-2003), Wakil Redaktur Kompas Minggu (2003-2008), Redaktur Desk Internasional (2008-2012)

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

Rizki Juniansyah dan Veddriq Leonardo, Idola Baru Saat Bulu Tangkis Indonesia Merosot

11 Agustus 2024   09:15 Diperbarui: 11 Agustus 2024   16:45 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lapangan bulu tangkis Mansion Sports Box Sunter. (DOK. Mansion Sports Box Sunter via KOMPAS.com)

Tampilnya Rizki Juniansyah dan Veddriq Leonardo sebagai idola baru olahraga dengan medali emas Olimpiade Paris di cabang Angkat Besi dan Panjat Tebing membawa atmosfer positif, di tengah merosot tandasnya prestasi bulu tangkis Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir.

Medali emas Rizki Juniansyah (21), memang baru pertama kali bagi Angkat Besi. Tetapi sebenarnya medali sudah menjadi tradisi cabang Angkat Besi di olimpiade sejak dua windu lalu.

Lifter Indonesia Rizki Juniansyah meraih emas nomor 73 kilogram Olimpiade Paris 2024 di South Paris Arena, pada Kamis (8/8/2024). (Dok. NOC Indonesia via KOMPAS.com)
Lifter Indonesia Rizki Juniansyah meraih emas nomor 73 kilogram Olimpiade Paris 2024 di South Paris Arena, pada Kamis (8/8/2024). (Dok. NOC Indonesia via KOMPAS.com)

Lifter putri Lisa Rumbewas sudah meraih medali perunggu di Olimpiade Sydney (2000). Perak dan Perunggu setidaknya pernah ditorehkan oleh senior lifter kita lainnya. Medali perak pernah diraih Triyatno (London 2012). Sementara Eko Yuli Irawan meraih perunggu Beijing 2008, London 2012, medali perak di Rio de Janeiro 2016 dan Tokyo 2020.

Tetapi Veddriq Leonardo (27) yang menyabet nomor bergengsi, nomor Speed di cabang baru Panjat Tebing, ini merupakan harapan baru bagi Indonesia untuk berprestasi lebih jauh ke depan dari cabang ini. Bahwa andalan Indonesia untuk meraih medali kini tidak hanya dari bulu tangkis melulu. Dari Angkat Besi dan Panjat Tebing pun bisa.

Ekspresi atlet panjat tebing putra Indonesia Veddriq Leonardo usai pengalungan medali emas nomor speed putra Olimpiade Paris 2024 di Le Bourget Climbing Venue, Paris, Perancis, Kamis (8/8/2024). (ANTARA FOTO/WAHYU PUTRO A via KOMPAS.com)
Ekspresi atlet panjat tebing putra Indonesia Veddriq Leonardo usai pengalungan medali emas nomor speed putra Olimpiade Paris 2024 di Le Bourget Climbing Venue, Paris, Perancis, Kamis (8/8/2024). (ANTARA FOTO/WAHYU PUTRO A via KOMPAS.com)

Nomor Speed di Panjat Tebing, ibarat nomor penuh gengsi Sprint 100 meter di Atletik.

Untuk Panjat Tebing yang baru dipertandingkan sejak Olimpiade 2020 (2021) Tokyo, nomor Speed adalah puncak gengsinya.. Di percaturan dunia, atlet-atlet panjat tebing Indonesia lumayan menggetarkan reputasinya. sebelum emas Olimpiade Paris, Veddriq Leonardo menyandang 6 gelar juara dunia di edisi 2021 Amerika Serikat, 2021 Swiss, 2022 Korea Selatan, 2022 Amerika Serikat, 2023 Korea Selatan, serta terbaru 2023 Amerika Serikat.

Sementara di bulu tangkis Olimpiade 2024, Indonesia masih diselamatkan mukanya melalui permainan menawan Gregoria Mariska Tunjung yang "kalah tapi indah" saat ditundukkan si anak ajaib An Se-Young di semifinal.

An Se-Young perlu jatuh-bangun berkali-kali lawan Jorji. Jorji bahkan meraih perunggu tanpa tanding lawan Carolina Marin dari Spanyol yang cedera. Sementara di semua nomor lain, Indonesia praktis jeblok di bulu tangkis Olimpiade 2024 Paris.

Bulu tangkis Indonesia diselamatkan mukanya oleh permainan cantik Gregoria Mariska Tunjung di Olimpiade Paris 2024. (Foto Getty Images/Alex Pantling)
Bulu tangkis Indonesia diselamatkan mukanya oleh permainan cantik Gregoria Mariska Tunjung di Olimpiade Paris 2024. (Foto Getty Images/Alex Pantling)

Tentu, merosotnya prestasi Indonesia di bulu tangkis ini perlu diprihatini. Pemain-pemain Indonesia bahkan tak mampu bertahun-tahun juara di nomor tunggal Indonesia Open di kandang sendiri. Ini tentu menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi Ketum baru PBSI Fadil Imran. Fadil Imran terpilih dalam Musyawarah Nasional dipercepat pada Sabtu (10.08.2024) di Surabaya.

Fadil Imran yang juga Kapolda Metro Jaya, tentunya diharapkan tidak mengulang kesalahan pengurus lama bulu tangkis yang praktis tak melahirkan bibit-bibit unggul dalam sepuluh tahun terakhir. Kekurangan yang terjadi semasa dua kepengurusan terakhir perlu dicermati untuk tidak diulangi.

Untuk Olimpiade 2024 Paris kali inipun, pengurus terkesan seolah-olah menyerahkan tanggung jawab kegagalan yang sudah diantisipasi pada tim Ad hoc Christian Hadinata dan kawan-kawan. Padahal tim Ad hoc ini baru dibentuk hanya dalam enam bulan terakhir sebelum berangkat ke Paris.

Negeri Bulu Tangkis

Indonesia sudah lama harum dikenal sebagai "negara bulu tangkis" di tahun 60-an sampai 90-an. Berbagai reputasi diraih pemain-pemain Indonesia, seperti Rudy Hartono juara delapan kali All England dari rentang tahun 1968-1976 -- tak tertandingi rekornya oleh siapapun sampai kini.

Dulu Indonesia juga selalu disegani di percaturan beregu dunia, Piala Thomas. Puncaknya ketika memiliki "The Magnificent Seven" Liem Swie King, Iie Sumirat di tunggal dan Christian Hadinata/Ade Chandra serta Tjuntjun/Johan Wahyudi di ganda.

Para jagoan Magnificent bulu tangkis ini tidak hanya mampu membawa Indonesia juara empat kali berturut-turut Piala Thomas -- lambang supremasi beregu bulu tangkis dunia -- empat kali berturut-turut tahun 1973, 1976, 1979, 1982. Tetapi juga kejuaraan beregu regional.

Generasi Rudy Hartono, Mulyadi, Indra Gunawan dan kawan-kawan juga tak kalah menggetarkan. Mereka menjuarai Piala Thomas 1964 di Tokyo menggulingkan jagoan-jagoan Denmark.

Atau Tan Joe Hok, Ferry Sonneville, Nyoo Kiem Bie dan kawan-kawan yang menjuarai Piala Thomas 1958 dan 1961 di Jakarta. Sehingga praktis, Indonesia hampir terus menjuarai Piala Thomas dari tahun 1958 sampai dengan 1979.

Rivalitas datang dari negeri tetangga, Malaysia. Era Eddy Choong dan Tan Aik Huang, Punch Gunalan, Ng Boon-Bee Malaysia berjaya di menjelang 1950-an dan 70-an sehingga Malaysia menjuarai Piala Thomas tiga kali berturut-turut pula di tahun 1949 di Preston Inggris, 1952 di Singapura serta 1955 di Singapura.

Setelah itu, giliran Indonesia merajalela, dari era Tan Joe Hok, Rudy Hartono, Liem Swie King dan disambung kemudian (prestasi naik turun) Icuk Sugiarto dan kawan-kawan di 1990-an.

Bukan generasi baru

Jonatan Christie, Anthony Ginting jagoan terakhir Indonesia di tunggal dalam lima tahun terakhir, praktis tidak lahir dari dua kepengurusan bulu tangkis terakhir. Mereka bukan generasi baru lagi.

Jojo dan Ginting masuk pelatnas di tahun 2013 di era Gita Wiryawan jadi Ketum (2012-2016), era "kapitalisasi bulu tangkis", saatnya PBSI membuka berbagai sponsor masuk pembinaan. Demikian pula Jorji alias Gregoria Mariska Tunjung, juga bukan bibit yang dilahirkan dalam dua kepengurusan terakhir. Jorji masuk pelatnas tahun 2013.

Jonatan Christie dan Anthony Ginting, biarpun di Olimpiade Paris 2024 tersisih di penyisihan grup dan tak lolos deretan 16 besar Olimpiade, mereka setidaknya sudah pernah menorehkan tinta emas yang tak dilupakan.

Jojo dan Ginting serta generasi ganda Fajar/Rian yang terhenti di perempat final Paris 2024. Tetapi tidak boleh dilupakan, mereka setidaknya sudah mampu juara Piala Thomas 2020 Aarhus, Denmark. Prestasi ini terjadi setelah penantian panjang sekali, sejak delapan kali Piala Thomas terakhir sejak 2004 -- delapan belas tahun menanti. Akhirnya kembali juara...

Saat ini di banyak kesempatan, Indonesia banyak menonton kiprah para jagoan bulu tangkis dari China, yang menjuarai lima kali berturut-turut Piala Thomas dalam rentang 2004-2012. Bahkan juga Thailand, yang memunculkan peraih medali perak di Olimpiade Paris melalui Kunlavut Vitidsarn. Atau Korea, dengan superioritas permainan An Se-Young di tunggal putri.

Meski begitu, Indonesia boleh berhibur diri. Berkat kehebatan generasi pendahulu bulu tangkis kita, Indonesia masih mencatat rekor terbanyak menjuarai kejuaraan dua tahunan Piala Thomas, sebanyak 14 kali pada tahun 1958, 1961, 1964, 1970, 1973, 1976, 1979, 1984, 1994, 1996, 1998, 2000, 2002, 2020. China di urutan kedua dengan 11 kali juara Piala Thomas pada tahun 1982, 1986, 1988, 1998, 2004, 2006, 2008, 2020, 2012, 2018 dan 2024.

Malaysia di peringkat ke-3 dengan lima kali juara Piala Thomas 1949, 1952, 1955, 1967, dan 1992. Denmark, Jepang dan India kebagian masing-masing satu kali juara Piala Thomas di tahun 2014 (Jepang), Denmark (2016) dan India (2022).

Indonesia Terbuka

Yang kebangetan adalah prestasi Indonesia di kejuaraan di kandang sendiri, di Indonesia Terbuka -- yang terbanyak digelarnya di Istora Senayan, serta beberapa tempat lain di luar Jakarta.

Ternyata sudah hampir dua dasawarsa kita ini kita vakum. Kosong melompong juara tunggal putri dan juga tunggal putra di Indonesia Open. Pemain tunggal putra terakhir yang berhasil juara di Indonesia Open adalah Simon Santoso di Indonesia Open (2012). Duabelas tahun silam. Sedangkan pemain tunggal putri kita yang terakhir juara adalah Ellen Angelina (2001). Duapuluh tiga (23) tahun yang lalu.

Di nomor ganda memang masih lumayan. Pemain ganda putra kita yang berhasil mengalungi diri dengan gelar juara Indonesia Open adalah pasangan Marcus Fernaldi Gideon/Kevin Sanjaya Sukamuljo yang di lapangan biasa dijuluki para penggemarnya, The Minions.

Terakhir kali The Minions ini juara Indonesia Open (2012). Kini pasangan ini sudah bubar, Kevin gantung raket setelah menikah dengan anak boss pemilik media.

Ganda putri juga sudah vakum lama di Indonesia Open. Terakhir pasangan putri kita yang juara di Indonesia Open adalah Vita Marissa/Liliana Natsir (2008). Sudah dua windu, atau 16 tahun lalu.

Ganda campuran? Terakhir juara Indonesia Open adalah Tontowi Ahmad/ Lilyana Natsir alias Si Butet pada (2017). Pasangan campuran Tontowi dan Butet ini memang pasangan fenomenal. Gelarnya lengkap, dari regional sampai dunia, dan bahkan Olimpiade.

Tontowi/Butet adalah juara Asia (2016) di Wuhan Tiongkok. Jauh sebelum itu, Tontowi dan Butet pun sudah lebih dulu juara SEA Games (2011) Jakarta. Mereka adalah juga juara dunia BWF dua kali (2013, 2017). Tetapi di kejuaraan dunia BWF di Istora Senayan (2015) malah tersingkir di semifinal.

Nanti selepas prestasi lumayan oke Jonatan Christie dan Anthony Ginting, serta ganda-ganda putra kita yang setidaknya sempat juara All England dalam sepuluh tahun terakhir, kita terlihat mulai jeblok di ganda campuran. Sejak lengsernya Tontowi dan Butet, Indonesia belum lagi menemui ganda campuran yang berprestasi.

Maka, pekerjaan rumah kepengurusan Fadil Imran (2024-2029) dan jajarannya sungguh tidak mudah. Tetapi semoga saja, mengembalikan prestasi emas bulu tangkis Indonesia tidak seperti menegakkan benang basah. Nyatanya, ketika Indonesia tengah terpuruk, masih juga sempat juara Piala Thomas 2020...

Untuk meraih cita-cita "kembali jadi negeri bulu tangkis seperti dulu", tentu tidak mudah. Menuju ke cita-cita itu tentu kita harus menyingkirkan kepentingan pengurus, baik yang memiliki klub di PBSI maupun tidak. Baik yang memiliki kepentingan politik maupun tidak. Baik yang memiliki kepentingan bisnis atau tidak di PBSI.

Yang jelas, sudah ada tanda-tanda bulu tangkis Indonesia saat ini seolah menuju titik nadir, kalau saja tidak diselamatkan dengan upaya pengurus PBSI membibit kembali calon-calon juara di masa datang.

Bibit-bibit yang ada saat ini, kiranya tak cukup menandingi tumbuhnya pesat prestasi negeri tetangga, yang bagaikan cendawan di musim hujan. Jago-jago bulu tangkis yang baru bermunculan di sekitar kita.

Indonesia menjadi penonton di Olimpiade Paris kali ini. Dan kalau menyimak teknik permainan pemain-pemain negeri tetangga sudah sedemikian majunya. Luar biasa pesat majunya.

Tetapi di sisi lain, reputasi bulu tangkis Indonesia masa kini adalah "negeri pengekspor pelatih hebat". Kini bertebaran pelatih-pelatih Indonesia berjasa menumbuhkan prestasi-prestasi hebat pemain tetangga, seperti Rexy Mainaky pelatih kepala di Malaysia, atau Rony Agustinus pelatih khususnya An Se-Young (22) di anak ajaib dalam beberapa saat terakhir ini. Thailand pun perlu menyewa pelatih Indonesia untuk menjadi pelatih kepala mereka...

Tentu mereka tidak salah. Tuntutan profesionalisme kepelatihan bulu tangkis membawa mereka laku dibeli negeri tetangga, sementara negeri sendiri tidak mampu membeli mereka kembali. Atau, kalau toh dibeli kembali ke Tanah Air, suasana di kepengurusan PBSI sudah tidak kondusif.

Sepertinya, pengurus baru PBSI kini tidak ada salahnya menengok kembali apa yang dilakukan oleh pengurus-pengurus lama seperti Try Sutrisno, yang melahirkan emas pertama Olimpiade melalui Susi Susanti dan Alan Budikusuma di Olimpiade 1992 Barcelona.

Try menggelar program khusus untuk Olimpiade Barcelona 1992 sejak ia terpilih sebagai Ketum PBSI di Surabaya 1985. Juga, perlu ditengok, mengapa di era Gita Wiryawan bisa tumbuh pemain-pemain andalan Indonesia kini, seperti Gregoria Mariska Tunjung, serta Jonatan Christie, Anthony Ginting, Fajar dan Rian, Bagas Maulana, Sohibul Fikri dan kawan-kawan.

Tidak salah kiranya jika prestasi bulu tangkis yang terpuruk dibangkitkan lagi. Mimpi menjadi negeri bulu tangkis perlu ditumbuhkan, sebelum negeri-negeri tetangga menyalip kita. Olimpiade 2028 Los Angeles di depan mata... *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun