Tentu, merosotnya prestasi Indonesia di bulu tangkis ini perlu diprihatini. Pemain-pemain Indonesia bahkan tak mampu bertahun-tahun juara di nomor tunggal Indonesia Open di kandang sendiri. Ini tentu menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi Ketum baru PBSI Fadil Imran. Fadil Imran terpilih dalam Musyawarah Nasional dipercepat pada Sabtu (10.08.2024) di Surabaya.
Fadil Imran yang juga Kapolda Metro Jaya, tentunya diharapkan tidak mengulang kesalahan pengurus lama bulu tangkis yang praktis tak melahirkan bibit-bibit unggul dalam sepuluh tahun terakhir. Kekurangan yang terjadi semasa dua kepengurusan terakhir perlu dicermati untuk tidak diulangi.
Untuk Olimpiade 2024 Paris kali inipun, pengurus terkesan seolah-olah menyerahkan tanggung jawab kegagalan yang sudah diantisipasi pada tim Ad hoc Christian Hadinata dan kawan-kawan. Padahal tim Ad hoc ini baru dibentuk hanya dalam enam bulan terakhir sebelum berangkat ke Paris.
Negeri Bulu Tangkis
Indonesia sudah lama harum dikenal sebagai "negara bulu tangkis" di tahun 60-an sampai 90-an. Berbagai reputasi diraih pemain-pemain Indonesia, seperti Rudy Hartono juara delapan kali All England dari rentang tahun 1968-1976 -- tak tertandingi rekornya oleh siapapun sampai kini.
Dulu Indonesia juga selalu disegani di percaturan beregu dunia, Piala Thomas. Puncaknya ketika memiliki "The Magnificent Seven" Liem Swie King, Iie Sumirat di tunggal dan Christian Hadinata/Ade Chandra serta Tjuntjun/Johan Wahyudi di ganda.
Para jagoan Magnificent bulu tangkis ini tidak hanya mampu membawa Indonesia juara empat kali berturut-turut Piala Thomas -- lambang supremasi beregu bulu tangkis dunia -- empat kali berturut-turut tahun 1973, 1976, 1979, 1982. Tetapi juga kejuaraan beregu regional.
Generasi Rudy Hartono, Mulyadi, Indra Gunawan dan kawan-kawan juga tak kalah menggetarkan. Mereka menjuarai Piala Thomas 1964 di Tokyo menggulingkan jagoan-jagoan Denmark.
Atau Tan Joe Hok, Ferry Sonneville, Nyoo Kiem Bie dan kawan-kawan yang menjuarai Piala Thomas 1958 dan 1961 di Jakarta. Sehingga praktis, Indonesia hampir terus menjuarai Piala Thomas dari tahun 1958 sampai dengan 1979.
Rivalitas datang dari negeri tetangga, Malaysia. Era Eddy Choong dan Tan Aik Huang, Punch Gunalan, Ng Boon-Bee Malaysia berjaya di menjelang 1950-an dan 70-an sehingga Malaysia menjuarai Piala Thomas tiga kali berturut-turut pula di tahun 1949 di Preston Inggris, 1952 di Singapura serta 1955 di Singapura.
Setelah itu, giliran Indonesia merajalela, dari era Tan Joe Hok, Rudy Hartono, Liem Swie King dan disambung kemudian (prestasi naik turun) Icuk Sugiarto dan kawan-kawan di 1990-an.