Unjuk rasa yang terjadi tahun 2019 yang paling menonjol adalah yang terjadi di Papua yang dipicu kasus mahasiswa Papua di Surabaya tanggal 15 Agustus 2019 Â yang dianggap tidak menghormati bendera merah putih dan akibat penerimaan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang Rancangan Undang-Undang (RUU)-nya diajukan DPR.
Apa yang salah dari unjuk rasa itu dan siapa yang melakukan kesalahan? Dalam keduanya pelaku unjuk rasa melakukan kesalahan jika menggunakan kekerasan apalagi sampai menimbulkan korban jiwa.
Hakekat dari Unjuk Rasa
Unjuk rasa merupakan ungkapan seseorang atau sekelompok terhadap orang lain, biasanya kepada pemerintah terutama ketika saluran yang ada dianggap tidak berfungsi.Â
Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 menjamin kebebasan berunjuk rasa dengan menyebutkan, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang.”
Jaminan untuk melakukan unjuk rasa dalam Undang-undang Dasar 1945 itu kemudian diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum yang ditandatangani oleh Presiden BJ Habibie dan Menteri Sekretaris Negara Akbar Tanjung tanggal 26 Oktober 1998.
Pasal 1 bagian 3 UU tersebut menyebutkan, “Unjukrasa atau demontrasi adalah kegiatan yang dilakukan seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara demonstratif di muka umum.”
Unjuk Rasa di Indonesia
Unjuk rasa di Indonesia masih relatif baru, karena selama ratusan tahun dijajah Belanda atau Jepang, kegiatan unjuk rasa itu tidak diperkenankan. Kalau ada yang berani di zaman itu, maka biasanya langsung dibunuh tanpa proses pengadilan. Â
Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, kegiatan itu mulai marak. Kita salut dengan pendiri negara yang dalam UUD NKRI Tahun 1945 jaminan untuk melakukan unjuk rasa itu sudah dibuat.Â
Pasal 6 UU No. 9 Tahun 1998 menyebutkan “Warganegara yang menyampaikan pendapat di muka umum berkewajiban dan bertanggungjawab untuk: a. menghormati hak-hak orang lain; b. menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum; c. menaati hukum dan ketentuan peraturanperundang-undangan yang berlaku; d. menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum; dan e. menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.”
Di negara lain boleh melakukan unjuk rasa dengan berbagai cara yang belum tentu sesuai dengan di Indonesia. Misalnya untuk menentang penggunaan kulit binatang langka untuk jaket, telanjang bulat bisa dilakukan di negara maju untuk menarik perhatian masyarakat, namun di Indonesia hal itu tidak diperkenankan karena tidak sesuai dengan sopan santun atau aturan moral masyarakat Indonesia.
Bagian untuk menghormati hak-hak orang lain ini kelihatannya belum begitu disadari atau dihormati oleh pelaku unjuk rasa. Luapan perasaan pelaku unjuk rasa sering menimbulkan kerugian pada pihak lain seperti masyarakat yang melakukan mata pencarian di sekitar lokasi unjuk rasa.
Di era internet ini memang mudah sekali melihat demostrasi di negara lain seperti yang di Hongkong tahun ini. Namun pelaksanaan unjuk rasa di Indonesia harus tetap mengikuti aturan dan ketentuan di Indonesia.
Namun pihak keamanan juga punya kewajiban untuk menjamin pelaksanaan unjuk rasa berlangsung dengan baik.
Pasal 7 UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum menyatakan “Dalampelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum oleh warga negara, aparatur pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: a. melindungi hak asasi manusia; b. menghargai asas legalitas; c. menghargai prinsip praduga tidakbersalah; dan d. menyelenggarakan pengamanan.”
Pengorbanan dalam Unjuk Rasa
Dalam unjuk rasa baru-baru ini ada dua mahasiswa yang meninggal. Sebenarnya pihak keamanan tidak boleh melakukan tindakan yang berlebihan dalam menghadapi unjuk rasa. Tindakan kekerasan hanya dapat digunakan polisi jika sudah mengancam keselamatannya. Artinya pihak keamanan tidak boleh melakukan tindakan kekerasan apalagi menimbulkan korban jiwa seperti yang terjadi dalam penembakan mahasiswa Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari, Sulawesi La Randi dan Muhammad Yusuf  tanggal 28 September 2019 baru-baru ini.
Namun pengunjuk rasa juga perlu mempertimbangkan tindakan yang harus diambil. Memang ada saatnya harus jatuh korban agar pihak pengusaha mau melakukan perubahan, misalnya mundurnya penguasa dari jabatannya. Bagi Indonesia itu bukan hal asing. Jatuhnya Presiden Soeharto tahun 1998 tidak terlepaas dari unjuk rasa yang dilakukan oleh mahasiswa yang menimbulkan korban. Walaupun kita tidak pernah mengharapkan ada korban, walaupun hanya satu orang saja, namun jatuhnya korban jiwa biasanya dapat memaksa seseorang turun dari jabatannya. Dalam kasus Presiden Soeharto karena mahasiswa menganggap 32 tahun Presiden Soeharto berjuasa tapi membiarkan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme merajelala yang sangat merugikan masyarakat. Para korban itu dianggap sebagai pahlawan karena pada akhirnya Presiden Soeharto mundur yang kemudian melahirkan reformasi.
Namun kalau unjuk rasa yang menimbulkan korban jiwa tidak sepadan dengan tuntutan yang diajukan maka pengorban itu sesungguhnya sia-sia. Oleh karena itu pengujuk rasa harus benar-benar penuh dengan perhitungan matang apakah perlu membiarkan diri menjadi korban dalam melakukan unjuk rasa. Dalam kaitan inilah sebaiknya anak-anak tidak dilibatkan dalam unjuk rasa yang berisiko karena mereka belum mampu membuat perhitungan itu.Â
Ancaman Hukuman Bagi Pengunjuk Rasa
Para mahasiswa dan masyarakat yang melakukan unjuk rasa perlu memerhatikan ancaman hukuman jika melanggar ketentuan yang berlaku. Dalam kaitan inilah anak-anak tidak pantas untuk ikut dalam unjuk rasa, karena mereka belum tentu mengerti tentang ancaman hukuman ini. Apalagi kalau mereka menjadi korban dalam unjuk rasa itu sangat disayangkan.
Pasal 16 UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum menyebutkan, “Pelaku atau peserta pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang melakukan perbuatan melanggar hukum, dapat dikenakan sanksi hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”Â
Pasal 17 lebih lanjut menyatakan, ”Penanggungjawab pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 undang-undang ini dipidana sesuai denganperaturan perundang-undangan pidana yang berlaku ditambah dengan 1/3 (satupertiga) dari pidana pokok.”Â
Ternyata cukup berat tindak pidana ini karena ditambah sepertiga dari pidana pokok. Di negara-negara maju para pengunjuk rasa dikenal tidak akan melakukan kekerasan terhadap polisi atau pihak keamanan karena hukuman terhadap mereka lebih berat.
Tidak Perlu di Depan Istana
Mengapa tidak boleh melakukan unjuk rasa di depan Istana Kepresidenan? Pasal 9 Ayat (2) UU itu melarang unjuk rasa di depan istana dengan menyebutkan, “Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). dilaksanakan di tempat-tempat terbuka untuk umum.Â
Kecuali: a. di lingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api, terminal angkutan darat, dan obyek-obyek vital nasional; b. pada hari besar nasional.Â
Penjelasannya lebih lanjut mengatakan yang dimaksud dengan pengecualian “di lingkungan istana kepresidenan" adalah istana presiden dan istana wakil presiden dengan radius 100 meter dari pagar luar.Â
Pengecualian untuk “instalasi militer” meliputi radius 150 meter dari pagar luar. Pengecualian untuk “obyek-obyek vital nasional” meliputi radius 500 meter dari pagar luar.
Pengunjuk Rasa Tidak Harus Memusuhi Polisi
Pengunjuk rasa tidak perlu menganggap polisi sebagai musuh. Justeru sebaliknya lebih baik bersahat dengan mereka. Karena polisi itu hanya menjaga ketertiban, pada umumnya mereka tidak terlibat dalam apa yang dituntut pengunjuk rasa. Dalam RUU KPK misalnya polisi sama sekali tidak terlibat, namun saat pengunjuk rasa melakukan unjuk rasa polisi harus menjaga agar kegiatan unjuk rasa itu berada di jalur hukum. Misalnya tidak boleh memaksa masuk gedung jika tidak diperkenankan. Sebenarnya pengunjuk rasa bisa bekerjasama dengan polisi agar kegiatan unjuk rasa itu mencapai tujuannya. Misalnya para pengunjuk rasa minta bantuan saran dari pihak Kepolisian. Contoh yang sangat baik misalnya ketika polisi santai ngobrol dengan para pengunjuk rasa saat beristirahat. Bahkan bernyanyi bersama juga tidak apa-apa. Yang penting tujuan unjuk rasa itu tercapai.Â
Kalau kita lihat dengan jernih kematian dua mahasiswa di Kendari dan korban unjuk rasa lainnya tidak sebanding dengan hasil yang diharapkan. Mereka itu merupakan calon pemimpin bangsa ini. Masyarakat Indonesia selalu merasa kehilangan setiap ada korban dalam kegiatan unjuk rasa. Â
Semoga ke depan pelaksanaan unjuk rasa di Indonesia (yang selama 350 tahun dalam masa penjajahan Belanda tidak boleh melakukan unjuk rasa) dapat berlangsung dengan baik dan jangan sampai menimbulkan korban jiwa, baik di pihak keamanan maupun di pihak pengunjuk rasa atau masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H