Di negara lain boleh melakukan unjuk rasa dengan berbagai cara yang belum tentu sesuai dengan di Indonesia. Misalnya untuk menentang penggunaan kulit binatang langka untuk jaket, telanjang bulat bisa dilakukan di negara maju untuk menarik perhatian masyarakat, namun di Indonesia hal itu tidak diperkenankan karena tidak sesuai dengan sopan santun atau aturan moral masyarakat Indonesia.
Bagian untuk menghormati hak-hak orang lain ini kelihatannya belum begitu disadari atau dihormati oleh pelaku unjuk rasa. Luapan perasaan pelaku unjuk rasa sering menimbulkan kerugian pada pihak lain seperti masyarakat yang melakukan mata pencarian di sekitar lokasi unjuk rasa.
Di era internet ini memang mudah sekali melihat demostrasi di negara lain seperti yang di Hongkong tahun ini. Namun pelaksanaan unjuk rasa di Indonesia harus tetap mengikuti aturan dan ketentuan di Indonesia.
Namun pihak keamanan juga punya kewajiban untuk menjamin pelaksanaan unjuk rasa berlangsung dengan baik.
Pasal 7 UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum menyatakan “Dalampelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum oleh warga negara, aparatur pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: a. melindungi hak asasi manusia; b. menghargai asas legalitas; c. menghargai prinsip praduga tidakbersalah; dan d. menyelenggarakan pengamanan.”
Pengorbanan dalam Unjuk Rasa
Dalam unjuk rasa baru-baru ini ada dua mahasiswa yang meninggal. Sebenarnya pihak keamanan tidak boleh melakukan tindakan yang berlebihan dalam menghadapi unjuk rasa. Tindakan kekerasan hanya dapat digunakan polisi jika sudah mengancam keselamatannya. Artinya pihak keamanan tidak boleh melakukan tindakan kekerasan apalagi menimbulkan korban jiwa seperti yang terjadi dalam penembakan mahasiswa Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari, Sulawesi La Randi dan Muhammad Yusuf  tanggal 28 September 2019 baru-baru ini.
Namun pengunjuk rasa juga perlu mempertimbangkan tindakan yang harus diambil. Memang ada saatnya harus jatuh korban agar pihak pengusaha mau melakukan perubahan, misalnya mundurnya penguasa dari jabatannya. Bagi Indonesia itu bukan hal asing. Jatuhnya Presiden Soeharto tahun 1998 tidak terlepaas dari unjuk rasa yang dilakukan oleh mahasiswa yang menimbulkan korban. Walaupun kita tidak pernah mengharapkan ada korban, walaupun hanya satu orang saja, namun jatuhnya korban jiwa biasanya dapat memaksa seseorang turun dari jabatannya. Dalam kasus Presiden Soeharto karena mahasiswa menganggap 32 tahun Presiden Soeharto berjuasa tapi membiarkan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme merajelala yang sangat merugikan masyarakat. Para korban itu dianggap sebagai pahlawan karena pada akhirnya Presiden Soeharto mundur yang kemudian melahirkan reformasi.
Namun kalau unjuk rasa yang menimbulkan korban jiwa tidak sepadan dengan tuntutan yang diajukan maka pengorban itu sesungguhnya sia-sia. Oleh karena itu pengujuk rasa harus benar-benar penuh dengan perhitungan matang apakah perlu membiarkan diri menjadi korban dalam melakukan unjuk rasa. Dalam kaitan inilah sebaiknya anak-anak tidak dilibatkan dalam unjuk rasa yang berisiko karena mereka belum mampu membuat perhitungan itu.Â
Ancaman Hukuman Bagi Pengunjuk Rasa
Para mahasiswa dan masyarakat yang melakukan unjuk rasa perlu memerhatikan ancaman hukuman jika melanggar ketentuan yang berlaku. Dalam kaitan inilah anak-anak tidak pantas untuk ikut dalam unjuk rasa, karena mereka belum tentu mengerti tentang ancaman hukuman ini. Apalagi kalau mereka menjadi korban dalam unjuk rasa itu sangat disayangkan.