Jika demikian, patutlah diduga jika beliau frustasi. Sebab cukup banyak di antara mereka yang semakin tersingkir dari perhatiannya. Seperti masyarakat yang menentang pembiaran yang dilakukannya, ketika kebijakan yang disinyalir melemahkan KPK dan pemberantasan korupsi, menggelinding kemarin.
Belum lagi pendukung yang mati-matian membelanya tanpa berharap balasan apa pun, lalu terkejut dan kecewa ketika Joko Widodo merangkul lawan sengitnya, Prabowo Subianto. Bahkan membagi-bagikan sejumlah kursi kabinet, kepada sosok-sosok yang dianggap berseberangan, dengan jerih payah beberapa menteri yang pernah membantunya, di era kepemimpinan pertama kemarin.
Semakin sulit dipungkiri, kalau merebak dugaan dimana-mana, soal keberpihakan Jokowi terhadap masyarakat hari ini yang semakin mencerminkan gejala siang dan malam dibanding periode sebelumnya.
Setelah 'drama' KPK yang terang benderang memperlihatkan kata dan lakunya yang tak sama. Joko Widodo mempertontonkan 'neo feodalisme' dalam upaya memggulirkan omnibus law. Masyarakat luas jelas-jelas tak diajaknya serta. Dia justru sibuk berembug dengan segelintir kalangan pengusaha dan politikus. Hal yang nyatanya kemudian melahirkan usulan penuh kontroversi dan ditentang khalayak ramai.
Maka, mengadu kecewa kepada publik yang justru banyak merasakan kekecewaan pada sepak terjangnya pasca terpilih lagi kemarin, adalah pendekatan yang banyak kelirunya dibanding manfaat.
+++
Kembali soal 'kekecewaan mutakhir' berkaitan tol laut, Joko Widodo nyatanya mempertahankan kedua menteri yang mestinya paling bertanggung jawab. Luhut Binsar Panjaitan selaku Menko Maritim dan Investasi. Lalu Budi Karya Sumadi pada posisi Menteri Perhubungan.
Apakah catatan keberhasilan mereka berdua selama periode pertama kemarin -- jika ada -- beliau anggap bisa mengabaikan kegagalan keduanya dalam hal tol laut?
Jika memang demikian, mengapa tak ditegur dan diminta segera berbenah diri saja?
Tentu lebih baik dibanding mengumbar kekecewaan kepada publik yang juga mulai kecewa kepada kepemimpinannya.
+++