Menyampaikan secara terbuka kekecewaan terhadap jajaran yang dipimpin sendiri, pada wilayah kewenangan yang sepenuhnya di bawah kendalinya, mau tidak mau mengundang sejumlah kecurigaan.
Pertama, seperti yang disampaikan di atas tadi, apakah benar kegelisahannya sudah begitu parah hingga mengarah putus asa?
Sebab, ungkapan tersebut, sedikit banyak akan mempermalukan pimpinan atau pejabat teras yang terkait. Mungkin mereka sudah bekerja mati-matian. Tapi tetap tak berhasil. Bukan tak mungkin pula jika ada alasan berbeda selain soal kebecusan tadi. Hal yang bisa diidentifikasi kalau dia bersedia dan mampu 'mengaudit' anak buahnya. Terkait pemahaman kewenangan, tugas, maupun tanggung jawab yang sudah diserahkan. Setelah itu, baru bisa dimaklumi apakah yang bersangkutan becus atau tidak.
Tapi mungkin pula karena syarat cukup dan perlunya tak pernah beliau penuhi. Atau perintah yang disampaikan bertentangan dengan kewenangan, tugas, maupun tanggung jawab lain yang diberikan. Baik terhadap pejabat yang bersangkutan maupun kepada instansi yang lain. Hal yang menyebabkan mereka yang di bawah bingung sendiri.
Hanya Jokowi yang tahu.
+++
Apakah mungkin Jokowi ingin 'mengadu' kepada sosok-sosok berpengaruh yang mrmpengaruhinya?
Bahwa orang-orang yang dititipkan untuk dipilih dan diangkatnya, tak kompeten. Atau saran -- tentu bukan perintah karena beliau adalah pemimpin tertinggi -- yang diturutinya jadi masalah. Artinya, dia kecewa karena tak berdaya.
Kalau demikian, berarti Joko Widodo tak merdeka. Mungkin ada definisi baru tentang 'prerogatif' yang belum dimaklumi khalayak luas.
Persoalannya, mungkinkah kekuatan-kekuatan hebat itu bersimpati terhadap kekecewaan terbuka yang diutarakan Joko Widodo?
+++
Tapi jangan-jangan Joko Widodo ingin 'curcol' kepada masyarakat luas, terutama mereka yang telah memilihnya kembali kemarin?