Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menang Bukan Tujuan, tapi Persatuan

19 September 2018   11:42 Diperbarui: 19 September 2018   12:22 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rasanya terlalu naif jika masih ada yang ragu soal kebaikan Joko Widodo. Mulai dari kesolehan-nya sebagai umat yang beriman, kejujuran-nya sebagai pejabat yang meski memiliki segudang hak istimewa, kesungguhan-nya dalam menjalankan amanah sebagai Presiden dan Kepala Negara terpilih tahun 2014 lalu, kesantunan-nya sebagai warga negara Indonesia, hingga kedamaian-nya sebagai manusia.

Saya sangat yakin --- seyakin Matahari terbit besok pagi --- tak seorang pun yang bisa menemukan cela beliau dari hal-hal yang disebut tadi. Kecuali mereka yang tergolong munafik. Sebagaimana cirinya, kaum yang demikian adalah orang-orang yang selalu bohong, ingkar janji, dan khianat.

+++

Persoalan Joko Widodo adalah pada nuansa yang dibangun sekaligus dikembangkan lawan-lawan politiknya. Atau mereka yang tersingkir dari segala kemewahan dan keistimewaan yang dinikmati selama ini. Atau kelompok yang memang ingin berontak dan membubarkan Indonesia.

Golongan yang terakhir memang bahaya laten. Mereka adalah sekelompok masyarakat yang ingin mencampur-adukkan keimanan dengan kehidupan di dunia ini. Menegakkan keyakinan agamanya sebagai dasar Negara sehingga yang lain dianggap sebagai penumpang atau warga kelas dua.

Jejak keinginan mereka untuk diistimewakan sudah berkecamuk sejak bangsa ini difasilitasi Jepang --- yang saat itu masih berstatus sebagai penjajah --- mempersiapkan kemerdekaannya. Sejarah berdirinya Republik Indonesia telah mencatat pengaruh luar biasa yang dimiliki kelompok Islam saat Badan Pelaksana Persiapan Kemerdekaan Indonesia menyusun Pancasila.

Konon Presiden Sukarno sampai menitikkan air mata ketika membujuk mereka agar tidak memaksakan ketentuan Syariat Islam sebagai bagian dari Dasar Negara kita (Yudi Latif, Negara Paripurna - Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Gramedia, 2011).

Catatan: selengkapnya mohon lihat kembali artikel "NKK/BKK, Khilafah, dan PERPPU", tanggal 16 Mei 2017

Paska Gerakan Reformasi 1998 lalu, kita memang hampir terjerumus gara-gara penafsiran Undang-Undang Nomor 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Atas dasar itu, kelompok Islam garis keras semakin leluasa untuk menebar pengaruh sambil membangun basis massa yang mendukungnya mendirikan pemerintahan khilafah.

Untunglah Joko Widodo sigap bertindak dan mengeluarkan Perppu Nomor 2/2017 sebagai penggantinya. Sejak saat itu, kelompok Hisbut Tahrir Indonesia (HTI) yang sebelumnya gencar menyuarakan pembentukan negara Islam, resmi dilarang dan harus bubar.

+++

Persoalannya, hingga PERPPU No 2 Tahun 2017 itu terbit, faham Islam yang melenceng dari hakekat sejatinya yang ingin menyebarkan kedamaian dalam kehidupan manusia, terlanjur berkembang luas dan mengakar. Sejumlah ulama yang menyajikan ceramah, sudah terbiasa memanfaatkan kebebasan mimbarnya untuk menebar keyakinan tentang negara Islam dan khilafah.

Hal yang kemudian berkembang menjadi keimanan bagi sebagian masyarakat yang mengikutinya. Maka setiap kebijakan dan upaya yang dilakukan kemudian untuk memberangus mereka, digambarkan, diasosiasikan, dan dinuansakan sebagai perbuatan dosa yang mencederai ajaran yang selama ini mereka yakini, sekaligus akan terancam masuk neraka menurut versinya.

Narasi tentang citra hingga keyakinan inilah yang di-nuansa-kan kepada sosok Joko Widodo yang sejatinya memang pemimpin tertinggi di negeri ini. Mereka terus-menerus didoktrin, dihasut, dan diyakinkan bahwa Presiden kita yang baik itu, sebagai pengkhianat dari cita-citanya menegakkan syariat dan mendirikan negara Islam.

Kenaifan itu pula yang secara terselubung maupun terang-terangan dimanfaatkan oleh 2 kelompok lainnya : para lawan poltik maupun mereka yang tersingkirkan dari "pesta penjarahan" yang dilakukan sebelumnya  

Ketidak-becusan sebagian jajaran pembantu Presiden dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya --- ditingkahi dengan penyebaran issue bahwa Joko Widodo tak sekedar berhutang pada "bangsa kafir", tapi bahkan "menggadaikan"-nya --- dimanfaatkan untuk propaganda bahwa Joko Widodo bukan bagian dari (keimanan) mereka.

Semua itu digunakan untuk menutup-nutupi ke lima sifat luhur yang hingga hari ini, baru sekarang kita temukan poda sosok Presiden maupun Kepala Negara yang pernah terpilih di Indonesia.  

Joko Widodo sangat menyadari "framing" maupun fitnah tersebut. Tapi dia memilih untuk menyempurnakan 2 sifat "surgawi" yang memang dimilikinya: warga negara dengan kesantunan paripurna dan manusia yang penuh kedamaian.

Dia tak berfikir tentang dirinya sendiri. Tapi soal bangsa yang majemuk dan terus-menerus digoncang cobaan ini.

+++

Joko Widodo justru tanpa ragu melakukan langkah-langkah yang kerap diistilahkan banyak pihak sebagai "Catur Jawa".

Alih-alih memusuhi atau menyingkirkan, beliau malah mengundang dan mengajak serta berbagai tokoh yang sebelumnya terang-terangan berseberangan --- bahkan sering mengejek dan menghinanya --- ke dalam lingkar kekuasaan maupun sebagai mitra perjuangannya.

Dia seperti ingin menyatakan, sebagai sesama warga negara Indonesia, semuanya dirangkul dengan penuh kehangatan demi satu tujuan dan kepentingan: Indonesia Raya. Tak sekalipun terbetik ucapan, gerak tubuh, ataupun tatapan mata beliau yang menyatakan, "kita dulu berbeda tapi sekarang bersama-sama". Sebaliknya, kita menyaksikan kesantunan yang paripurna sebagai sesama warga negara Indonesia yang mencintai kedamaian.

Joko Widodo bukan tak memperdulikan para pendukungnya yang tercekat, bingung, kecewa, bahkan frustasi melihat seluruh sepak terjang itu. Indonesia ini milik bersama anak bangsa yang mencita-citakan Bhineka Tunggal Ika berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Selama sepakat terhadap pandangan tersebut, maka segala perbedaan yang terjadi sesungguhnya karena cara dan sudut pandang semata. Tak ada yang mampu mengubah cita-cita mulia tersebut.

+++

Saya pribadi sempat kecewa dengan sikap dan langkah yang ditempuh Presiden Joko Widodo. Sejak pengangkatan Ali Mochtar Ngabalin pada Kantor Staf Presiden, penetapan Ma'ruf Amin sebagai calon wakil yang bakal mendampinginya kelak jika terpilih sebagai Presiden lagi, hingga susunan yang tergabung dalam Tim Sukses yang akan memperjuangkan kemenangannya dalam pemilihan presiden nanti.

Semua itu melengkapi kekecewaan yang berkembang sebelumnya. Seperti ketika beliau mengangkat begitu banyak kader partai politik dalam kabinet lalu terbukti sebagian tak becus bekerja, hingga gejala "dwi fungsi" Polri yang menurut hemat saya memang kebablasan.

Perlahan saya menyadari, semua itu memang demikianlah adanya. Semua persekutuan yang dilakukan tak dimaksudkan sedikitpun sebagai "politik dagang sapi" ataupun "pengistimewaan". Melainkan semata ajakan bekerja-sama untuk mewujudkan cita-cita luhur tadi.

Sepanjang sepakat dan amanah, segala sesuatu tentu tak ada masalah. Tapi jika ternyata curang bahkan culas, lalu berurusan dengan penegak hukum yang menjalankan tugas pokok dan fungsi mereka --- misalnya KPK --- maka beliau tak akan mencampurinya sama sekali.

Kita sudah melihat sendiri bagaimana leluasa dan lancar-jayanya Komisi Pemberantasan Korupsi menjalankan amanah tersebut. Seseorang yang baru saja akrab atau mengakrabkan diri dengannya, tak menjadi penghalang bagi komisi anti rasuah yang kita banggakan itu menjalankan tugasnya. 

Tak secuilpun kepentingan Joko Widodo digunakan untuk menghalang-halangi apalagi menghambat kerjanya. Seperti juga tak ada sedikitpun kecurigaannya menerima kehadiran mereka ketika ingin bekerja sama.

Apakah hal yang sama terlihat jelas juga di pandangan Anda?

+++

Joko Widodo telah menunjukkan kesantunan warga Negara dan kedamaian hati sebagai manusia biasa yang paripurna. Beliau mengirim pesan dengan jelas dan tegas agar siapapun bekerja sungguh-sungguh demi kepentingan bangsa dan negara. Tak ada kedekatan apapun yang menyebabkan seseorang harus diistimewakan. Kehadiran setiap pembantunya adalah untuk melengkapi ketidak sempurnaannya yang memang bukan "Superman".

Catatan: selengkapnya mohon lihat kembali artikel "Joko Widodo Bukan Superman", tanggal 4 Februari 2018.

Presiden kita kali ini memberi kepercayaan kepada setiap pembantunya untuk menuntaskan tugas dan tanggung jawab masing-masing sesuai dengan bidang dan keahlian yang ditangani. Itu sebab Sri Mulyani mati-matian berupaya mengatasi kemelut cadangan devisa yang tergerus akibat defisit neraca pembayaran yang kita hadapi. Sebab segala keputusan yang dilakukan selama ini tentu sepengetahuan dan berdasarkan persetujuan pejabat yang paling memahami bidangnya.

Begitu juga yang kita saksikan pada Budi Karya Sumadi yang bertahan dengan kebijakan primitifnya dalam menangani angkutan online. Sistem demokrasi di negeri kita hari ini terbukti bekerja dengan baik ketika Mahkamah Agung, lembaga yudikatif Indonesia, membatalkan semua ketentuan yang selama ini diyakininya akan diloloskan.

Bagaimanapun, hal ini membuktikan Joko Widodo telah menyikapi perannya agar masing-masing bekerja sesuai dengan tugas pokok dan fungsi tanpa intervensi apapun darinya. Tak ada kedekatan pribadi yang mampu menghalangi.

+++

Setelah semua yang berlangsung belakangan ini --- mulai dari mundurnya idrus Marham sebelum ditersangkakan KPK, dugaan korupsi yang dilakukan TGB meski sudah menyatakan mendukung Jokowi terpilih 2 periode, hingga penolakan MA terhadap Peraturan Menteri Perhubungan tentang angkutan online --- saya membaca pesan luar biasa yang ingin disampaikan Presiden kita ini.

"Biarlah saya apa adanya, tak usah memuja saya berlebihan, mari bekerja untuk Indonesia Raya secara tulus dan sungguh-sungguh, dan katakan saja yang sebenarnya."

Artinya, bukan pujian yang beliau cari. Tapi kritik yang membangun dan konstruktif.

+++

Mungkin tak banyak yang tahu bahwa keputusan Joko Widodo menerima dirinya dipasangkan dengan Ma'ruf Amin, sesungguhnya bukan karena khawatir tak terpilih jika terdapat 3 pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang bersaing pada pemilihan tahun 2019 mendatang. Tapi lebih kepada keinginannya untuk menghindari Pemilihan Presiden yang akan kita selenggarakan tahun depan itu, berlangsung 2 putaran.

Semata karena alasan biaya mahal yang harus ditanggung bangsa ini.

Jadi, kemuliaan apa lagi yang belum ditunjukkannya kepada kita semua? Tidak kah kita malu atas ketulusan dan keikhlasannya terhadap bangsa yang besar ini?    

Jilal Mardhani, 19 September 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun