Persoalannya, hingga PERPPU No 2 Tahun 2017 itu terbit, faham Islam yang melenceng dari hakekat sejatinya yang ingin menyebarkan kedamaian dalam kehidupan manusia, terlanjur berkembang luas dan mengakar. Sejumlah ulama yang menyajikan ceramah, sudah terbiasa memanfaatkan kebebasan mimbarnya untuk menebar keyakinan tentang negara Islam dan khilafah.
Hal yang kemudian berkembang menjadi keimanan bagi sebagian masyarakat yang mengikutinya. Maka setiap kebijakan dan upaya yang dilakukan kemudian untuk memberangus mereka, digambarkan, diasosiasikan, dan dinuansakan sebagai perbuatan dosa yang mencederai ajaran yang selama ini mereka yakini, sekaligus akan terancam masuk neraka menurut versinya.
Narasi tentang citra hingga keyakinan inilah yang di-nuansa-kan kepada sosok Joko Widodo yang sejatinya memang pemimpin tertinggi di negeri ini. Mereka terus-menerus didoktrin, dihasut, dan diyakinkan bahwa Presiden kita yang baik itu, sebagai pengkhianat dari cita-citanya menegakkan syariat dan mendirikan negara Islam.
Kenaifan itu pula yang secara terselubung maupun terang-terangan dimanfaatkan oleh 2 kelompok lainnya : para lawan poltik maupun mereka yang tersingkirkan dari "pesta penjarahan" yang dilakukan sebelumnya
Ketidak-becusan sebagian jajaran pembantu Presiden dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya --- ditingkahi dengan penyebaran issue bahwa Joko Widodo tak sekedar berhutang pada "bangsa kafir", tapi bahkan "menggadaikan"-nya --- dimanfaatkan untuk propaganda bahwa Joko Widodo bukan bagian dari (keimanan) mereka.
Semua itu digunakan untuk menutup-nutupi ke lima sifat luhur yang hingga hari ini, baru sekarang kita temukan poda sosok Presiden maupun Kepala Negara yang pernah terpilih di Indonesia.
Joko Widodo sangat menyadari "framing" maupun fitnah tersebut. Tapi dia memilih untuk menyempurnakan 2 sifat "surgawi" yang memang dimilikinya: warga negara dengan kesantunan paripurna dan manusia yang penuh kedamaian.
Dia tak berfikir tentang dirinya sendiri. Tapi soal bangsa yang majemuk dan terus-menerus digoncang cobaan ini.
+++
Joko Widodo justru tanpa ragu melakukan langkah-langkah yang kerap diistilahkan banyak pihak sebagai "Catur Jawa".
Alih-alih memusuhi atau menyingkirkan, beliau malah mengundang dan mengajak serta berbagai tokoh yang sebelumnya terang-terangan berseberangan --- bahkan sering mengejek dan menghinanya --- ke dalam lingkar kekuasaan maupun sebagai mitra perjuangannya.