Lalu sejumlah langkah tak populer lain pun --- meski benar sesuai hukum perundang-undangan yang berlaku --- merebak di mana-mana. Pemasangan pelang yang menyatakan penghuni belum menbayar pajak salah satunya. Lalu menderek atau mengempeskan kendaraan pemilik rumah di pinggir jalan. Padahal dalam soal ini, masyarakat sebetulnya mempunyai celah mempertanyakan hak mereka dan kewajiban negara terhadap pelayanan publik yang jauh dari memadai hari ini. Bukan tak mungkin, ketiadaan pelayanan itulah yang menyebabkan mereka harus memiliki kendaraan untuk menunjang mobilitas sehari-hari. Meskipun tak memiliki lahan yang cukup untuk memarkirkannya di rumah.
+++
Fenomena kehadiran 'semu' negara yang seolah sedang dieksploitasi habis-habisan sekarang ini mungkin terindikasikan oleh satu pernyataan lain pada survey ISEAS itu.
Berkaitan dengan partisipasi politik, hampir 100 persen menggunakan hal pilihnya baik pada pilkada (93.1 %), wakil rakyat (91,5 %), maupun presiden (94.0 %). Tapi hanya 5.3 % yang mengatakan pernah memghubungi politisi untuk menyampaikan gagasan ataupun keluhan. Jumlah itu hanya sedikit lebih besar dibanding mereka yang pernah berpartisipasi dalam aksi demonstrasi maupun protes (2.6 persen).
Indikator-indikator tersebut kurang lebih menyatakan bahwa sesungguhnya masyarakat sangat berharap serta menggantungkan kepercayaan atas nasib bangsa ini kepada para pemimpin dan tokoh-tokoh yang menawarkan diri untuk mewakili mereka. Setelah itu --- entah karena kesibukan, ketidak mampuan, atau mungkin ketidak pedulian --- umumnya mereka cenderung pasif dari dinamika politik yang berkembang. Oleh karena itu, gonjang-ganjing yang berkembang di lapangan dan membangun suatu citra, akan menjadi hal penting bagi mereka. Seperti yang kemungkinan besar sedang diagendakan pihak-pihak yang ingin mencitrakan 'ketidak-berdayaan Jokowi bertindak berani dan tegas' menyikapi situasi yang sebetulnya juga menggerogoti popularitasnya.
+++
Fakta dari berbagai temuan di atas telah begitu nyata mengindikasikan soal 'persetujuan publik' bahwa Jokowi adalah asset bangsa yang langka dan istimewa. Tapi sejumlah temuan lain di dalamnya juga menggambarkan begitu banyak celah peluang yang dapat dimanfaatkan pIhak-pihak yang ingin menjatuhkan bahkan menyingkirkannya dari pentas Republik Indonesia.
Pada sisa waktu yang semakin sempit ini, Jokowi beserta seluruh jajarannya dituntut lebih bijaksana tapi cerdik dan cerdas menyikapi keadaan.
Ini bukan semata soal terpilih atau tidaknya dia kembali sebagai Presiden Republik Indonesia 2019-2024. Tapi tentang keberlanjutan kerja dan fondasi bangsa yang sedang dibangun kembali. Mengenai upaya mengenyahkan para pecundang berhati culas yang tak pernah memimpikan Indonesia selain kepentingan dirinya sendiri.
Mari kita bicarakan tentang Indonesia yang bhinneka tunggal ika dan hebat ini.
Jilal Mardhani, 14-10-2017