Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi

14 Oktober 2017   13:48 Diperbarui: 14 Oktober 2017   14:23 1926
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Walaupun tak tersedia data-silang atau jawaban pertanyaan yang berkait langsung --- dengan menggunakan keseluruhan pendapat responden yang telah diuraikan panjang lebar di atas  --- seluruhnya telah mengkonfirmasi pernyataan tentang sosok Jokowi yang disampaikan pada bagian awal tadi: bahwa dia adalah sebuah pengecualian dan bermakna sangat istimewa bagi Indonesia hari ini.

Tapi soal kepercayaan --- dan mungkin cinta --- publik terhadap mantan walikota Solo dan Gubernur DKI fenomenal itu, adalah satu hal.

Dengan upaya yang terus-menerus, tak kenal lelah, liar, berjamaah, dan menerjang dari segala penjuru yang berlangsung sepanjang hari akhir-akhir ini --- termasuk operasi tangkap tangan KPK dan pengungkapan skandal korupsi yang tak henti-henti pada berbagai institusi negara maupun pemerintahan  --- maka tak mustahil apatisme di tengah masyarakat merebak dan semakin meluas.

Seolah-olah semua yang terus dibeberkan dan membanjiri perhatian kita menegaskan bahwa korupsi itu niscaya, tak terbantahkan, perlu, bahkan halal. Dengan kata lain, siapapun yang menentangnya adalah manusia ketinggalan zaman, naif, bahkan hanya menyusahkan karena menyebabkan hal-hal tak perlu dan sia-sia. Bukankah pesan itu yang sedang dpertontonkan oleh Setya Novanto dan kawan-kawannya?

Suka ataupun tidak, dalam kacamata umum yang saya perkirakan, semua itu seolah ingin menampilkan 'ketidak-mampuan' seorang Joko Widodo mengatasi dan mengendalikan situasi. Ini bukan soal kepercayaan dan kecintaan publik pada sosok pribadinya. Tapi perlahan-lahan seperti ada yang ingin menggeser ke arah 'keberanian dan ketegasan'-nya dalam bersikap. Hal yang sama sekali tak memiliki hubungan dengan kesetiaan dan ketaatannya terhadap hak dan wewenang yang dimiliki selaku Presiden dan Kepala Negara RI sesuai konstitusi dan perundang-undangan yang berlaku.

Capaian kedua yang ingin mereka raih adalah 'memisahkan' Jokowi dari 'kita'. Menjadikannya sang liyan. Bukan hanya melalui issue agama (Islam) seperti yang terus didengungkan hingga sekarang.

Terakhir ini --- setelah Rizieq Syihab umrah tapi kemudian tak kunjung pulang ke tanah air paska penyidikan polisi terhadap skandal komunikasi porno yang dilakukannya --- bara perseteruan 'kami' dan 'mereka' itu seakan ingin terus dipelihara. Salah satunya lewat upaya gugatan terhadap Perpu Ormas yang diterbitkan Jokowi. Sebab peraturan pengganti undang-undang itu memberi jalan bagi pemerintah untuk membubarkan kelompok-kelompok radikal yang ingin memecah-belah bangsa yang majemuk ini. Tapi suka tak suka, pertentangan pandangan soal Islam dan agama lain dalam konteks bernegara kita --- bahkan diantara sesama mereka yang mengimani agama Islam sendiri  --- telah berkembang semakin matang dan tajam.

Peluang mereka yang ingin menerapkan politik memecah-belah bangsa ini memang sangat terbuka. Beberapa indikator tersaji implisit pada survey ISEAS itu.

Mayoritas responden menyatakan wanita Muslim seharusnya mengenakan hijab. Kelompok berpendidikan rendah yang sependapat sebesar 83.8 persen, menengah 79.3 persen, dan tinggi 88.9 persen. Begitu juga dari tingkat kesejahteraan. Mereka yang berpenghasilan rendah dan setuju mencapai 85.1 persen, menengah 80.4 persen, dan tinggi 78.5 persen.

Di sisi lain, ketika ditanyakan kepada responden wanitanya, 78.4 % dari kelompok berpendidikan rendah sehari-hari memang mengenakan hijab. Sedangkan kelompok menengah 75.2 persen dan tinggi 94.5 persen. Meski terdapat sedikit perbedaan, pada umumnya persetujuan mereka terhadap syariah Islam itu cukup berbanding lurus dengan sikap yang dilakoni sehari-hari.

Begitu pula jika kita cermati dari tingkat kesejahteraan. Sebesar 75.6 % responden wanita dari kelompok pendapatan rendah menyatakan mengenakannya sehari-hari, 78.2 % dari kalangan menengah, dan 84.9 % dari kalangan yang berpendapata tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun