Pilkada serentak 2018 sebentar lagi. Setahun kemudian pemilihan presiden yang kemungkinan besar akan diikuti Jokowi kembali. Saya --- mungkin juga Anda --- tentu berharap demikian. Mudah-mudahan beliau dapat memenangkan kembali untuk memimpin Indonesia periode kedua agar dapat menuntaskan berbagai kerja yang sudah dimulai 5 tahun sebelumnya.
+++
Joko Widodo adalah pengecualian yang bermakna amat istimewa bagi Indonesia. Seumur negeri ini merdeka, belum pernah ada sosok yang begitu tulus dan sungguh-sungguh mewakafkan dirinya untuk memimpin bangsa yang besar ini; dan tidak mengambil manfaat sedikitpun untuk kepentingan diri, keluarga, maupun orang-orang yang berada di sekitarnya.
Dia memang 'terlalu suci-bersih'. Hal yang membuat banyak pihak gerah. Apalagi yang terbiasa culas, kotor, dan biadab meski ditutup rapat kedok kepalsuan. Mereka yang terakhir itu, belakangan sudah tak malu dan terang-terangan menyingkap topeng dan menunjukkan 'wajah' aslinya. Celakanya, akrobat mereka telah berlangsung sedemikian rupa hingga seolah-olah berkesan 'wajar' dan 'berterima' bagi kalangan luas. Mungkin semua itu terjadi dan berkembang karena masyarakat kebanyakan mulai lelah dan bosan berada ditengah hiruk pikuk persoalan hidup sehari-harinya.
+++
Hasil survey ISEAS (Yusof Ishak Institute) yang dipublikasikan September kemarin menyajikan sejumlah indikator yang mungkin sudah banyak kita duga. Approval rating terhadap Jokowi masih berkisar 68 persen.
Selisih antara pria (68.7 %) dan wanita (67.6 %) tak significant. Begitu pula antara masyarakat pedesaan (68.9 %) dan perkotaan (67.4 %). Berdasarkan tingkat pendidikan juga relatif sama, yaitu 67.5 % (rendah), 68.8 % (menengah), dan 67.7 % (tinggi). Sedangkan berdasarkan income, approval rating Jokowi di kalangan bawah 69.5 persen, menengah 67.3 persen, dan tinggi 66.7 persen.
Perbedaan angka approval rating yang tak berarti itu menunjukkan bahwa Jokowi sesungguhnya merata diterima dan digugu semua kalangan.
+++
Di tengah situasi kini --- yang di lapangan sesungguhnya terlihat semakin sulit --- kepuasan dan optimistis masyarakat terhadap kepemimpinannya saat survey dilaksanakan (sekitar Mei 2017) masih sangat baik. Sebanyak 52.1 persen menyatakan perekonomian tumbuh lebih cepat (22.6 % tak setuju); 55.2 persen merasa ekonomi lebih kompetitif (17.3 % tak setuju); 47.7 persen menganggap lebih mudah berusaha (23.5 % tak setuju); dan 43.2 persen mengatakan kondisi kaum miskin mengalami perbaikan (27.9 % tak setuju).
Tapi perhatikanlah pernyataan tentang 'kemudahan lapangan kerja'. Jumlah yang tidak setuju dengan keadaan tersebut mencapai 41.3 persen (28.8 % setuju). Begitu juga soal 'harga barang-barang lebih murah'. Sebanyak 47.8 persen tak setuju dengan pernyataan itu (27.5 % setuju).
+++
Belakangan ini, berbagai indikator positif tersebut seolah ada yang ingin merobohkannya. Begitu pula kedua indikator negatif yang disebut terakhir. Seakan-akan ada yang ingin mengeksploitasi dan meng-'kapitalisasi'-kannya.
Beberapa waktu lalu, tiba-tiba beredar surat Menteri Keuangan Sri Mulyani kepada koleganya di kabinet Jokowi-JK --- Ignatius Jonan (ESDM) dan Rini Sumarno (BUMN)--- tentang kekhawatiran gagal bayar PLN terhadap cicilan hutang dan bunga pinjaman yang akan jatuh tempo. Lalu kabar penolakan President Free Port terhadap skema divestasi 51 persen pemerintah terhadap anak perusahaan mereka yang telah beroperasi puluhan tahun di bumi Papua. Padahal sebelumnya --- seusai drama 'Papa Minta Saham' yang dilakoni Setya Novanto yang sakti mandraguna itu --- telah terpublikasi luas bahwa kesepakatan itu telah diaminkan kedua belah pihak.
Lalu hakim PTUN mengabulkan permohonan Setya Novanto untuk membatalkan status tersangka yang disandangkan KPK terkait kasus e-ktp. Jika ada yang melakukan jajak pendapat, mungkin sebagian besar responden tak percaya dan kecewa terhadap keputusan itu. Sebab persoalan kartu tanda penduduk berkait kepada seluruh penduduk dewasa yang memiliki hak memilih. Meski sama-sama absurd, ketidak percayaan dan rasa kecewa masyarakat kemungkinan lebih besar dibanding saat Ahok dinyatakan bersalah melalui keputusan yang berbeda dengan tuntutan yang dibacakan jaksa.
Demostrasi praktek 'keadilan' di atas agaknya semakin menyempurnakan kebingungan publik awam jika disandingkan dengan kehebohan saat Kapolri menggeruduk gudang beras tempo hari dan menuding kerugian negara mencapai triliunan rupiah. Seolah ingin bersaing dengan dugaan mega korupsi e-ktp. Tapi nyatanya kasus itu kemudian menguap atau terselip diantara berbagai hiruk-pikuk yang tak kunjung reda belakangan ini.
Belum lagi kasus penyiraman air keras yang dialami Novel Baswedan yang pengungkapannya tak kunjung terang hingga sekarang. Alih-alih mengembangkan upaya pengungkapan dan menangkap aktor intelektualnya, DPR-RI malah menggalang Panitia Angket yang mendeskriditkan KPK dan kinerjanya dengan cara-cara 'ajaib' yang membuat banyak pihak geleng-geleng kepala. Sedemikian rupa sehingga terlihat 'keruwetan' masalah yang mereka hebohkan hanya dipahami dan bisa dimengerti oleh segelintir manusia di sana. Sebab begitu banyak 'ketidak-patutan' dan 'ketidak-laziman' logika publik yang mereka pertontonkan.
Tak cukup disana, sekonyong-konyong beredar kabar pejabat KPK yang diperbantukan dari korps Bhayangkara yang menghadiri sidang Panitia Angket KPK yang digelar DPR; tanpa persetujuan pimpinannya. Ia pun kemudian mengajukan tuntutan pencemaran nama baiknya oleh Novel. Hanya gara-gara beredar surat internal tentang keberatan penyidik --- yang setelah disiram air keras beberapa bulan lalu, saat ini masih dalam proses penyembuhan --- pada proses rekrutmen penyidik komisi anti rasuah tersebut.
Entah disengaja atau kebetulan semata --- di tengah upaya kasat mata pelemahan KPK berjamaah yang sedang berlangsung --- belakangan beredar pula kabar soal Densus Tipikor di tubuh Polri yang membutuhkan sekian triliun rupiah anggaran.
+++
Survey ISEAS tersebut sesungguhnya mengungkap tingkat kepuasan publik yang cukup tinggi terhadap proyek pembangunan infrastruktur (76 % pada kalangan pedesaan dan 71.8 % di perkotaan). Tapi di sisi lain, kekhawatiran mereka yang paling tinggi terhadap hal yang menghambat proyek-proyek infrastuktur tersebut adalah korupsi (97 persen). Jauh lebih besar dibanding kendala urutan kedua (kelangkaan sumber daya manusia dan sumber pembiayaan, 33.3 %), maupun kendala ketiga (kerjasama dan dukungan pemerintah daerah, 11.1 %).
Issue korupsi memang merupakan persoalan paling penting --- karena berada pada peringkat pertama --- yang sedang dihadapi Indonesia hari ini (38.8 persen). Jauh mengalahkan kebutuhan infrastruktur (peringkat ke-3 sebesar 24.6 persen), bahkan pengangguran (peringkat ke-8 sebesar 16.3 persen) dan kesehatan (peringkat ke-10 sebesar 9.53 persen).
Walaupun tak tersedia data-silang atau jawaban pertanyaan yang berkait langsung --- dengan menggunakan keseluruhan pendapat responden yang telah diuraikan panjang lebar di atas --- seluruhnya telah mengkonfirmasi pernyataan tentang sosok Jokowi yang disampaikan pada bagian awal tadi: bahwa dia adalah sebuah pengecualian dan bermakna sangat istimewa bagi Indonesia hari ini.
Tapi soal kepercayaan --- dan mungkin cinta --- publik terhadap mantan walikota Solo dan Gubernur DKI fenomenal itu, adalah satu hal.
Dengan upaya yang terus-menerus, tak kenal lelah, liar, berjamaah, dan menerjang dari segala penjuru yang berlangsung sepanjang hari akhir-akhir ini --- termasuk operasi tangkap tangan KPK dan pengungkapan skandal korupsi yang tak henti-henti pada berbagai institusi negara maupun pemerintahan --- maka tak mustahil apatisme di tengah masyarakat merebak dan semakin meluas.
Seolah-olah semua yang terus dibeberkan dan membanjiri perhatian kita menegaskan bahwa korupsi itu niscaya, tak terbantahkan, perlu, bahkan halal. Dengan kata lain, siapapun yang menentangnya adalah manusia ketinggalan zaman, naif, bahkan hanya menyusahkan karena menyebabkan hal-hal tak perlu dan sia-sia. Bukankah pesan itu yang sedang dpertontonkan oleh Setya Novanto dan kawan-kawannya?
Suka ataupun tidak, dalam kacamata umum yang saya perkirakan, semua itu seolah ingin menampilkan 'ketidak-mampuan' seorang Joko Widodo mengatasi dan mengendalikan situasi. Ini bukan soal kepercayaan dan kecintaan publik pada sosok pribadinya. Tapi perlahan-lahan seperti ada yang ingin menggeser ke arah 'keberanian dan ketegasan'-nya dalam bersikap. Hal yang sama sekali tak memiliki hubungan dengan kesetiaan dan ketaatannya terhadap hak dan wewenang yang dimiliki selaku Presiden dan Kepala Negara RI sesuai konstitusi dan perundang-undangan yang berlaku.
Capaian kedua yang ingin mereka raih adalah 'memisahkan' Jokowi dari 'kita'. Menjadikannya sang liyan. Bukan hanya melalui issue agama (Islam) seperti yang terus didengungkan hingga sekarang.
Terakhir ini --- setelah Rizieq Syihab umrah tapi kemudian tak kunjung pulang ke tanah air paska penyidikan polisi terhadap skandal komunikasi porno yang dilakukannya --- bara perseteruan 'kami' dan 'mereka' itu seakan ingin terus dipelihara. Salah satunya lewat upaya gugatan terhadap Perpu Ormas yang diterbitkan Jokowi. Sebab peraturan pengganti undang-undang itu memberi jalan bagi pemerintah untuk membubarkan kelompok-kelompok radikal yang ingin memecah-belah bangsa yang majemuk ini. Tapi suka tak suka, pertentangan pandangan soal Islam dan agama lain dalam konteks bernegara kita --- bahkan diantara sesama mereka yang mengimani agama Islam sendiri --- telah berkembang semakin matang dan tajam.
Peluang mereka yang ingin menerapkan politik memecah-belah bangsa ini memang sangat terbuka. Beberapa indikator tersaji implisit pada survey ISEAS itu.
Mayoritas responden menyatakan wanita Muslim seharusnya mengenakan hijab. Kelompok berpendidikan rendah yang sependapat sebesar 83.8 persen, menengah 79.3 persen, dan tinggi 88.9 persen. Begitu juga dari tingkat kesejahteraan. Mereka yang berpenghasilan rendah dan setuju mencapai 85.1 persen, menengah 80.4 persen, dan tinggi 78.5 persen.
Di sisi lain, ketika ditanyakan kepada responden wanitanya, 78.4 % dari kelompok berpendidikan rendah sehari-hari memang mengenakan hijab. Sedangkan kelompok menengah 75.2 persen dan tinggi 94.5 persen. Meski terdapat sedikit perbedaan, pada umumnya persetujuan mereka terhadap syariah Islam itu cukup berbanding lurus dengan sikap yang dilakoni sehari-hari.
Begitu pula jika kita cermati dari tingkat kesejahteraan. Sebesar 75.6 % responden wanita dari kelompok pendapatan rendah menyatakan mengenakannya sehari-hari, 78.2 % dari kalangan menengah, dan 84.9 % dari kalangan yang berpendapata tinggi.
Temuan-temuan itu kemudian 'dapat' memaklumi 67.2 % pendapat yang menyatakan 'penerapan hukum syariah akan memperkuat nilai moral'. Sementara yang menyatakan 'bermanfaat bagi upaya memerangi korupsi' hanya 4.6 persen. Bahkan yang mengaitkan manfaatnya dengan 'keuntungan propaganda Islam' hanya 9.8 persen.
Indikator yang lebih mengkhawatirkan soal peluang bagi mereka yang ingin menerapkan politik 'divide et impera' itu, justru terlihat pada pernyataan-yang berkaitan dengan peran keislaman.
- 49 % menganggap pemeluk Islam harus diprioritaskan dibanding agama lain.
- 58 % menyatakan penting memilih pemimpin yang Muslim.
- 63 % menginginkan hukuman lebih sering ditegakkan bagi mereka yang menista agama Islam.
- 41 % berharap hukum syariah diterapkan di tingkat lokal sementara yang menginginkannya di seluruh Indonesia sebesar 39 persen.
- 36 % menginginkan Islam sebagai satu-satunya agama resmi di Indonesia.
+++
Kesan 'keraguan pada ketidak berdayaan Jokowi bersikap tegas dan berani' menghadapi kesemerawutan Indonesia, lamat-lamat kemudian 'terekam' lewat pernyataan-pernyataan responden yang berkait dengan tingkat kepercayaan pada sejumlah institusi kita.
Adalah Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang menempati urutan pertama institusi yang dipercaya responden (90.2 persen). Mengalahkan Pemerintah Pusat yang hanya menempati urutan ketiga (81.6 persen), di bawah Komisi Pemberantasan Korupsi yang menempati urutan kedua (83.1 persen).
Sementara itu, tingkat kepercayaan responden yang paling rendah justru terhadap Partai-partai Politik. DPR berada setingkat di atasnya (peringkat ke-12 sebesar 55.4 persen). Padahal, institusi inilah yang mewakili suara dan kepentingan mereka.
+++
Kebetulan atau tidak, tingkat kepercayaan tertinggi dari responden survey ISEAS terhadap TNI tersebut, seperti beresonansi dengan sepak-terjang Panglima-nya dalam beberapa minggu terakhir. Sekonyong-konyong cerita basi soal 'hantu' PKI dan komunisme dihembuskannya kembali. Kemudian diikuti dengan 'sesumbar informasi intelijen A-1' soal penyeludupan 5000 picuk senjata yang kemudian hari dibantah resmi oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto, yang menjadi atasannya.
Semua kesemerawutan itu --- sengaja atau khilaf --- terus saja diperkeruh berbagai berbaga pihak. Soal ketidak-mampuan Menteri Perhubungan beradaptasi dengan kemajuan zaman dalam menyikapi fenomena Revolusi Budaya Digital pada transportasi online, adalah contohnya.
Alih-alih menyempurnakan Peraturan Menteri yang telah disiapkan pendahulunya yang kebijakannya soal hal tersebut sempat menuai kritik langsung dari Jokowi, Menteri Budi Karya malah memaksakan pemberlakuannya setelah melakukan sejumlah perubahan yang tak esensial. Kemudian sejumlah pihak mengajukan gugatan dan Mahkamah Agung membantalkan Peraturan Menteri tersebut. Atas dasar kekosongan aturan dan ketentuan paska keputusan itu maka sejumlah daerah --- sebagaimana yang baru saja terjadi di Bandung, Jawa Barat, dan beberapa kota lain di Indonesia --- mengeluarkan sikap pelarangan operasi angkutan online.
Walaupun dihentikan sementara, hal tersebut tentu mengecewakan banyak kalangan yang setelah berbagai kesulitan ekonomi dan lapangan kerja --- seperti yang dinyatakan mayoritas responden pada bagian awal tulisan ini --- menggantungkan rezeki hidupnya di sana.
Lalu sejumlah langkah tak populer lain pun --- meski benar sesuai hukum perundang-undangan yang berlaku --- merebak di mana-mana. Pemasangan pelang yang menyatakan penghuni belum menbayar pajak salah satunya. Lalu menderek atau mengempeskan kendaraan pemilik rumah di pinggir jalan. Padahal dalam soal ini, masyarakat sebetulnya mempunyai celah mempertanyakan hak mereka dan kewajiban negara terhadap pelayanan publik yang jauh dari memadai hari ini. Bukan tak mungkin, ketiadaan pelayanan itulah yang menyebabkan mereka harus memiliki kendaraan untuk menunjang mobilitas sehari-hari. Meskipun tak memiliki lahan yang cukup untuk memarkirkannya di rumah.
+++
Fenomena kehadiran 'semu' negara yang seolah sedang dieksploitasi habis-habisan sekarang ini mungkin terindikasikan oleh satu pernyataan lain pada survey ISEAS itu.
Berkaitan dengan partisipasi politik, hampir 100 persen menggunakan hal pilihnya baik pada pilkada (93.1 %), wakil rakyat (91,5 %), maupun presiden (94.0 %). Tapi hanya 5.3 % yang mengatakan pernah memghubungi politisi untuk menyampaikan gagasan ataupun keluhan. Jumlah itu hanya sedikit lebih besar dibanding mereka yang pernah berpartisipasi dalam aksi demonstrasi maupun protes (2.6 persen).
Indikator-indikator tersebut kurang lebih menyatakan bahwa sesungguhnya masyarakat sangat berharap serta menggantungkan kepercayaan atas nasib bangsa ini kepada para pemimpin dan tokoh-tokoh yang menawarkan diri untuk mewakili mereka. Setelah itu --- entah karena kesibukan, ketidak mampuan, atau mungkin ketidak pedulian --- umumnya mereka cenderung pasif dari dinamika politik yang berkembang. Oleh karena itu, gonjang-ganjing yang berkembang di lapangan dan membangun suatu citra, akan menjadi hal penting bagi mereka. Seperti yang kemungkinan besar sedang diagendakan pihak-pihak yang ingin mencitrakan 'ketidak-berdayaan Jokowi bertindak berani dan tegas' menyikapi situasi yang sebetulnya juga menggerogoti popularitasnya.
+++
Fakta dari berbagai temuan di atas telah begitu nyata mengindikasikan soal 'persetujuan publik' bahwa Jokowi adalah asset bangsa yang langka dan istimewa. Tapi sejumlah temuan lain di dalamnya juga menggambarkan begitu banyak celah peluang yang dapat dimanfaatkan pIhak-pihak yang ingin menjatuhkan bahkan menyingkirkannya dari pentas Republik Indonesia.
Pada sisa waktu yang semakin sempit ini, Jokowi beserta seluruh jajarannya dituntut lebih bijaksana tapi cerdik dan cerdas menyikapi keadaan.
Ini bukan semata soal terpilih atau tidaknya dia kembali sebagai Presiden Republik Indonesia 2019-2024. Tapi tentang keberlanjutan kerja dan fondasi bangsa yang sedang dibangun kembali. Mengenai upaya mengenyahkan para pecundang berhati culas yang tak pernah memimpikan Indonesia selain kepentingan dirinya sendiri.
Mari kita bicarakan tentang Indonesia yang bhinneka tunggal ika dan hebat ini.
Jilal Mardhani, 14-10-2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H