Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Drama KPK, Sutradara yang Pongah, dan Lakon yang Bebal

15 September 2017   10:56 Diperbarui: 15 September 2017   16:28 3702
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi gambar : 'tak-bir', karya Tisna Sandjaja, litografi, 2017)

Tidakkah cukup jelas bahwa kehadiran lembaga khusus pemberantas korupsi itu merupakan tekad sekaligus jawaban kita semua untuk menyikapi situasi darurat akibat prilaku lancung yang memang telah membudaya?

Sejak pertama kali hadir hingga hari ini, KPK telah berulang kali mengungkap berbagai kasus korupsi yang masih saja dilakoni berbagai aparat negara. Bahkan termasuk mereka yang berfungsi resmi untuk menegakkan keadilan hukum tapi justru diragukan efektifitas dan efisiensinya dalam memberantas tindak pidana korupsi oleh UU 30/2002 yang memayungi lembaga anti rasuah itu : hakim, jaksa, polisi, dan termasuk pengacara. Juga sejumlah wakil rakyat yang mengisi gedung-gedung parlemen mulai tingkat pusat hingga daerah.

Melihat kasus demi kasus yang terus bermunculan ke permukaan, wajar jika ada yang bertanya soal kemampuan lembaga itu 'menasbihkan' efek jera. Apalagi jika memperhatikan kualitas peran dan posisi tokoh-tokoh yang terjerat oleh mereka. Seolah-olah benar bahwa praktek korupsi adalah hal yang niscaya dalam struktur kekuasaan dan pengelolaan negara ini. Tertangkap tangan dan menjadi pasien lembaga anti rasuah itu hanya soal 'nasib sial'. 

Artinya, tindak pidana korupsi di negeri ini memang sudah sangat gawat. Bukan hal yang sungguh-sungguh diyakini semua orang sebagai sesuatu yang terlarang dan memalukan. Justru masih (terlalu) banyak yang memaklumi dan menganggapnya wajar.

Jadi, pertanyaan gelisah soal kemampuan KPK membangkitkan dan menyebar-luaskan efek jera itu, sesungguhnya bukan dikaitkan pada kesia-siaan lembaga yang terbukti strategis menjalankan peran dan fungsinya mengungkap kasus-kasus raksasa sekaligus memalukan bangsa. Tapi justru pada kesadaran tingkat keparahan'penyakit' sosial itu dalam menjangkiti perilaku dan pola hidup sehari-hari masyarakat Indonesia hari ini.

+++

Tentu sangat tak masuk akal ketika sejumlah oknum dari lembaga-lembaga yang selama ini justru menjadi sasaran operasi kerja KPK -- sementara sebagian diantaranya justru dibuktikan atau setidaknya diduga kuat oleh lembaga independen anti-rasuah tersebut telah melakoni praktek lancung yang kita kutuk bersama -- beramai-ramai melancarkan aksi perlawanan dan upaya pelemahan

Sejarah telah mencatat lebih dari sekali prahara dan gonjang-ganjing tak perlu menimpa lembaga yang terpercaya memberantas tindak pidana korupsi itu. Terutama ketika kegiatannya menyentuh pejabat tinggi kepolisian. Mula-mula Antasari Ashar yang tersangkut kasus pembunuhan, meringkuk dipenjara, lalu menyatakan sesuatu yang tak beres pada kasus yang menimpanya setelah yang bersangkutan selesai menjalani hukuman. Hingga kini kejelasan lebih lanjut dari pernyataan kontroversialnya menjelang putaran pertama Pilkada DKI yang juga diikuti oleh Agus Yudhoyono itu, masih abu-abu

Kemudian kasus 'cicak vs buaya' yang melibatkan Susno Duadji saat menjabat sebagai Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri. Chandra Hamzah dan Bibid Samad Rianto selaku pimpinan KPK juga sempat dipidanakan -- diduga terpicu langkah mereka menindak korupsi yang melibatkan petinggi Polri -- walau akhirnya dibebaskan setelah berkembang jadi polemik panjang. 

Setelah itu, 2 pimpinan lembaga KPK periode berikutnya terpaksa berhenti di tengah masa tugas gara-gara sejumlah tuduhan 'ecek-ecek' setelah mengeluarkan 'pernyataan yang dianggap menghambat jalan' Budi Gunawan menuju puncak kekuasaan tertinggi di Kepolisian Republik Indonesia. Abraham Samad dituduh terlibat pada pemalsuan KTP dan Kartu Keluarga. Sementara Bambang Widjajanto -- pimpinan KPK lain yang seangkatan dan 'seperistiwa' dengannya  -- dituding kasus keterangan palsu pada sengketa Pilkada saat yang bersangkutan menanganinya ketika masih berprofesi sebagai pengacara. 

Memang sangat wajar jika banyak yang mempertanyakan kesesuaian antara iktikad pemberantasan korupsi dengan sikap yang dipertontonkan selama ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun