Jadi, menyediakan angkutan umum massal menggunakan MRT, LRT, BRT, atau jenis lainnya yang tersedia dan sesuai, adalah keniscayaan.
Jika demikian, mengapa Jokowi sungkan mengajak segenap komponen bangsa --- terutama yang tinggal dan beraktivitas di perkotaan --- untuk bersama-sama menanggulanginya?
Ajukanlah usul Biaya Penyelenggaraan Transportasi Publik (BPTP) yang wajib ditanggung setiap warga terlepas mereka menggunakannya atau tidak. Pertama kali mungkin diterapkan di wilayah-wilayah perkotaan yang kebutuhannya sudah mendesak, seperti Metropolitan Jakarta, Surabaya, Bandung, Yogyakarta, Medan, dan seterusnya. Bagi warga yang tergolong tidak mampu, kewajiban itu menjadi tanggung jawab negara (pemerintah).
Maka dengan adanya kebijakan tersebut, pemerintah kota akan mempunyai sumber pendapatan baru yang dapat dialokasikan khusus untuk membiayai pengembangan dan pelayanan sistem angkutan umum massal yang dibutuhkan.
Berbagai kebijakan turunan yang terkait tentu perlu dipertimbangkan, termasuk meniadakan sepenuhnya subsidi atas bbm, pajak kendaraan, hingga kewajiban pengusaha atau pemberi kerja untuk memasukkan Biaya Penyelenggaraan Transportasi Publik sebagai salah satu komponen fasilitas yang wajib disediakan, seperti BPJS.
***
Eligible
Kedua, berhentilah untuk bersikap sebagai orangtua dari suatu keluarga besar yang seluruh kebutuhan anak-cucu menjadi tanggung jawabnya. Meskipun mereka telah dewasa dan selayaknya berdiri di atas kemampuan diri sendiri.
Hari ini, sebagian besar pendapatan negara kita mengandalkan berbagai pajak yang dikumpulkan dari aktivitas ekonomi masyarakat. Kita semua memahami jumlah wajib pajak yang terdaftar dan tertib menunaikan kewajibannya sangat sedikit. Hampir seluruh upaya --- kecuali sebagian kecil yang wewenang dan manfaatnya telah diserahkan kepada Pemerintah Daerah seperti pajak bumi dan bangunan (PBB) maupun biaya pengalihan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) --- diserahkan di pundak jajaran Direktorat Pajak yang kantornya tersebar di seluruh tanah air. Tanpa dukungan dan kerjasama yang cerdas, inovatif, dan kreatif dari pihak lain yang semestinya turut berkepentingan, institusi yang menjadi bagian Departemen Keuangan itu selamanya akan kesulitan untuk meningkatkan kualitas kinerjanya.
Jokowi mungkin perlu mempertimbangan kebijakan yang menawarkan kerjasama dengan daerah untuk sama-sama menggalang perolehan pajak dari masyarakat dan aktivitas ekonomi yang berlangsung di wilayah masing-masing.
Saat ini, kebijakan (undang-undang) yang manaungi masalah perimbangan keuangan pusat dan daerah --- termasuk kewenangan dan tanggung jawab pemerintah daerah --- memang belum memasukkan perolehan beberapa jenis pajak yang menjadi penyumbang terbesar, seperti Pajak Penghasilan (PPh) Badan dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), sebagai salah satu komponen bagi hasil. Pembagian rezeki antara Pusat dan Daerah baru dibatasi pada hal-hal yang berasal dari eksploitasi kekayaan alam yang dimiliki. Padahal, sumber utama yang menggerakkan suatu kemajuan adalah aktivitas yang membangkitkan nilai tambah, baik yang berbentuk produksi (manufacturing) maupun jasa pelayanan (services). Di sisi lain, daerah-daerah yang tidak menguasai sumberdaya alam seperti Jakarta dan wilayah perkotaan lain umumnya, tentu tidak memiliki potensi pemasukan yang dapat dimanfaatkan untuk membiayai pembangunan dan aktivitas di daerahnya.