Skema baru tersebut tentu diharapkan semua pihak sebagai kebijakan yang sungguh-sungguh inovatif dan kreatif. Bukan yang berputat-putar di lingkaran yang sama dan berujung pada sekedar upaya rekayasa untuk memanfaatkan sumber-sumber pendapatan konvensional APBN yang sekarang. Misalnya seperti melalui Penempatan Modal Negara (PMN) pada korporasi plat merah seperti Adhi Karya. Atau penjualan obligasi yang diserap melalui pundi-pundi kekayaan lembaga negara lain (misalnya BPJS) yang sesungguhnya tak memiliki sumber pendapatan baru sehingga memiliki keleluasaan cash-flow untuk ditempatkan di sana.
Sementara pembiayaan melalui sindikasi bank-pun pasti berujung pada evaluasi mereka terhadap kepastian sanggup atau tidaknya peminjam mengembalikan pokok dan membayar biaya bunganya. Di sana akan berujung lagi pada perdebatan yang tak habis-habisnya antara penjualan yang mampu digalang operator --- dari volume penumpang dikalikan tarif yang akan ditetapkan plus pendapatan lain-lain seperti nilai tambah dari bisnis properti yang dibangkitkan --- dan ketersediaan jaminan jika perkiraan yang dilakukan meleset. Pada bagian ini biasanya akan berujung pada 'kemurah-hatian' Menteri Keuangan untuk mengutak-atik APBN-nya lagi.
Sekali lagi, mari kita memanjatkan doa dan sungguh-sungguh berharap agar Keputusan Presiden yang katanya akan ditanda-tangani itu, akan berisi kebijakan cerdik dan cerdas sebagai pamungkas soal pembiayaan proyek LRT yang sekarang sedang terhenti.
***
Sahabat APBN
Seandainya berharap masih diperkenankan, seperti yang disinggung sebelumnya di atas, Jokowi sebaiknya tak hanya 'membabi-buta' dalam hal mengejar pembangunan infrastruktur yang tertinggal di seantero Nusantara. Tapi juga dalam hal membongkar tatanan birokrasi dan kekuasaan yang melandasi dan sekaligus memagari gerak-geriknya hari ini. Juga dalam hal pelibatan seluruh bangsa --- terutama yang sebetulnya sama-sama menjadi korban atau obyek penderita pemerintahan sebelumnya yang salah urus, seperti yang juga dialami dirinya sebelum duduk di kekuasaan --- untuk bergotong-royong menyelesaikan masalah.
Sebab Jokowi sesungguhnya masih berada pada lingkaran kami yang selama ini tertindas dan terabaikan.
***
Gotong-Royong
Pertama, mulailah dengan menggalang gotong-royong untuk menyelesaikan permasalahan transportasi sehari-hari di perkotaan. Persoalan yang sekarang memang terlanjur kusut sehingga sulit diselesaikan dengan konsep 'alon-alon asal kelakon'. Sebab di tengah masyarakat bersemayam 'kemarahan' yang telah tersembunyi lama. Gara-gara diabaikan tapi harus menerima keadaannya. Jika ditanya, hari ini mereka sesungguhnya tidak bahagia karena harus memiliki dan menggunakan sepeda motor, lalu berebut ruang dengan kendaraan lain di jalan raya. Bagaimana mungkin mereka tak mengerti resiko yang harus ditanggung buah hatinya --- yang terpaksa diangkut dengan sepeda motor beramai-ramai untuk berpergian --- agar mampu menyiasati ketiadaan layanan angkutan umum ataupun biayanya yang mahal?
Keterpaksaan untuk menerima keadaan itulah yang menjadi salah satu penjelasan mengapa jumlah sepeda motor di republik ini hampir 5 kali volume mobil pribadi. Menempuh perjalanan berpuluh kilometer setiap hari, ditengah pengapnya asap kendaraan, pada lintasan yang tak pernah disediakan khusus tapi harus berebut dengan moda lain, sambil berjaga agar terhindari dari resiko kecelakaan, tentu bukan pilihan yang asyik lagi menggembirakan.