Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Dialog Imajiner yang Asyik: Agus-Silvi-Ahok-Jarot-Anies-Sandi

31 Januari 2017   22:26 Diperbarui: 2 Februari 2017   11:00 932
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ANIES/ Koh Ahok, sorry lho. Kemarin waktu saya masih jadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, pernah ngusulin bersama pak Buwas soal mata pelajaran khusus tentang narkoba kan? 

AHOK/ Iya, bang. Kok ga disetujui sih? 

ANIES/ Bukan ga setuju. Saya masih pusing soal Ujian Nasional dan macam-macam kekacauan sistem pendidikan kita. Semua perlu dan penting. Sementara tangan cuma 2 nih!

AGUS/ Kok bang Anies tidak mengembangkan lebih jauh konsep Program Indonesia Mengajar-nya saja sih? 

AHOK/ Iya, bang. Mas Agus bener juga. Kalau bang Anies fokus mengembangkan konsep Indonesia Mengajar kemarin pasti lebih keren. Sebab, filosofinya gotong-royong kan? Itu lebih jelas dibanding Ujian Nasional yg berorientasi nilai. Proses belajar-mengajarnya malah jadi kita cuekin. Mengembangkan konsep gotong-royong Indonesia Mengajar pasti lebih asyik. Soal pelajaran Narkoba juga bisa masuk di sana kan? 

ANIES/ Betul, koh Ahok. Saya kemarin kok ga terfikir ya? Tapi maksud koh Ahok dikembangkan lebih lanjut itu bagaimana? 

SILVI/ Mungkin bisa sekalian dengan pelibatan masyarakat agar program-program pemerintah kita lebih manusiawi juga ya? BNN, GRANAT, KPK, ICW, LBH, WALHI, dsb bisa masuk bagian Kapita Selekta-nya.

AHOK/ Nah, cocok tuh. Sebetulnya banyak masyarakat yg prihatin dengan nasib yg lain. Tapi tatanan kehidupan kita sekarang semakin menyudutkan masyarakat untuk sibuk mengurus dirinya sendiri-sendiri

SANDI/ Makanya saya usulkan Jakarta OK-Oce, koh. Supaya tiap komunitas punya pusat pengembangan masing-masing. 

AHOK/ Keren tuh, bang Sandi. Kayaknya konsep Rukun Tetangga Jakarta memang perlu kita bongkar nih. Fokusnya ke masalah pendidikan dan pengembangan generasi muda saja dulu. Kalau soal wiraswasta agak kejauhan, bang. Masyarakat kita belum terbiasa berdagang seperti saudara-saudara saya di Glodok sana. Masih banyak yg menikmati rezeki jadi calo, makelar, atau preman sekalian. Paling banter jadi pekerja atau buruh kan? Jadi kita perkuat dulu ilmu pengetahuan dan kebiasaan berfikir rasionalnya. 

JAROT/ Kita memang tidak pernah memberikan tempat layak kepada anak-anak mengembangkan bakat dan kemampuan supaya berprestasi. Semua diukur dengan uang dan harta. Makanya banyak yg berlomba pamer kekayaan saja. 

AHOK/ Kayaknya kita wajib sediakan fasiltas dan bangunan yg berfungsi sebagai pusat komunitas di setiap kantong pemukiman nih. 

AGUS/ Lho, bukannya sudah ada gedung di tiap kelurahan, koh?

SILVI/ Ada sih, mas. Tapi selama ini kan cuma dipakai urusan administrasi kelurahan. Paling 1-2 yg cukup untuk menyediakan lapangan badminton. Masyarakat pun hanya mampir kalau mau perpanjang KTP atau urus SKBB. 

AHOK/ Betul. Kita perlu bongkar konsep dasarnya tuh. Dari dulu kantor kelurahan itu sebetulnya jadi bagian pusat komunitas. Tempat masyarakat berkumpul, tukar pendapat, tolong-menolong, dan berembug kan? 

SANDI/ Wah, mana ada lagi yang seperti itu, koh. Jangankan di kota, di desa saja banyak yang tidak berfungsi seperti itu.

ANIES/ Koh Ahok betul kok, bang Sandi. Sesuatu yang keliru harus kita benahi. Jangan terus dibiarkan sehingga makin keliru. Bukan begitu, koh? 

AHOK/ Nah, mulai sekarang setiap kelurahan kita rombak total. Bukan kantor administrasinya yg penting. Tapi ruang dan fasilitas buat warganya. Minimal ruang buat warga kumpul-kumpul ngobrol, kasih les tambahan buat anak-anak yg perlu, atau bikin pelatihan, belajar bersama dll. Semua didorong swadaya. Jadi semangat gotong-royong berkembang kan?

AGUS/ Harus dilengkapi dengan ruang olahraga dan kegiatan ekstra kurikuler lain juga. Jadi, kalau ada yang berbakat bisa disalurkan. 

JAROT/ Akur, mas Agus. Nanti kita petakan fasilitas apa yg minimal tersedia pada komunitas lingkungan seperti kelurahan. Misalnya salah satu dari pilihan bulu tangkis, volley ball, basket, atau futsal. Tempatnya masih bisa digunakan yg lain juga, misalnya latihan beladiri atau senam lantai. 

ANIES/ Kalau sepak bola, kolam renang, tenis, atau baseball mungkin jadi pilihan tingkat kecamatan ya. Atletik dan olahraga khusus lain merupakan fasilitas tingkat kotamadya-nya. 

SILVI/ Wah kalau bisa seperti itu, DKI pasti juara umum setiap PON disenggarakan, nih!

SANDI/ Prestasi kita bahkan bisa di tingkat Asia dan juga Dunia. Selama ini kan banyak yg mencibir. Penduduknya ratusan juta tapi kok sulit banget meraih peringkat terbaik dibanding yg kecil kayak Singapur.

SILVI/ Ruang-ruang yang dipakai pertemuan, diskusi, pelatihan, dan belajar bersama itu bisa digunakan untuk melatih bakat-bakat seni juga ya? Wah, keren banget. Tapi biaya organisasi pemerintah lokal apa tidak kegedean nantinya? 

AHOK/ Makanya perlu dibongkar total. Supaya masyarakat swadaya, juga intervensi. Bukan hanya pendanaan tapi juga turun tangan langsung. Selama ini segala sesuatu cuma kita selesaikan pakai uang. Apa saja main bayar. 

ANIES/ Wah bener. Bagaimana caranya supaya bisa seperti gerakan Indonesia Mengajar. Bahkan lebih luas. Setiap kepala keluarga diwajibkan ambil bagian dalam organisasi Komunitas Jakarta Millenial. Apapun asal berfungsi untuk kepentingan masyarakatnya. 

JAROT/ Iya. Boleh jadi ada yang mangurus pemantauan kemajuan pendidikan anak-anak di lingkungannya. Nanti ada lagi yang volunteer ngajarin yg di sekolah ketinggalan. Ada juga yg mengurus aktivitas olahraga anak-anak. Juga yang berkesenian. Pokoknya semua jadi kewajiban warga untuk memantau dan mendampingi anak-anak di lingkungan masing-masing. 

AHOK/ Bahkan saya juga ingin usulkan supaya dibikin Peraturan Daerah agar setiap kepala keluarga wajib melibatkan anak-anaknya pada aktivitas lingkungan yang tersedia. Bahkan mereka harus mendampingi. Jika ada yang tak bisa maka harus mencari tetangga yang bisa mewakilkan. Nanti dikaitkan dengan Iuran Warga dan PBB yang menjadi tanggung jawabnya. Semacam stick and carrot lingkungan terhadap warganya. 

AGUS/ Maksudnya bagaimana tuh, koh? Kan semua warga sibuk bekerja tiap hari dari pagi sampai malam? Apa mungkin? 

ANIES/ Makanya saya usulkan agar Jakarta harus memiliki sistem angkutan umum yang terintegrasi mulai dari kantong pemukiman terkecil. Dengan hanya 5 ribu mereka sudah terlayani dari mana pun dan kemana pun. Jadi, pertama, jalanan tidak macet seperti sekarang. Kedua, mereka bisa tiba di rumah tidak terlalu malam. 

AHOK/ Soal angkutan terintegrasi itu memang penting, bang Anies. Malah saya juga ingin usulkan kepada DPRD agar seluruh warga Jakarta dikenakan Iuran Jaminan Transportasi Publik. Terserah apakah sehari-hari menggunakannya atau tidak. Sebab masih menggunakan kendaraan pribadinya. 

JAROT/ Nah, kalau ada Iuran Jaminan Transportasi Publik berarti Pemda DKI bakal mempunyai pemasukan tetap yg cukup untuk membiayai investasi dan operasional angkutan umum massal yang terintegrasi itu ya, koh? 

SANDI/ Betul! Seandainya setiap warga hanya dibebani 20 sampai 50 ribu rupiah per bulan, pemasukan DKI berkisar setengah triliun per bulan ya? Anak-anak balita dan mereka yg berusia di atas 60 tahun digratiskan, pelajar sekolah hingga SMP 20 ribu, SMA hingga mahasiswa 30 ribu, ibu rumah tangga 40 ribu, sedang laki-laki dewasanya 50 ribu. Keren tuh, koh Ahok! 

AHOK/ Nah, pendapatan Iuran Jaminan Transportasi Publik itu bisa menutup defisit PAD karena warga tak mau lagi memiliki kendaraan pribadi. Bayangin aja. Kalau 1/3 memutuskan tidak mau membeli atau memiliki kendaraan karena layanan angkutan umum sudah OK, maka pendapatan DKI bisa berkurang sampai 10 persen. Bisa gawat kalau ga ada penggantinya. 

SILVI/ Tapi koh, jalan-jalan kita kan sempit? Angkutan massal yang masuk ke lingkungan bakal bikin jalanan makin macet dong? 

AHOK/ Kita juga harus benahi manajemen lalu lintas jalan raya kita, mpok Silvi. Pertama, setiap ruas jalan akan kita bagi 3 ruang, untuk lintasan angkutan massal, lalu untuk mobil pribadi dan kendaraan roda 4 lainnya termasuk truk misalnya, dan terakhir khusus sepeda motor. Kedua, kecuali angkutan massal umum yang sedapat mungkin bisa dilakukan untuk kedua arah perjalanan, lintasan yang disediakan untuk mobil maupun sepeda motor hanya disediakan satu arah. Otomatis kendaraan pribadi bakal membutuhkan lintasan yang lebih jauh dibanding angkutan massal. Sistem satu arah menyebabkan mereka perlu memutar lebih jauh dibanding sebelumnya. Hal ketiga yang paling penting, arah lintasan sepeda motor dengan mobil harus saling berlawanan alias contra-flow. Jadi sepeda motor tidak lagi menyerobot lintasan kendaraan lain yg justru sering bikin macet. Sebab dengan contra flow akan sulit dan berbahaya bagi keselamatan mereka. 

SANDI/ Wah, kalau lalu lintas diatur seperti itu, paling tidak jalan-jalan ga ruwet seperti sekarang ya. Setelah ada Jaminan Transportasi Publik berarti masyarakat tidak dipungut bayaran lagi kan? 

JAROT/ Betul, mas Sandi. Warga non Jakarta maupun pendatang kita dorong untuk beli kartu langganan. Kalau tidak mereka tidak bisa menggunakan sistem angkutan publik yang tersedia. Sementara menggunakan angkutan pribadi mobil atau motor merupakan pilihan rumit sekaligus mahal. 

SANDI/ Karena struktur tata ruang kita selama ini ga pernah berorientasi kepada sistem layanan angkutan massal umum, polanya jadi kurang bersahabat. Pasti sulit sekali mengatur rute agar warga masih nyaman dan mudah menjangkau shelter terdekat. Kalau dipaksakan rutenya malah muter-muter dan jadi tidak efisien. 

AGUS/ Kayaknya kita bisa adopsi sistem yang digunakan aplikasi digital untuk layanan angkutan seperti yg marak akhir-akhir ini. Mereka sudah mengembangkan layanan sharing ride atau pool. 

AHOK/ Cocok, mas Agus! Nanti kita sediakan sistem aplikasi sharing ride untuk angkutan massal umum khusus melayani perjalanan di dalam lingkungan maupun menuju dan dari shelter terdekat ya. Tinggal tetapkan titik-titik kumpul terdekat dengan tempat tinggalnya. 

SILVI/ Kalau layanan itu tetap gratis kayaknya masyarakat ga perlu naik motor atau mobil pribadinya lagi untuk aktivitas rutin sehari-harinya. Kita bisa terapkan tingkat pelayanan minimal. Jadi aplikasinya bisa memperkirakan total waktu tempuh yang diperlukan lengkap dengan jenis dan rute angkutan umum yang akan digunakan. Termasuk harus pilihan shelter untuk berganti angkutan. 

AHOK/ Nah, berarti masyarakat bisa mengukur waktu perjalanannya lebih teliti. Jika peraturan daerah soal kewajiban warga terhadap lingkungan dan komunitasnya disusun, kita usulkan juga tentang hak-haknya. Setiap warga berhak bekerja setengah hari seminggu sekali agar bisa menunaikan peran yang diwajibkan lingkungan kepadanya. 

ANIES/ Jika demikian, aturan ketenaga kerjaan Jakarta juga perlu disesuaikan ya. Agar jumlah kerja mereka tetap sesuai ketentuan jam masuk dan pulang kerja setiap harinya mungkin perlu ditambah. Jadi hak bekerja setengah hari seminggu sekali itu tidak merugikan perusahaannya. Jika sebelumnya masuk jam 8:30 pulang 16:30 maka diganti menjadi 8:00 sampai 17:00. 

SANDI/ Aturan parameter penentu upah minimum tenaga kerja Jakarta bisa kita review sekalian. Sebab biaya transportasi tidak berpengaruh fluktuatif lagi terhadap biaya hidup. 

AGUS/ Kayaknya tak semua lingkungan yang masyarakatnya mempunyai kemampuan ekonomi memadai untuk mendukung aktivitas komunitas dan lingkungannya. Jadi perlu difikirkan terobosan agar perusahaan-perusahaan di sekitarnya mengalokasikan anggaran tangung-jawab sosial atau CSR-nya ke sana. Tapi sebaiknya bisa dikompensasi pada kewajiban pajak badannya juga ya? 

JAROT/ Masalahnya Pajak Penghasilan Badan tidak termasuk pendapatan bagi hasil antara Pusat dan Daerah yang telah ditetapkan Undang-undang. Sebetulnya perlu juga diusulkan kepada pemerintah pusat dan DPR untuk mempertimbangkan agar sebagian PPh Badan usaha menjadi hak daerah. Jadi ada keterkaitan pendapatan daerah dengan maju-mundurnya usaha di sana. 

SANDI/ Jika ketentuan sebagian PPh Badan menjadi hak daerah bisa ditetapkan maka kita bisa mengembangkan kebijakan insentif bagi perusahaan yang bersedia menyalurkan CSR nya bagi aktivitas komunitas dan lingkungan. Misalnya, 60 persen dari CSR yang mereka keluarkan dapat direstusi ke Pemda DKI. Tentunya disertai ketentuan bahwa jumlah restitusi maksimal sekian persen dan PPh Badan yg jadi kewajibannya pada tahun berjalan. Jadi kalau misalnya daerah mendapat bagian 25 persen dari PPh Badan, jumlah CSR yang dapat direstusi melalui Kas Pemda misalnya dibatasi maksimal 15 persen dari nilai pajak yg jadi kewajibannya. 

AHOK/ Jika demikian mungkin segera kita usulkan saja ke Pemerintah Pusat ya. Kebijakan sebagian PPh Badan yg jadi hak daerah tersebut sangat bermanfaat untuk membiayai pembangunan pedesterian juga. Hampir 2600 kilometer yg dibutuhkan di seluruh Jakarta. Sementara fasilitas pejalan kaki itu juga dibutuhkan untuk mempermudah masyarakat berjalan menuju shelter angkutan umum massal. 

ANIES/ Seandainya waktu perjalanan yang harus dikorbankan masyarakat sudah lebih terkendali, ketentuan hak da kewajiban warga terhadap komunitas dan lingkungan juga sudah membudaya, tapi dengan jam belajar anak-anak di sekolah masih seperti sekarang, tentu akan repot juga mereka melakukan aktivitas di pusat-pusat komunitas yg disediakan itu ya? 

JAROT/ Kayaknya kita perlu bicarakan juga dengan Kementerian Pendidikan. Bang Anies tentu punya konsep pendidikan alternatif agar jam pelajaran anak-anak tidak terlalu panjang. Kita dulu hanya menghabiskan waktu sekitar 5 jam di sekolah tapi materi yang diperoleh sangat memadai kan? 

ANIES/ Sebetulnya baik juga untuk tidak membebani anak-anak dengan segudang mata pelajaran seperti sekarang. Kedua sisi otak anak-anak kita perlu dilatih sejak dini. Fasilitas komunitas dan konsep dinamika lingkungan yang kita bicarakan akan lebih mampu mengakomodasi kebutuhan itu. Mungkin nanti perlu kita bicarakan saja dengan Menteri yang sekarang. Sebab sejatinya sistem pendidikan sendiri perlu terus dikembangkan sesuai kebutuhan zaman. Biarlah kita mengambil alih tanggung jawab untuk masyarakat Jakarta sebagai uji-cobanya. 

AHOK/ Akur, mas Anies. Jika berhasil tentu bisa disempurnakan dan diterapkan di daerah yang lain. 

JAROT/ Ada hal lain yg tak kalah penting, koh Ahok. Masyarakat kita sangat beragam dilihat dari status sosial, ekonomi, bahkan prilaku bermasyarakatnya. Semua fasilitas publik yg telah susah payah diadakan itu bisa sia-sia jika disalah-gunakan oleh mereka yang kurang memahami ataupun tidak bertanggung-jawab. Misalnya soal pedesterian. Jangan sampai nanti dipenuhi kaki lima dan parkir kendaraan lagi. 

SILVI/ Kita memang perlu memikirkan soal konsep city management yang lebih baik, koh Ahok. Rasanya Jakarta perlu mengembangkan semacam city manager yang menangani per wilayah. Tugasnya memastikan segala sesuatu di kawasan tanggung-jawabnya berjalan sesuai ketentuan. 

AGUS/ Bagus tuh, mpok. Jadi tugas city manager setiap hari memastikan segala sesuatu di wilayahnya berjalan baik. Jika ada yg tidak sesuai atau menyimpang, misalnya trotoar yg ditempati kaki lima, pengemis berkeliaran, lampu jalan mati, dsb, dia harus bertanggung jawab melaporkan ke dinas atau instansi terkait agar segera ditangani. 

JAROT/ Berarti juga bertanggung jawab mengawasi proyek lapangan yg sering dikerjakan seperti Telkom, PLN, PDAM, dll agar sesuai ketentuan ya. Walaupun sudah ada 'qlue', kehadiran city manager di masing-masing wilayah ini tetap perlu. Sebab dia akan pro aktif memantau masalah melengkapi qlue yg menampung keluhan langsung masyarakat. 

AHOK/ Keren tuh usulnya. Keberadaan para City Manager merupakan salah satu dasar juga untuk mengevaluasi kinerja birokrasi yg bertanggung jawab pada bidang teknis masing-masing. 

ANIES/ Kalau gitu, koh Ahok sajalah yang tetap memimpin di depan jadi Gubernur DKI. Banyak sekali yang harus kita kerjakan. Biarlah saya membantu untuk memastikan konsep-konsep yang terkait pendidikan yang perlu dikawal pembicaraannya dengan pemerintah pusat dan DPR. 

SANDI/ Setuju! Lebih baik koh Ahok saja yang meneruskan apa yang sudah dimulai. Saya akan membantu mengawal usulan kita agar sebagian PPh Badan menjadi hak daerah. Itu penting sekali. Karena pemda DKI pasti akan lebih tergerak untuk memastikan bisnis perusahaan-perusahaan itu lancar. Sementara pembicaraan dan pembahasan usulan itu dengan Kemendagri, Bappenas, Depkeu, maupun DPR pasti menyita energi. Biar saya yang tangani, koh. 

AGUS/ Ya, koh. Biar saya yang menangani hal-hal yang berkait dengan kemajemukan deh. Kelihatannya soal perbedaan iman diantara masyarakat kita sudah kelewat batas. Padahal kita kan cuma mau lucu-lucuan aja. Perbedaan harus tetap dihargai dong. Jangan seperti sekarang. Apa saja yg dilakukan dan tidak sesuai dg aqidah Islam misalnya, walaupun tak ada hubungan, selalu memicu pertentangan baru. Biar saya nanti yang lebih intensif menggalang dukungan teman-teman Polri maupun TNI. 

SILVI/ Saya ingin bantu memastikan teman-teman di DPRD memahami kebutuhan legislasi yanf terkait dengan sistem pengembangan pusat komunitas tadi. Termasuk aturan-aturan yg terkait ketenaga kerjaan DKI nya, koh Ahok. Pasti sulit untuk mengerjakan proses transformasi Jakarta besar-besaran yang kita diskusikan dari tadi. 

AHOK/ Terima kasih, bang Anies, bang Sandi, mas Agus, dan mpok Silvi. Energi kita berenam ini rasanya lebih dari cukup untuk menyelesaikan persoalan Jakarta yg sudah kusut ini. Kita memang perlu menyatukan kembali semangat warganya. Bagaimanapun Jakarta tetap menjadi panutan dan acuan daerah lain. 

JAROT/ Bang Sandi mungkin bisa tolong untuk mengembangkan konsep-konsep pembiayaan yang melibatkan partisipasi investor maupun masyarakat juga ya. Kita tahu keterbatasan pendanaan pemerintah sekarang kan? 

SANDI/ Sip, om Jarot!

ANIES/ Ok, kalau gitu kita bikin konferensi pers segera ya. Mas Agus dampingi saya berbicara di depan nanti. 

AGUS/ Ok. 

AHOK/ Alhamdulillah.

Catatan :

Silahkan lihat video 'Reinventing Rukun Tetangga'

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun