Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jonan Pergi, Jonan Kembali: Belajar dari Warisannya kepada Budi Karya

16 Oktober 2016   14:57 Diperbarui: 18 Oktober 2016   22:31 2106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Harus diakui bahwa pemerintah tidak sigap dan terlambat menyikapi. Padahal kehadiran negara — seperti yang selalu dijanjikan pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla pada berbagai persoalan bangsa — sangat dibutuhkan. Bukan hanya terhadap pengusaha konvensional tapi juga warga yang berinisiatif maupun terlibat pada usaha inovatif yang hadir menyainginya. Persoalannya bukan semata menjaga keberlangsungan usaha yang sudah ada. Tapi juga memberi ruang pada gagasan baru dan inovatif seperti yang berbasis teknologi aplikasi tersebut, berkembang di tengah kehidupan masyarakat.

Ketidak sigapan dan kelambanan Pemerintah itu semakin diperparah dengan kesan ketidak-adilan sikapnya yang justru tercermin dari ketentuan-ketentuan yang tercantum pada Peraturan Menteri Perhubungan No 32/2016 yang ditanda-tangani Ignasius Jonan. Sulit disangkal jika aturan tersebut berkesan ‘melindungi’ pemain lama tapi sekaligus ‘menghalangi’ pemain baru.

***

Peraturan Menteri Perhubungan itu bukan hanya cenderung memihak pada ‘oknum' pengusaha angkutan konvensional, tapi juga ingin mempertahankan 'business model’ hingga ‘prosedur dan tata cara birokrasi' yang lama. Menafikan keniscayaan perkembangan teknologi yang semestinya memudahkan dan memberikan hal yang lebih baik bagi kehidupan.

Teknologi aplikasi yang dikelola perusahaan-perusahaan yang menyediakannya mampu memberikan standar pelayanan yang relatif tinggi dan merata kepada konsumen. Meskipun usahanya dijalankan oleh banyak ‘pengusaha’ angkutan penumpang umum yang bersifat perorangan sekalipun. Hal yang sesungguhnya menjadi beban pemerintah selama ini sehingga membatasi izin hanya diberikan kepada badan usaha yang setidaknya memiliki 5 unit kendaraan. Padahal kenyataannya, tetap saja ketimpangan standar pelayanan di lapangan terjadi, dan pemerintah hampir tak mampu berbuat apapun. Salah satu sebab, karena ketidak mampuan ‘sistem pengawasan dan pembinaan’ yang dikuasai untuk bertindak instan dan segera. Hal yang justru tersedia pada layanan berbasis teknologi aplikasi.

Inovasi usaha angkutan yang berbasis teknologi aplikasi juga membuka peluang pemerataan kesempatan usaha, dan peningkatan kesejahteraan yang lebih tinggi bagi banyak pihak. Hal yang sesungguhnya jauh lebih baik dibanding monopoli perusahaan angkutan penumpang konvensional tertentu yang berlangsung selama ini. Kita maklumi jika sebelumnya kondisi ‘the winner takes all’ hampir mapan dikuasai satu atau segelintir pihak. Sesuatu yang sesungguhnya menghadirkan iklim persaingan usaha yang kurang sehat.

Teknologi aplikasi yang diterapkan pada sistem angkutan umum penumpang — jika mampu disikapi dengan baik dan benar — juga memberikan peluang manfaat positif dalam berbagai hal. Mulai dari penghematan penggunaan BBM, pengurangan volume kendaraan yang memadati jalan raya, penghematan biaya transportasi yang dikeluarkan masyarakat, dan seterusnya.

***

Akan tetapi hal yang terjadi tidak demikian.

Jika mencermati persyarakat kapasitas mesin kendaraan minimal 1.300 cc yang dikeluhkan beberapa waktu lalu, Peraturan Menteri Perhubungan yang cakupannya baru menyentuh kendaraan roda empat tersebut — kendaraan beroda dua tidak termasuk — menempatkan usaha angkutan umum berbasis teknologi ke dalam jenis Angkutan Sewa (pasal 18). Berbeda dengan Taksi, angkutan umum penumpang konvensional yang kategori ‘reguler’-nya diperkenankan menggunakan kendaraan dengan kapasitas mesin minimal 1.000 cc. Bukankah hal ini mengesankan keberpihakan yang nyata pada usaha konvensional?

Lebih lanjut, dalam ketentuan khusus yang mengatur angkutan penumpang umum berbasis teknologi aplikasi (Bab IV, pasal 40-42) diatur agar perusahaan penyedia aplikasi tidak diperkenankan menyelenggarakan layanan angkutan umum (pasal 41 ayat 2) yang kegiatannya antara lain mencakup penetapan tarif dan pemungutan bayaran (pasal 41 ayat 3). Padahal, kita memahami, selama ini layanan berbasis teknologi aplikasi memiliki sistem pentarifan tersendiri yang dikelola penyedia jasa aplikasinya. Biaya untuk jam-jam sibuk biasanya dikenakan faktor perkalian tertentu sehingga lebih mahal dibanding kondisi normal. Kadang-kadang mereka juga menawarkan potongan khusus dan berbagai program promosi lain. Bukankah hal demikian berarti perusahaan penyedia aplikasi turut andil dalam penetapan tarif?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun