PERTAMA, peraturan yang disusun terlihat sangat terpaku pada ketentuan yang menaunginya, UU no. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya. Padahal, dalam beberapa hal sesungguhnya sudah tidak sesuai lagi. Bahkan mungkin telah kehilangan konteks. Jika demikian, mengapa tidak lebih dulu mengupayakan perbaikan atau penyempurnaan Undang-Undang nya?
Sebagai contoh, mari kita cermati soal angkutan umum yang menggunakan kendaraan roda dua. Jenis kendaraan ini, sebelumnya memang tak pernah diakui resmi oleh undang-undang maupun peraturan manapun sebagai kendaraan angkutan umum. Meski pada kenyataannya — sebagai usaha jasa transportasi informal di tengah kehidupan masyarakat sehari-hari — hal itu sudah berkembang marak sejak lama.
Kehadiran teknologi aplikasi hari ini telah me-leverage keberadaannya sehingga mau tidak mau, suka ataupun tidak, berpeluang untuk di-formalisasi-kan. Kehadiran teknologi aplikasi pada sistem layanan angkutan orang telah membuka jalan bagi pemerintah untuk menjangkau mereka — para pengusaha yang menggunakan kendaraan roda dua — secara administrasi dan ketata-negaraan.
***
Sektor informal adalah bagian dari aktivitas masyarakat yang sungguh-sungguh hadir tapi tidak terdata resmi. Meskipun dalam hal tertentu, mereka memiliki kemampuan yang dapat melumpuhkan hal-hal yang bersifat formal. Taksi gelap, pengemudi becak, tukang parkir, pedagang kios rokok dan warung makan di pinggir jalan, buruh bangunan lepas, pencukur rambut keliling, pemulung sampah, pengemis, calo, petani sayuran, pembantu rumah tangga hingga pengemudi ojek merupakan bagian dari aktivitas sektor informal itu. Bagaimanapun, informalitas tersebut sesungguhnya disebabkan oleh keterbatasan kapasitas dan kemampuan pemerintah untuk menjangkau mereka. Warga negara yang semestinya memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan yang lain.
Mereka (pernah) ada, hadir, dan diperlukan dimana-mana. Walaupun tidak terdata pada angka-angka statistik yang resmi. Sifat keabu-abuan itulah yang salah satunya sering ditelikung untuk kepentingan-kepentingan sempit, termasuk korupsi anggaran dan politisasi. Salah satu celah rawan pada kebijakan-kebijakan pemerintah yang bertajuk seperti ‘bantuan sosial’ dan ‘bantuan tunai langsung’. Ranah potensial bagi maraknya praktek ‘pungutan liar’ di lingkungan birokrasi.
Sejalan dengan perkembangan, sebagian diantara mereka memang tergeser oleh kapitalisme, industrialisasi, serta perkembangan zaman lainnya. Terpinggirkan. Mungkin punah. Perkembangan teknologi informasi dan sistem distribusi menghadirkan jaringan wara laba toko serba ada yang menggeser keberadaan warung dan kios rokok di pinggir jalan. Teknologi piranti tarif yang memiliki akuntabilitas tinggi — serta kecanggihan tata kelola pelayanan pelanggan —akhirnya menggeser layanan taksi gelap yang dulu pernah marak di bandara, stasiun kereta api, dan pelabuhan-pelabuhan kita. Jalur hijau jalan-jalan kota yang menyempit dan tidak lagi menyisakan pepohonan rindang, akhirnya menggeser ruang usaha jasa pencukur rambut. Demikian seterusnya hingga yang kini menimpa pengusaha informal yang melayani masyarakat berpergian menggunakan sepeda motornya. Ojek.
Mungkin sebelumnya Indonesia gamang. Karena menata dan mengelola sektor informal membutuhkan sumber daya yang tidak mudah dan juga tidak murah. Dari sisi neraca, ‘biaya’ yang dikeluarkan mungkin tak sebanding dengan ‘nilai’ yang dihasilkan. Membiarkan mereka berada di luar ‘buku’ mungkin lebih aman. Sebab tak terjangkau satuan kinerja yang disertai dengan uraian tugas dan kewajiban yang rinci. Bahkan mungkin bisa menghemat ‘kerugian’ dengan ‘biaya’ yang lebih kecil untuk mengimbangi ‘pendapatan’ yang hampir nihil.
Tapi era pencitraan ‘omong-kosong’ sesungguhnya harus berakhir ketika Reformasi 1998 bergulir. Kini masyarakat lebih leluasa menilai dan bersikap setelah sistem politik kekuasaan berubah. Walaupun kenyataannya ‘penzaliman’ dan ‘penistaan’ konstituen masih kerap berlangsung, kini rakyat ‘bisa’ memiliki peran yang lebih nyata dan terukur. Itulah sebabnya Joko Widodo mampu melangkahkan kakinya mulai dari Walikota Solo, ke kursi Gubernur DKI Jakarta, hingga kemudian singgasana Presiden Republik Indonesia.
Kerja, kerja, kerja.
Maka BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan menemukan format akuntabilitas pertanggung-jawaban-nya dibanding sekedar mencari perlindungan politik. Sebab, pemerintah memang harus menganggarkan perlindungan layanan kesehatan bagi rakyatnya.