Kita tentu ingat, di penghujung zamannya, berbagai media cetak yang merupakan perpanjangan tangan kekuatan politik maupun kekuasaan pernah menjamur. Kebebasan pers justru dimanfaatkan sebagian kalangan untuk menyokong, atau setidaknya memihak, propaganda kepentingan kelompoknya. Begitu pula ketika izin bisnis pertelevisian yang sebelumnya sempat lama tertutup kecuali bagi klan kekuasaan Soeharto, dibuka kembali. Dua dari 5 izin Nasional yang dikeluarkan kemudian hari dikuasai konglomerasi bisnis yang sangat dekat dengan kekuatan politik tertentu.
TV One (VIVA News), Aburizal Bakrie, dan Golkar.
Metro TV (Media Group), Surya Paloh, dan Nasdem.
Peluang ‘perselingkuhan’ bisnis media dengan kekuasaan yang terbuka lebar bahkan menggiurkan Hari Tanoe, pengusaha yang mengambil alih raksasa bisnis yang sebelumnya dimiliki salah seorang putera Soeharto, Bambang Trihatmodjo. Menjelang Pemilihan Umum 2014 lalu, ia melompat-lompat bak kutu loncat dari satu kubu ke kubu yang lain. Mula-mula Nasdem, kemudian Hanura. Dan sekarang malah nekad membuat kubunya sendiri, Perindo.
Sejumlah mekanisme dasar yang diletakkan setelah Presiden Soeharto mundur sesungguhnya telah membuka jalan bagi keberlangsungan proses demokratisasi yang lebih baik di berbagai bidang, termasuk pertelevisian. Tapi nyatanya semua itu masih belum cukup dan memadai. Terlalu banyak ruang longgar yang memberi peluang bagi kepentingan sekelompok orang untuk menelikungnya sehingga hasrat mereka yang ingin selalu memegang kendali dan menguasai tetap terbuka lebar.
Undang Undang 32/2002 tentang Penyiaran disusun dengan penuh semangat dan sukacita oleh para wakil rakyat yang terpilih melalui proses pemilihan umum paling demokratis pertama setelah Soeharto dan Orde Baru terguling. Produk legislasi itu sesungguhnya telah memuat prinsip dan norma-norma dasar yang dapat mengawal bangsa ini menegakkan demokratisasi dunia pertelevisian Nasional. Para wakil rakyat yang terpilih sangat menyadari betapa penting dan strategisnya urusan penyiaran itu. Ketika itu, panggung layar kaca televisi adalah satu-satunya yang mampu mengunjungi sebagian besar ruang keluarga Indonesia.
Di dalam undang-undang itu sesungguhnya terbersit semangat agar frekuensi terbatas yang merupakan ranah publik, perlu diatur agar tak lagi dimonopoli segelintir orang (pasal 18). Kekuatan pasar, tak lagi menjadi satu-satunya penentu mata acara yang disiarkan televisi swasta (pasal 35). Ruang lokal untuk mengekspresikan diri maupun yang dimanfaatkan untuk kepentingan pengembangan sosial maupun budaya lokal, dijamin ketersediaannya (pasal 21). Jakarta tak lagi harus menjadi satu-satunya domisili pusat penyiaran (pasal 31). Setiap penduduk Indonesia dimerdekakan untuk menjadi pengusaha lembaga penyiaran swasta, termasuk bidang televisi yang pada era Soeharto hanya terbatas pada keluarga dan kerabat dekatnya saja (pasal 33). Layar kaca tak lagi menjadi panggung propaganda yang hanya bisa dimanfaatkan oleh mereka yang berkocek tebal. Ada ketentuan yang mewajibkan pengusaha industri penyiaran menyediakan ruang bagi kepentingan publik luas (pasal 46). Lembaga negara independen yang khusus menangani penyiaran agar dapat bersaing sehat serta tak lagi bisa sembarangan diintervensi penguasa juga diamanatkan (pasal 7).
Disini kecelakaan bersejarah kembali berulang. Sejak undang-undang itu dimasukkan ke dalam lembaran negara (nomor 139 tahun 2002), semua cita-cita luhurnya yang sebagian diurai di atas tak mewujud. Jauh panggang dari api. Hal yang paling fatal adalah soal konglomerasi yang menguasai beberapa media dan kedigdayaan TV Nasional, bukan TV berjaringan yang diamanatkan Gerakan Reformasi dulu!
Tapi alam kehidupan manusia yang selalu menyisakan misteri ini memiliki hukumnya sendiri. Ia terus-menerus menghadirkan sesuatu yang baru untuk memprovokasi dan menemukan kesetimbangan anyar. Tak ada manusia yang mampu seutuhnya menaklukkan.
'Pemaksaan’ terselubung tapi terstruktur yang digalang penguasa modal industri televisi Nasional itu pada akhirnya memang tak mungkin mampu membendung zaman. Pilihan demi pilihan kemudian hadir dan terbuka pada banyak hal yang kontemporer, modern, inovative, dan progresif. Hipotesa saya, hal yang justru mengkhawatirkan sekaligus memprihatinkan adalah apa yang menjadi dasar penarik perhatian masyarakat hari ini. Apakah betul semata ‘kenikmatan sensasional‘? Masihkah ada ruang bagi ‘kepedulian dan kepekaan‘ publik?
Ketika berada di titik nadir seperti sekarang, langkah-langkah sensasional sang ‘Juru Selamat’ bangsa di atas sesungguhnya sangat berpeluang menjadi sesuatu yang ‘happening’ pada materi (multi) media kontemporer. Topik-topik dan gagasan-gagasan yang ‘trending’. Tak banyak kelompok media yang masih memenuhi pra-syarat untuk mengkapitalisasinya. Mereka yang selama ini angkuh dan tak mempedulikan hasrat publik yang terpendam itu tak mungkin mencukupi konvensi pra-syarat yang dituntut publik.