Euforia merasuk hampir di semua lini kehidupan dan tak ada yang salah pada pilihan itu.
Masalahnya, setelah sekian puluh tahun dirantai, sesungguhnya kita sangat miskin pemahaman dan pengalaman. Sejak merdeka, kapan sih ada seorang diantaranya yang pernah terlibat langsung dengan sistem politik yang demikian?
Kalau jumlah yang mempelajari, baik melalui pendidikan formal maupun otodidak, pasti cukup banyak. Tapi semua yang dipahami hanya terselip di pemikiran, hipotesa akademis, dan diskusi terbatas. Tanpa best practice!
Lalu, siapa yang merancang dan mengawalnya ketika semua berebut ingin memimpin dan berkuasa
Seketika tokoh-tokoh yang sebelumnya kompak merongrong Soeharto hingga terjungkal, berhadap-hadapan satu dengan yang lain. Saling jegal dan memuja diri. Masing-masing segera dirubung kepentingan ‘model lawas’ yang bergerilya untuk bertahan. Atau bermetamorfosa pada bentuk yang lain tapi ‘maksud dan tujuan’-nya tetap sama.
Pertanyaannya : siapakah diantara mereka yang saat itu berembug dan memutuskan cetak-biru bangsa ini yang bukan jebolan 'akademi' dan 'balai pelatihan' Soeharto?
Mari kita berhitung tahun kelahiran mereka yang duduk di lembaga legislatif yang menggodok dan merumus sistem bernegara pada tahun 1999 lalu. Jika mereka berusia antara 30 hingga 60 tahun maka kelahirannya pasti berkisar antara 1939 - 1969. Jika ia berusia 60 tahun maka sebagian besar usia produktifnya dihabiskan pada periode 32 tahun Soeharto berkuasa! Apalagi yang berumur 30 tahun. Lahir di muka bumi inipun dipastikan saat Soeharto sudah berkuasa!
Suka atau tidak, sedikit atau banyak, pengaruh ‘lingkungan’ Soeharto dan Orde Barunya merasuk pada mental, keyakinan, cara pandang, dan gaya hidup mereka. Kita tahu, segelintir yang waras dan teguh tak ingin tergelincir, beberapa saat kemudian justru memilih undur diri dan menjauh dari hingar-bingar kekuasaan.
Berpindah dari tatanan lama ke tatanan yang baru tak hanya dialami oleh negara. Dalam kehidupan masyarakat, hal demikian biasa terjadi. Baik di dunia komersial maupun nirlaba. Perkembangan teknologi, peradaban, dan dinamika sosial-budaya yang menuntutnya.
Tapi, sebuah perpindahan tak pernah dan tak bisa berlaku serta-merta. Banyak penyesuaian dan proses pengembangan pemahaman yang kerap harus dan perlu dilakukan. Mulai dari sistem nilai dan filosofi dasarnya hingga tata-cara pelaksanaan teknisnya.
Ketika Indonesia berubah menjadi sistem multi-partai, memilih langsung kepala daerah, menambah dan memperluas hak anggaran pada legislatif, mengadakan lembaga ad hoc KPK untuk mengatasi ketidakmampuan institusi yang tersedia, dan seterusnya, kita tak pernah memikirkan - bahkan mempedulikan - roadmap yang harus dilalui untuk menyeberang dari kutub yang lama ke yang baru.