Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Savior

25 Desember 2015   20:46 Diperbarui: 5 Februari 2016   11:03 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berbagai organisasi pemerintah, mulai pusat hingga daerah, jamak dan mendarah-daging melakukan praktek korupsi-kolusi-nepotisme. Tapi kita menutup diri untuk membongkar mereka. Kita malah melindungi hak para pegawai negara yang banyak miskin prestasi bahkan cenderung merugikan hingga tak mungkin diisi dari luar meskipun jauh lebih baik dan mumpuni. Kecuali jabatan tertentu setingkat Menteri.

Kita seperti bermimpi di siang bolong ketika mengharapkan terjadinya revolusi kinerja setelah kesejahteraan mereka dilipat-gandakan. Hal yang terjadi justru pembengkakan anggaran rutin di setiap daerah sehingga ruang anggaran yang tersedia untuk belanja modal dan pembangunan semakin hari kian sempit.

KPK diadakan karena Kepolisian dan Kejaksaan bobrok. Begitu pula Kehakiman. Ia memang dimaksudkan untuk sementara waktu. Artinya, suatu saat akan dibubarkan. Pertanyaannya adalah kapan dan bagaimana, bukan?

Tentu setelah tugas pokok dan fungsi yang diamanatkan sementara kepada KPK bisa dan mampu dilakoni kembali oleh lembaga-lembaga penegak hukum permanen itu.

Bagaimana mungkin institusi-institusi yang bermasalah itu membenahi dirinya, tanpa road map yang teruji? Bahkan, peran dan fungsi yang diamanatkan pada komisi-komisi yang diadakan untuk mendampingi mereka saja, seperti Komisi Polisi Nasional maupun Komisi Yudisial, dari hari ke hari semakin digerogoti dengan berbagai upaya, langsung maupun tidak langsung.

Kini, kita menyaksikan Kepolisian yang menghilang bagai ditelan bumi bahkan terbirit-birit dikejar massa ketika kerusuhan 1998 berlangsung, tampil penuh percaya diri. Bukan saja menyangkal berbagai kejanggalan yang kasat mata seperti sinyalemen ‘rekening gendut’, bahkan mempertontonkan aroganisme dengan mengkriminalisasi tokoh-tokoh yang ‘neraca’-nya jelas jauh lebih positif dibanding mereka.

Uraian untuk menjelaskan contoh-contoh absurditas yang sedang berlangsung di negara ini tak akan mungkin bisa diakhiri. Tapi akar dari semua itu sesungguhnya sangat mudah. Sistem legal dan ketata-negaraan yang centang-prenang telah memberi perlindungan dan lorong-lorong penyelamat yang memudahkan mereka berkelit.

Alumni ‘akademi‘ dan ‘balai pelatihan‘ Soeharto yang masih kokoh dan masif bercokol di dalamnya kemudian menyempurnakan semua kegagalan itu!

 

INDONESIA ‘GANG BANG’

Masyarakat yang jengah dengan keadaan sekarang sesungguhnya mudah terbaca dari berbagai jajak pendapat yang banyak dilakukan akhir-akhir ini. Salah satunya seperti yang dipaparkan CSIS (Center for Strategic and International Studies) beberapa bulan lalu. Tingkat kepercayaan publik terhadap institusi politik dan penegak hukum yang disigi, tertinggi diraih oleh TNI dengan nilai 90 persen. Sedangkan Polisi dan DPR berada jauh di bawahnya, masing-masing 63.5 dan 53.0 persen. Selain kehilangan kepercayaan dari publik yang diwakilinya, kepuasan masyarakat terhadap kinerja DPR juga teramat buruk. Hanya 29.2 persen responden yang tersebar di seluruh Indonesia yang menyatakan puas!

Semua ‘prestasi’ yng mereka ukir itu wajar adanya jika dikaitkan dengan manuver menit-menit terakhir yang dipertontonkan pada persidangan MKD dalam mengadili etika Setya Novanto mencatut nama Joko Widodo dan Jusuf Kalla kemarin. Meski kehebohan itu berakhir dengan anti-klimaks pengunduran diri sang terduga yang beberapa bulan sebelumnya juga membuat ‘onar’ republik ketika menghadiri kampanye terbuka Donald Trump - salah seorang calon Presiden USA yang bangga dan percaya diri dengan sikap rasisnya - persoalan utama tentang pelanggaran etikanya langsung menguap begitu saja. Ketidak pedulian DPR terhadap aspirasi yang berkembang di tengah masyarakat pemilihnya, justru dipamerkan dengan gamblang ketika Novanto hanya bertukar ‘tempat’ dengan Ade Komaruddin yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua Fraksi Golkar. Tak ada gejolak berarti yang menyertai langkah ‘aneh’ di gedung perwakilan rakyat Indonesia itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun