Dalam hal ini, kekuasaan pelaku dan ketidakberdayaan korban adalah unsur dasar kemungkinan peristiwa tersebut dapat terjadi. Korban dalam hal ini mahasiswi memiliki ketergantungan kepada pelaku (dosen) untuk melaksanakan bimbingan skripsi. Sedangkan pelaku atau dosen memiliki kekuasaan penuh dalam hal pengaturan jadwal bimbingan dan tempat pertemuan.
Relasi kekuasaan yang tidak proporsional rentan memicu terjadinya kekerasan seksual, terlebih lagi umumnya korban enggan melaporkan peristiwa yang dialaminya dikarenakan pertimbangan dan bagaimana persepsi lingkungan sosial mengenai dirinya, selain itu karena posisi korban saat itu masih menjadi mahasiswa bimbingan ia juga mempertimbangkan posisinya sebagai mahasiswa akhir yang tentunya memerlukan bimbingan untuk segera menyelesaikan studinya. Untuk itu, lazimnya korban beranggapan jika ia melapor maka sama halnya dengan ibarat buah simalakama.
Di samping itu, seperti yang dinyatakan oleh Foucault bahwa relasi kuasa ini sebagai sebuah teknik atau modus yang menjadikan kekerasan seksual semakin kompleks polanya. Seperti halnya kekerasan seksual yang dilancarkan oleh dosen kepada mahasiwa/i, tenaga pendidik kepada peserta didiknya, pembimbing agama kepada santrinya, dan atasan kepada karyawan. Untuk itu perlu bagi kita untuk memahami bagaimana realsi kuasa bekerja dan melalui jalur apa realsi kuasa tersebut masuk dalam lingkup kehidupan sosial, serta bagaimana kekuasaan dapat merambah dan mengendalikan kenikmatan seksual tersebut.
Â
 KESIMPULAN
Santernya publisitas yang diberitakan di media massa dan media sosial, belum lama ini menjadikan masyarakat seakan-akan baru mengetahui bahwa tindakan kekerasan seksual bisa terjadi kapanpun, dimanapun, dan menimpa siapapun. Kekerasan seksual yang menimpa mahasiswa/i tidak hanya terjadi di luar lingkungan kampus saja, baru-baru ini kekerasan seksual terjadi di dalam lingkungan kampus yang kita ketahui bahwa kampus seharusnya  sebagai institusi pendidikan yang meluhurkan harga diri para mahasiswa/i harus ternodai oleh oknum dosen yang malah melakukan tindakan asusila, seperti kasus yang terjadi di perguruan tinggi negeri Jakarta. Di mana dosen berinisial DA tersebut melakukan kekerasan seksual dalam bentuk sexting kepada beberapa mahasiswi bimbingannya.
Seperti yang telah dikatakan oleh Michel Foucault dalam peenjelasan di atas sudah jelas menggambarkan adanya disparitas relasi kuasa antara pelaku dan penyintas (korban) menjadi salah satu unsur pemicu kekerasan seksual. Dari empat rasionalitas yang dikatakan Foucault bahwa ketika rasionalitas kekuasan (politik) dan hasrat (seksualitas) berkolaborasi membentuk kesatuan system maka akan meneruskan jalan keruntuhan dalam dunia akademik. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk menyudahi kekerasan seksual khususnya dalam persoalan ini pererempuan dan secara khusus pengendalian kekerasan seksual dalam area perguruan tinggi yaitu dengan melakukan upaya preventif yang mampu meminimalisir terjadinya tindakan kekerasan seksual yang menimpa civitas akademika lainnya.
Di samping itu, Rektor sebagai petinggi dalam suatu perguruan tinggi juga hendaknya memanifestasikan aturan hukum yang gamblang kepada pelaku kekerasan seksual, sekalipun itu bagian dari civitas akademika. Adanya aturan hukum sangat penting dalam penegakan hukum bagi pelaku kekerasan seksual dan juga bagi kebaikan bangsa khususnya dunia pendidikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H