Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Kekerasan Seksual Verbal di Indonesia
Kekerasan seksual verbal sangat mudah kita temui di aktifitas sosial bermasyarakat, seolah-olah tindakan ini dirasa sah-sah saja untuk dilakukan. Tindakan pelecehan seksual verbal yang acap kali tampak  di  masyarakat ialah  siulan  dan  rayuan bermaksud seksual yang ditujukan kepada perempuan maupun laki-laki diruang publik. Ujaran  tersebut umumnya  disertai  oleh isyarat tubuh seperti tatapan dan menggigit bibir, selain itu jika pelecehan terjadi di media sosial maka akan disertai dengan emoticon yang bersifat  melecehkan  dan  membuat  korban  merasa  tidak  terganggu, terintimidasi, dan  tidak  nyaman untuk melakukan suatu kegiatan.
Sebagai negara hukum, Indonesia memiliki pasal yang mengatur mengenai pelecehan seksual yang dapat disebut Pasal 289 -- 296 KUHP. Pasal tersebut mengandung aturan barang siapa dengan paksaan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan perbuatan cabul sebagai pelanggaran moral yang baik, akan dipidana dengan hukum pidana penjara maksimal sembilan tahun. Dalam pasal tersebut seseorang yang dikenai hukuman ialah mereka yang secara paksa melakukan perbuatan asusila atau memaksa seseorang untuk diperlakukan asusila, disertai dengan kekerasan maupun ancaman kekerasan.
Â
Teori Relasi Kekuasaan Michel Foucault
Bentuk hipotesis teori relasi kekuasaan Michel Foucault datang atas gagasan filosifinya yang memandang kekuasaan bagaikan suatu perwujudan produktif. Sebagai sesuatu yang produktif, kekuasaan selalu mobilisasi pada setiap struktur. Kekuasaan memiliki jaringan yang sangat rumit. Kekuasaan menyusup ke dalam setiap bentuk sistem sosial. Maka dari itu, Foucault menitikberatkan bahwasannya kekuasaan tidak hanya hidup hanya pada satu elemen saja. Kekuasaan tidak dikuasi oleh pihak manaun, melainkan berfungsi dalam wilayah yang lapang, sehingga eksistensinya meluas dalam setiap lini kehidupan sosial mempunyai karakter menormalisasi formasi masyarakat. Singkatnya, kekuasaan dalam pandangan Foucault diartikan menjadi sebuah komponen aktif yang konstan bergerak atau mobilisasi ke dalam seluruh elemen, kekuasaan tersebut berbentuk jaringan sosial. Baik itu ekonomi, pendidikan, budaya, politik, ilmu pengetahuan, bahkan agama sekalipun.
Selain itu, kekuasaan akan selalu berdampingan bersama ilmu pengetahuan. Kekuasaan berperan sebagai ajang di mana ilmu pengetahuan tersebut disampaikan. Lebih jauh, ilmu pengetahuan hadir untuk melegalkan kekuasaan.[3] Kaitan kekuasaan dan ilmu pengetahuan ada dalam pola simbiosis mutualisme di mana keduanya saling menguntungkan dan membutuhkan satu sama lain. Ilmu pengetahuan lewat lembaga dan sistemnya, ialah ruang sosial di mana implementasi kekuasaan berlangsung. Sedangkan, kekuasaan dalam posisinya sebagai sistem penguasaan menjadi instrument legalisasi amat efektif dalam kehadiran tuntutan-tuntutan kebenaran. Kekuasaan dan ilmu pengetahuan saling berkolaborasi, saling memengaruhi, dan saling memberdayakan.
Â
Keterkaitan Teori Relasi Kekuasaan dengan Kasus Sexting
Michel Foucault menyatakan bahwasannya terdapat empat rasionalitas yang membahayakan, yaitu kekuasaan, hasrat, kegilaan, dan apa yang dianggap palsu atau benar. Dari keempat rasionalitas tersebut hasrat menjadi salah satu rasionalitas yang membahayakan jika telah merambah dalam lingkungan pendidikan. Fenomena yang sering dijumpai saat ini dua diskursus yaitu kekuasaan dan hasrat berkolaborasi memainkan realsi kuasa atas kepentingan hasrat atau seksualitas.
Kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus menyadarkan banyak pihak bahwa adanya penyalahgunaan kekuasaan, dalam hal ini seseorang yang memiliki posisi ataupun kuasa telak memaksakan kehendaknya kepada orang lain yang posisinya lebih rendah. Kasus yang dibahas pada karya ini adalah kekerasan seksual verbal berupa sexting yang dilakukan salah seorang oknum dosen perguruan tinggi negeri Jakarta terhadap mahasiswi bimbingannya. Terlihat jelas bahwa adanya relasi kuasa tersebut membuka celah bagi oknum untuk melakukan tindakan asusila.