Mohon tunggu...
jihan fadilla
jihan fadilla Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswi Unj

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Relasi Kuasa Foucault: Studi Kasus Fenomena Sexting di Perguruan Tinggi

17 Desember 2022   15:13 Diperbarui: 17 Desember 2022   15:18 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

LATAR BELAKANG

Globalisasi membuat adanya komunikasi digital yang secara signifikan telah mengambil alih kehidupan kita sehari-hari. Kemutakhiran yang ada di dalam smartphone menawarkan berbagai kegiatan komunikasi baik untuk kepentingan individu maupun khalayak luas. Berdasarkan data terbaru, setidaknya 30 juta anak-anak dan remaja di Indonesia merupakan pengguna internet dan media digital yang saat ini menjadi sarana utama komunikasi yang mereka gunakan. Sehingga hampir tidak ada satu anak pun yang tidak pernah memakai internet.

Salah satu dari beragam aspek kehidupan yang dilalui masyarkat dengan menggunakan akses internet, produk teknologi, dan beragam aplikasi yang ada dalam smartphone adalah bidang kehidupan seksualitas. Saat ini seksualitas bukan lagi menjadi sesuatu yang tabu untuk dibicarakan. Hal ini dikarenakan saat ini kita dapat dengan mudahnya mengakses media sosial menggunakan perangkat canggih yang tersedia. Tentu dengan kemudahan yang ditawarkan inilah konsekuensi sosial atas seksualitas dalam kehidupan masyarakat dapat bisa menjadi sesuatu yang berdampak positif, namun bisa juga berdampak negatif. Sebagian besar orang remaja maupun dewasa cenderung menyalahgunakan internet untuk melancarkan aksinya dalam konteks seksualitas.

Fenomena akibat adanya kecanggihan atau kemutakhiran dalam smartphone adalah fenomena sexting. Istilah sexting mengacu pada pengiriman dan penerimaan pesan eksplisit secara seksual melalui beberapa bentuk pesan virtual, namun pada umumnya berbentuk pesan teks. Saat ini keberadaan sexting mulai sering terdengar, banyak kasus yang menimpa perempuan maupun laki-laki. Kasus yang paling sering terdengar adalah berupa pengirimian kalimat seksualitas dan pengiriman gambar yang tidak senonoh. Barangkali dahulu kekerasan seksual yang terjadi hanya berupa fisik belaka. Akan tetapi, periode digitalisasi bersamaan dengan banyaknya progress teknologi membentuk hal yang ditunggangi para predator kekerasan seksual via aplikasi yang tersedia. Perwujudan kekerasan seksual bisa dikenal dengan sebutan "Sexting".

Mirisnya, pada dunia pendidikan pun tidak bisa terelakan dengan adanya kekerasan seksual yang dilakukan dosen terhadap mahasiswa/i nya. Seperti halnya yang belum lama ini terjadi, seorang dosen melakukan kekerasan seksual dalam bentuk sexting kepada beberapa mahasiswi bimbingannya. Dalam aksinya dosen berinisal DA mengirmkan beberapa kalimat yang sifatnya rayuan dan ajakan  kepada beberapa mahasiswi bimbingannya. Dari sekian banyak bentuk kekerasan seksual, sexting sering dikesampingkan dan dianggap remeh padahal sexting sendiri masuk dalam bentuk pelecehan seksual berbentu verbal. Oleh karena sering dianggap remeh maka pelaku pelecehan merasa dengan bebasnya berselancar di dunia maya melancarkan aksinya. Untuk itu, jurnal ini akan membahas mengenai kasus sexting yang dilakukan civitas akademika yaitu dosen perguruan tinggi negeri di Jakarta terhadap beberapa mahasiswinya dengan menggunakan analisis teori relasi kekuasaan Michel Foucault.

PEMBAHASAN

Apa itu Sexting?

Pelecehan seksual merupakan segala perilaku seksual yang enggan diharapkan, invitasi untuk melakukan tindakan seksual baik verbal atau fisik yang menjadikan seseorang merasa harga dirinya direndahkan, terintimidasi, atau pun terganggu. Pelecehan seksual memiliki sejumlah bentuk yang dikelompokan menjadi lima bentuk pelecehan, yaitu pelecehan fisik, pelecehan lisan, pelecehan isyarat, pelecehan tertulis , dan pelecehan psikologis atau emosional. Perbuatan-perbuatan yang dapat disebut sebagai pelecehan fisik adalah perhatian yang tidak diinginkan yang disampaikan dengan cara bersentuhan secara fisik yang mengarah ke perbuatan seksual. Panggilan, candaan maupun rayuan yang enggan diharapkan serta berbunyi seksis tentang fisik maupun penampilan seseorang dikategorikan sebagai suatu pelecehan verbal. Tindakan berupa isyarat tubuh, gerakan tubuh berbunyi seksis, kedipan mata yang acap kali dilakukan, isyarat dengan menjilat bibir dengan maksud seksis, diklasifikasikan dalam pelecehan seksual isyarat. Pelecehan tertulis merupakan jenis pelecehan dengan cara mempertontonkan foto maupun video yang memiliki unsur pornografi. Terakhir, invitasi yang kontinuitas terjadi dan enggan diharapkan, cercaan yang berbentuk seksual merupakan pelecehean psikologis atau emosional.

Merujuk pada pengertian mengenai pelecehan seksual tersebut, maka sexting dapat dikategorikan sebagai sebuah tindakan pelecehan seksual verbal, karena sexting merupakan keadaan di mana perhatian berlebih yang ditujukan kepada seseorang dengan cara memberikan rayuan, ajakan, maupun lelucon yang tidak pantas dan mengarah pada seksualitas sebagai bentuk respon ketertarikan seksual kepada penerima perhatian. Istilah sexting mengacu pada pengiriman dan penerimaan pesan eksplisit secara seksual melalui beberapa bentuk pesan virtual, namun pada umumnya berbentuk pesan teks. Dalam buku yang berjudul "Sexting Gender and Teens" yang ditulis oleh Davidson menguraikan bahwa sexting merupakan aktifitas pengiriman pesan teks maupun visual dengan unsur seksualitas secara eksplisit melalui perangkat teknologi yang terpatri dengan jaringan internet dalam hal ini smartphone. Tentunya Smartphone ini tentu didukung dengan beragam aplikasi pengirim pesan dan media sosial.

Dalam kegiatan sexting terdiri atas dua jenis pesan, yaitu pesan verbal dan non-verbal. Pesan verbal bisa berupa kata-kata atau kalimat yang berbunyi seksi. Sementara sexting non-verbal ditunjukkan dalam wujud emotikon, video, foto, dan gambar atau stiker yang juga bernada seksis. Selain itu, kegiatan sexting juga dapat diamati dari unsur pembuatan media dan ekspresi diri. Gambaran pembuatan media yakni pembuatan konten seks dan seksualitas yang menilik sisi pribadi pada pembuatan konten seksualitas. Dalam sarana ekspresi diri, "sexting" yakni aktifitas yang mungkin lahir pada keseluruhan kalangan dan status personal. Pelaku dari sexting bisa dikenal dengan sexter.

Dewasa ini, mampu diamati mayoritas khalayak sosial sudah mengonsumsi media sosial berdasar internet serta produk teknologi untuk berinteraksi. Tak memungkiri ada beberapa orang yang tidak aware bahwa mereka melakukan kegiatan sexting. Seperti halnya muda mudi yang menjalani relationship, secara tidak sadar bahwa yang mereka lakukan merupakan bagian dari sexting. Tak hanya dalam hubungan relationship, hubungan antar atasan dengan karyawan, tenaga pendidik dengan peserta didik, perkawanan dan perselingkuhan bahkan tergolong dalam sexting. Maka dengan adanya hal tersebut, kekerasan seksual akan berkepanjangan jika tidak ada pemahaman sepanjang menggunakan progres teknologi, internet, dan media sosial dengan positif, bijak, dan sehat. Lantaran, kontrol seksualitas diri ada pada personal individu itu sendiri.

Persepsi Masyarakat Terhadap Fenomena Sexting

Sebagian orang masih beranggapan bahwasannya sexting bukan suatu bentuk pelecehan seksual, tetapi komentar dengan tujuan bercanda atau sekadar iseng. Anggapan tersebut sangat kontradiktif dengan fakta yang ada di lapangan. Saat ini korban sexting sudah mulai banyak bermunculan dan menceritakan kejadian yang dialaminya baik melalui sosial media maupun secara langsung tentunya para korban memiliki kekuatan besar untuk menceritakan atau speak up akan apa yang telah terjadi dengan meluapkan seluruh emosi berpadu dengan rasa takut.

Sering dijumpai korban pelecehan seksual akan bungkam dan kalut dalam permasalahannya, hal tersebut terjadi dikarenakan beberapa faktor seperti korban tidak mengetahui harus menyampaikan kepada siapa, rasa malu terhadap dirinya sendiri, cemas akan disalahkan oleh orang-orang di lingkungannya, dan khawatir atas pandangan orang terhadap dirinya. Sudah hal umum bahwa masyarakat akan menyalahkan korban atas kejadian pelecehan tersebut hal ini disebut dengan "victim blaming". Umumnya masyarkat beranggapan hanya karena pakaian korban yang minim ataupun bentuk badan yang terkesan "menarik"sehingga beberapa masyarakat menganggap perempuan yang menjadi akibat dari pelecehan seksual tersebut terjadi.

Persepsi masyarakat menjadi stigma negatif bagi korban. Masih banyak masyarakat yang memandang rendah, melakukan victim blaming dan menciptakan persepsi keliru yang secara tidak langsung beban dari pelecehan dilimpahkan kepada korban. Kenyataannya, pelecehan seksual menjadi sebuah pelanggaran norma serta pelanggaran hukum yang dilakukan oleh para pelaku kejahatan seksual dengan harus diberikan hukuman yang sebanding dengan apa yang sudah ia perbuat terhadap korban.

Sementara dalam  beberapa  persoalan,  saat  seseorang  memperoleh tindakan pelecehan seksual verbal  dan  mengadukan  perkara tersebut  kepada  aparat  penegak hukum,  namun  alih-alih  menolong  korban  sebagian  oknum  aparat  penegak  hukum justru menganggap tindakan tersebut adalah tindakan yang biasa dan tidak perlu dibesar besarkan. Sampai  sekarang  tidak tak jarang korban  yang  merasa  kelimpungan  dalam  mencari perlindungan  secara  hukum  terhadap  tindakan  seperti  itu,  sebab  pelecehan seksual verbal bukan suatu sanjungan atau bercandaan.

 

Dampak Kekerasan Seksual Verbal

Pelecehan seksual tentunya sangat meninggalkan dampak besar bagi korban. Dalam pelecehan seksual verbal dampak yang paling terlihat adalah dampak psikologis dan emosional. Korban akan mengalami berbagai efek, termasuk gangguan kesehatan  mental dan ketakutan akan persepsi mengenai dirinya di lingkungan. Kesehatan  mental menjadi efek dominan dari pelecehan seksual verbal karena korban menerima kata-kata dan rayuan yang barangkali dianggap sebagai sanjungan, melainkan sebagai harrasment. Sexting mempunyai imbas dalam menjatuhkan self-concept korban. Tingkat esktrem dari self-concept yang   rendah   dapat menyebabkan guncangan jiwa dan membuat border dari lingkungan sosial karena ia takut akan persepsi orang mengenai diri mereka sendiri.

Selain itu, adapun dampak lainnya yaitu dampak pada kesehatan psikologis korban. Dampak pelecehan seksual sangat bervariasi berdasarkan pada karakeristik kejadian. Dampak psikologis terbagi dua, yakni dampak jangka pendek dan dampak jangka panjang. Pada dampak jangka pendek dialami saat setelah kejadian. Korban akan merasakan fase emosi, merasa rusak, dan malu. Selain itu, gejala insomnia, dan kehilangan selera makan. Untuk pengaruh jangka panjang korban akan merasa bahwa dirinya rendah dan terhina dalam rentang waktu yang lama. Hal tersebut tentunya perlu penangan ahli seperti psikolog untuk mengatasi dampak jangka panjang.

Dampak-dampak yang dirasakan korban acap kali menjadi perkara serius dengan respons lingkungan sosial korban dan menenpatkan kondisi yang sulit bagi korban sehingga hal tersebut memengaruhi kehidupan serta hubungan sosial.

 

 Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Kekerasan Seksual Verbal di Indonesia

Kekerasan seksual verbal sangat mudah kita temui di aktifitas sosial bermasyarakat, seolah-olah tindakan ini dirasa sah-sah saja untuk dilakukan. Tindakan pelecehan seksual verbal yang acap kali tampak  di  masyarakat ialah  siulan  dan  rayuan bermaksud seksual yang ditujukan kepada perempuan maupun laki-laki diruang publik. Ujaran  tersebut umumnya  disertai  oleh isyarat tubuh seperti tatapan dan menggigit bibir, selain itu jika pelecehan terjadi di media sosial maka akan disertai dengan emoticon yang  bersifat  melecehkan  dan  membuat  korban  merasa  tidak  terganggu, terintimidasi, dan  tidak  nyaman untuk melakukan suatu kegiatan.

Sebagai negara hukum, Indonesia memiliki pasal yang mengatur mengenai pelecehan seksual yang dapat disebut Pasal 289 -- 296 KUHP. Pasal tersebut mengandung aturan barang siapa dengan paksaan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan perbuatan cabul sebagai pelanggaran moral yang baik, akan dipidana dengan hukum pidana penjara maksimal sembilan tahun. Dalam pasal tersebut seseorang yang dikenai hukuman ialah mereka yang secara paksa melakukan perbuatan asusila atau memaksa seseorang untuk diperlakukan asusila, disertai dengan kekerasan maupun ancaman kekerasan.

 

Teori Relasi Kekuasaan Michel Foucault

Bentuk hipotesis teori relasi kekuasaan Michel Foucault datang atas gagasan filosifinya yang memandang kekuasaan bagaikan suatu perwujudan produktif. Sebagai sesuatu yang produktif, kekuasaan selalu mobilisasi pada setiap struktur. Kekuasaan memiliki jaringan yang sangat rumit. Kekuasaan menyusup ke dalam setiap bentuk sistem sosial. Maka dari itu, Foucault menitikberatkan bahwasannya kekuasaan tidak hanya hidup hanya pada satu elemen saja. Kekuasaan tidak dikuasi oleh pihak manaun, melainkan berfungsi dalam wilayah yang lapang, sehingga eksistensinya meluas dalam setiap lini kehidupan sosial mempunyai karakter menormalisasi formasi masyarakat. Singkatnya, kekuasaan dalam pandangan Foucault diartikan menjadi sebuah komponen aktif yang konstan bergerak atau mobilisasi ke dalam seluruh elemen, kekuasaan tersebut berbentuk jaringan sosial. Baik itu ekonomi, pendidikan, budaya, politik, ilmu pengetahuan, bahkan agama sekalipun.

Selain itu, kekuasaan akan selalu berdampingan bersama ilmu pengetahuan. Kekuasaan berperan sebagai ajang di mana ilmu pengetahuan tersebut disampaikan. Lebih jauh, ilmu pengetahuan hadir untuk melegalkan kekuasaan.[3] Kaitan kekuasaan dan ilmu pengetahuan ada dalam pola simbiosis mutualisme di mana keduanya saling menguntungkan dan membutuhkan satu sama lain. Ilmu pengetahuan lewat lembaga dan sistemnya, ialah ruang sosial di mana implementasi kekuasaan berlangsung. Sedangkan, kekuasaan dalam posisinya sebagai sistem penguasaan menjadi instrument legalisasi amat efektif dalam kehadiran tuntutan-tuntutan kebenaran. Kekuasaan dan ilmu pengetahuan saling berkolaborasi, saling memengaruhi, dan saling memberdayakan.

 

Keterkaitan Teori Relasi Kekuasaan dengan Kasus Sexting

Michel Foucault menyatakan bahwasannya terdapat empat rasionalitas yang membahayakan, yaitu kekuasaan, hasrat, kegilaan, dan apa yang dianggap palsu atau benar. Dari keempat rasionalitas tersebut hasrat menjadi salah satu rasionalitas yang membahayakan jika telah merambah dalam lingkungan pendidikan. Fenomena yang sering dijumpai saat ini dua diskursus yaitu kekuasaan dan hasrat berkolaborasi memainkan realsi kuasa atas kepentingan hasrat atau seksualitas.

Kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus menyadarkan banyak pihak bahwa adanya penyalahgunaan kekuasaan, dalam hal ini seseorang yang memiliki posisi ataupun kuasa telak memaksakan kehendaknya kepada orang lain yang posisinya lebih rendah. Kasus yang dibahas pada karya ini adalah kekerasan seksual verbal berupa sexting yang dilakukan salah seorang oknum dosen perguruan tinggi negeri Jakarta terhadap mahasiswi bimbingannya. Terlihat jelas bahwa adanya relasi kuasa tersebut membuka celah bagi oknum untuk melakukan tindakan asusila.

Dalam hal ini, kekuasaan pelaku dan ketidakberdayaan korban adalah unsur dasar kemungkinan peristiwa tersebut dapat terjadi. Korban dalam hal ini mahasiswi memiliki ketergantungan kepada pelaku (dosen) untuk melaksanakan bimbingan skripsi. Sedangkan pelaku atau dosen memiliki kekuasaan penuh dalam hal pengaturan jadwal bimbingan dan tempat pertemuan.

Relasi kekuasaan yang tidak proporsional rentan memicu terjadinya kekerasan seksual, terlebih lagi umumnya korban enggan melaporkan peristiwa yang dialaminya dikarenakan pertimbangan dan bagaimana persepsi lingkungan sosial mengenai dirinya, selain itu karena posisi korban saat itu masih menjadi mahasiswa bimbingan ia juga mempertimbangkan posisinya sebagai mahasiswa akhir yang tentunya memerlukan bimbingan untuk segera menyelesaikan studinya. Untuk itu, lazimnya korban beranggapan jika ia melapor maka sama halnya dengan ibarat buah simalakama.

Di samping itu, seperti yang dinyatakan oleh Foucault bahwa relasi kuasa ini sebagai sebuah teknik atau modus yang menjadikan kekerasan seksual semakin kompleks polanya. Seperti halnya kekerasan seksual yang dilancarkan oleh dosen kepada mahasiwa/i, tenaga pendidik kepada peserta didiknya, pembimbing agama kepada santrinya, dan atasan kepada karyawan. Untuk itu perlu bagi kita untuk memahami bagaimana realsi kuasa bekerja dan melalui jalur apa realsi kuasa tersebut masuk dalam lingkup kehidupan sosial, serta bagaimana kekuasaan dapat merambah dan mengendalikan kenikmatan seksual tersebut.

 

 KESIMPULAN

Santernya publisitas yang diberitakan di media massa dan media sosial, belum lama ini menjadikan masyarakat seakan-akan baru mengetahui bahwa tindakan kekerasan seksual bisa terjadi kapanpun, dimanapun, dan menimpa siapapun. Kekerasan seksual yang menimpa mahasiswa/i tidak hanya terjadi di luar lingkungan kampus saja, baru-baru ini kekerasan seksual terjadi di dalam lingkungan kampus yang kita ketahui bahwa kampus seharusnya  sebagai institusi pendidikan yang meluhurkan harga diri para mahasiswa/i harus ternodai oleh oknum dosen yang malah melakukan tindakan asusila, seperti kasus yang terjadi di perguruan tinggi negeri Jakarta. Di mana dosen berinisial DA tersebut melakukan kekerasan seksual dalam bentuk sexting kepada beberapa mahasiswi bimbingannya.

Seperti yang telah dikatakan oleh Michel Foucault dalam peenjelasan di atas sudah jelas menggambarkan adanya disparitas relasi kuasa antara pelaku dan penyintas (korban) menjadi salah satu unsur pemicu kekerasan seksual. Dari empat rasionalitas yang dikatakan Foucault bahwa ketika rasionalitas kekuasan (politik) dan hasrat (seksualitas) berkolaborasi membentuk kesatuan system maka akan meneruskan jalan keruntuhan dalam dunia akademik. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk menyudahi kekerasan seksual khususnya dalam persoalan ini pererempuan dan secara khusus pengendalian kekerasan seksual dalam area perguruan tinggi yaitu dengan melakukan upaya preventif yang mampu meminimalisir terjadinya tindakan kekerasan seksual yang menimpa civitas akademika lainnya.

Di samping itu, Rektor sebagai petinggi dalam suatu perguruan tinggi juga hendaknya memanifestasikan aturan hukum yang gamblang kepada pelaku kekerasan seksual, sekalipun itu bagian dari civitas akademika. Adanya aturan hukum sangat penting dalam penegakan hukum bagi pelaku kekerasan seksual dan juga bagi kebaikan bangsa khususnya dunia pendidikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun