Mohon tunggu...
Jiebon Swadjiwa
Jiebon Swadjiwa Mohon Tunggu... Seniman - seniman

Cuma penulis biasa sekaligus penikmat lagu, perasa puisi, dan pecandu kopi sachetan, selalu menulis dengan mendengarkan suara yang bangkit dari dalam dirinya, suara itu adalah suara kematian (dengan semua firasatnya), suara cinta, dan suara seni.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pagar Laut dan Doa Nelayan yang Tak Sampai

2 Februari 2025   09:45 Diperbarui: 2 Februari 2025   09:45 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret pagar laut di Tangerang (net)

Mereka membangun tembok di antara gelombang,

setinggi mimpi yang tak pernah diizinkan tumbuh.

Bambu-bambu berdiri seperti penjaga kerajaan tanpa raja,

menatap nelayan dengan mata kosong, tanpa kata.

--

Kapal-kapal mengapung seperti anak-anak terlantar,

dihalau pagar yang tak berlidah,

namun bicara lebih lantang dari undang-undang,

mengusir tangan yang sejak dulu bersalaman dengan ombak.

--

Laut, kau bukan ibu lagi,

kau pagar besi dengan hati administratif.

Dulu kau melahirkan, kini kau menggugurkan,

mereka yang mencari nafkah dengan jala,

kini hanya menangkap debu dari janji yang menguap.

--

Mereka bilang, ini demi masa depan,

tapi siapa yang punya masa depan,

jika nasi di piring kini hanya bayang-bayang?

Siapa yang masih bernafas lega,

jika setiap hembusan angin membawa bau perintah?

--

Dan di meja-meja rapat berpendingin udara,

keputusan diukir dengan tinta tak bernama,

sebab pemilik pagar hanyalah mitos,

hantu yang menulis kebijakan tanpa wajah.

--

Sementara itu, nelayan berdoa kepada angin,

semoga laut kembali menjadi laut,

bukan pagar, bukan batas, bukan jeruji,

bukan kutukan yang dijual dengan angka.

--

Tetapi laut hanya diam,

karena ia tahu,

bahkan Tuhan pun tak bisa menjawab

doa yang dipagari manusia.

***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun