Mereka membangun tembok di antara gelombang,
setinggi mimpi yang tak pernah diizinkan tumbuh.
Bambu-bambu berdiri seperti penjaga kerajaan tanpa raja,
menatap nelayan dengan mata kosong, tanpa kata.
--
Kapal-kapal mengapung seperti anak-anak terlantar,
dihalau pagar yang tak berlidah,
namun bicara lebih lantang dari undang-undang,
mengusir tangan yang sejak dulu bersalaman dengan ombak.
--
Laut, kau bukan ibu lagi,
kau pagar besi dengan hati administratif.
Dulu kau melahirkan, kini kau menggugurkan,
mereka yang mencari nafkah dengan jala,
kini hanya menangkap debu dari janji yang menguap.
--
Mereka bilang, ini demi masa depan,
tapi siapa yang punya masa depan,
jika nasi di piring kini hanya bayang-bayang?
Siapa yang masih bernafas lega,
jika setiap hembusan angin membawa bau perintah?
--
Dan di meja-meja rapat berpendingin udara,
keputusan diukir dengan tinta tak bernama,
sebab pemilik pagar hanyalah mitos,
hantu yang menulis kebijakan tanpa wajah.
--
Sementara itu, nelayan berdoa kepada angin,
semoga laut kembali menjadi laut,
bukan pagar, bukan batas, bukan jeruji,
bukan kutukan yang dijual dengan angka.
--
Tetapi laut hanya diam,
karena ia tahu,
bahkan Tuhan pun tak bisa menjawab
doa yang dipagari manusia.
***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI