Mohon tunggu...
Jihan Agnel
Jihan Agnel Mohon Tunggu... Penulis - Your secret writer

You matter. No matter what.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Vas Bunga Perak

24 Juli 2022   22:41 Diperbarui: 24 Juli 2022   23:12 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kata orang, jangan mau menjalin hubungan dengan penulis sebab kamu akan terpenjara dalam tulisannya. Tetapi bagi nenek berbeda, ia dengan senang hati menjadi tawanan tulisan kakek seumur hidupnya.

***

Tubuh nenekku sudah ringkih namun ia tetap kuat untuk berjalan dari kamarnya menuju ruang tamu, tempat vas bunga perak berada. Dalam balutan sweater rajut berwarna merah maroon, daster coklat selutut serta sendal rumah hitam, nenekku berjalan perlahan. Aku yang sedang menyesap coklat panas di dapur, langsung bergegas membantu nenek untuk berjalan.

Secepat kilat aku memegang tubuhnya yang lembut. Nenek tersenyum melihatku. Matanya memancarkan kehangatan. Tanpa banyak kata, aku memapah nenek berjalan menuju vas bunga perak. Ia duduk tepat di sampingnya.

Tanpa harus diperintahkan, aku pergi ke dapur untuk mengambil kain lap serta botol semprot berisi cairan pembersih. Nenek menungguku membawakan kedua alat itu sembari menatap vas bunga perak kesayangannya.

Dalam hitungan detik, aku kembali dan menaruh alat-alat yang aku bawa di pangkuan nenek. Tanpa berkata, ia mulai menyemprot perlahan vas itu dan mengelapnya hingga menjadi sangat bersih. Lama ia menatap vas bunga itu dengan tatapan sendu. Siapa saja yang melihat tatapan nenek pasti akan setuju, ada kerinduan mendalam dari tatapannya. Matanya pun memancarkan kesedihan serta kehangatan yang berpadu harmoni.

"Yuk..." Nenek memanggilku.

Ayuk, yang berarti kakak perempuan dalam bahasa Palembang. Keluargaku merupakan keluarga asli Palembang yang bermigrasi ke Jakarta. Sementara aku adalah anak pertama di keluargaku sehingga wajar bila "Ayuk" menjadi panggilanku. Selayaknya "Mbak" di budaya Jawa, "Teteh" di budaya Sunda, dan "Uni" di budaya Minang.

"Iya?" Aku membalas panggilan nenek dengan perlahan.

"Kau suka menulis?"

"Suka..." jawabku dengan tersenyum pada nenek yang wajahnya masih saja cantik.

"Kakekmu dulu juga sangat suka menulis. Ia menuliskan banyak kisah, banyak sekali..."

Aku menyimak perkataan nenek tanpa berusaha mencelanya.

"...Ia memenjarakan kenangan bahkan dari sebelum pertemuannya denganku"

Lama nenek terdiam, kini saatnya aku bertanya.

"Apa dengan kelakuan kakek itu, lantas nenek menjadi cemburu?" Tanyaku berhati-hati.

"Cemburu?" Nenek menatapku tajam beberapa detik lalu matanya mulai menghangat. Ia tersenyum dan bersiap melanjutkan kalimatnya.

"...Buat apa? Toh masa lalu kakekmu adalah haknya, itu pilihan hidupnya. Segala yang ia tulis senantiasa bertujuan sebagai refleksi hidupnya"

Nenek menyemprotkan cairan pembersih pada vas bunga perak itu lagi. Seolah tidak mengizinkan setitik noda yang tertinggal.

"Kau tau yuk?" Nenek masih bertanya sembari mengelap vas bunga perak.

"Justru itulah yang membuatku jatuh hati pada kakekmu. Ia mendokumentasikan kehidupannya dalam bentuk tulisan. Termasuk menuliskan tentang diriku. Bahkan tulisan mengenai aku, pasangan hidupnya, belahan jiwanya, lebih banyak daripada tulisan mengenai masa lalunya. Tentu saja bukan? Sebab aku ini pilihan terakhirnya"

Nenek tersenyum bangga padaku. Aku senang melihatnya. Namun dari tatapannya, aku tau, ada kerinduan mendalam yang ia pendam.

"Kalau saja, yuk... kalau saja kakek tidak menyatakan perasaannya. Mana nenek tau kalau dia ternyata menulis tentang nenek secara diam-diam"

Nenek diam sejenak, "Kau harus ingat yuk, perasaan dalam hati muncul untuk diungkapkan bukan untuk dipendam. Sejatinya cinta yang ditakdirkan untukmu tidak perlu usaha yang terlalu keras. Kau dan takdirmu akan saling memahami, menerima dan memberi. Seperti nenekmu yang memahami kesukaan kakekmu, menerimanya, dan juga memberikan yang terbaik untuk dirinya. 

Pun sebaliknya yang dilakukan kakekmu untuk nenek. Ya walaupun pasti ada saja halang rintangnya. Berantem? Pernah, nenek dan kakek pernah berantem. Tapi apa setelah berantem itu kami memutuskan untuk berpisah? Tidak, kami selalu mencari jalan keluarnya. Bukan menyerah tapi mencari solusinya, itulah arti kebersamaan"

Aku tersenyum dan menganggukan kepala. Nenek kembali membersihkan vas bunga perak kesayangannya. Membersihkannya dengan teliti sebab hanya vas bunga itu benda bersejarah yang mengingatkannya pada kakek.

Dulu, kakek mengajak nenek untuk jalan-jalan ke toko antik dan membelikan vas bunga itu untuk nenek. Mereka belum berpacaran dan masih muda. Katanya, nenek sempat kesal karena kakek tidak romantis dan hanya membelikan vas bunga tanpa bunganya. 

Namun sesampainya di rumah, nenek menemukan sepucuk surat bersamaan di dalam kotak coklat pembungkus vas bunga. Surat pernyataan cinta yang sederhana namun menghangatkan hati. Tentu, nenek tidak berhenti tersenyum saat membacakan surat itu padaku.

Cerita yang sama setiap malam dari mulut nenek padaku. Aku tidak akan pernah bosan mendengarkannya. Semenjak penyakit Alzheimer yang diidap oleh nenek, nampaknya ingatan mengenai kakeklah yang mengakar kuat dalam hatinya. Serta kebiasaannya ini menjadi rutinitas yang tidak akan pernah ia lewatkan dan lupakan.

Nenek mungkin saja lupa menaruh kacamatanya, lupa tengah menghidupkan air di kamar mandi, lupa telah mengulang perkataannya lebih dari 7 kali. Parahnya, ia sering lupa nama mama, anaknya sendiri. Tetapi ia tidak akan lupa mengenai kakek, belahan jiwanya.

Kini nenek mengambil sepucuk surat yang ditaruh tepat di bawah vas bunga. Ya, ini adalah bagian kesukaanku dari rutinitas yang nenek lakukan setiap malam. Ia akan membacakan surat pernyataan cinta yang kakek tuliskan untuk dirinya.

Adinda yang memiliki senyum seperti Sirius, bintang paling terang di langit Bumi. Entah untukmu apakah surat ini cukup untuk menjelaskan keadaan kita berdua atau tidak. Meski kita sama-sama sadar, segala rasa yang terjalin diam-diam antara kita berdua. Segala tatapan yang menghangat tiap kali kedua mata kita bertemu. Juga segala percakapan yang tercipta melalui sambungan telepon.

Harusnya jelas sudah bahwa ada perasaan yang tertanam dalam hatiku untukmu, Adinda. Aku mencintaimu. Kiranya kau juga, maka izinkan besok malam aku mendatangi rumahmu. Dan bolehkah aku memanggilmu 'sayang'?

Adinda, aku tunggu jawabanmu besok malam. Kau harus tau, seberapa lihainya aku menulis, namun di hadapanmu, aku menjadi manusia paling bodoh yang tidak tau cara merangkai kata. Kamu, Sirius, bintang paling terang di langit Bumi, di hadapanmu, aku seringkali kehilangan kata-kata. Sebab yang aku tau, aku hanya menginginkan dirimu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun