"Kakekmu dulu juga sangat suka menulis. Ia menuliskan banyak kisah, banyak sekali..."
Aku menyimak perkataan nenek tanpa berusaha mencelanya.
"...Ia memenjarakan kenangan bahkan dari sebelum pertemuannya denganku"
Lama nenek terdiam, kini saatnya aku bertanya.
"Apa dengan kelakuan kakek itu, lantas nenek menjadi cemburu?" Tanyaku berhati-hati.
"Cemburu?" Nenek menatapku tajam beberapa detik lalu matanya mulai menghangat. Ia tersenyum dan bersiap melanjutkan kalimatnya.
"...Buat apa? Toh masa lalu kakekmu adalah haknya, itu pilihan hidupnya. Segala yang ia tulis senantiasa bertujuan sebagai refleksi hidupnya"
Nenek menyemprotkan cairan pembersih pada vas bunga perak itu lagi. Seolah tidak mengizinkan setitik noda yang tertinggal.
"Kau tau yuk?" Nenek masih bertanya sembari mengelap vas bunga perak.
"Justru itulah yang membuatku jatuh hati pada kakekmu. Ia mendokumentasikan kehidupannya dalam bentuk tulisan. Termasuk menuliskan tentang diriku. Bahkan tulisan mengenai aku, pasangan hidupnya, belahan jiwanya, lebih banyak daripada tulisan mengenai masa lalunya. Tentu saja bukan? Sebab aku ini pilihan terakhirnya"
Nenek tersenyum bangga padaku. Aku senang melihatnya. Namun dari tatapannya, aku tau, ada kerinduan mendalam yang ia pendam.