Mohon tunggu...
Josef H. Wenas
Josef H. Wenas Mohon Tunggu... Administrasi - Not available

Not available

Selanjutnya

Tutup

Politik

“Lobi Vatikan” di Indonesia?

11 Juli 2015   09:53 Diperbarui: 11 Juli 2015   09:53 2138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Oleh Josef H. Wenas

KITA bicara suasana genting di bulan Juli 1947. Indonesia masih dalam “kekacauan” revolusi. Pengakuan internasional terhadap kemerdekaan maupun tata organisasi pemerintahan masih payah betul. Perjanjian Roem-van Roijen, perjanjian Renville belum terjadi, jangan lagi bayangan Konferensi Meja Bundar yang hasilnya adalah pengakuan kedaulatan [terhadap Republik Indonesia Serikat]. Masih gelap segalanya.

Baru ada perjanjian Linggarjati, telah ditandatangani 25 Maret 1947, yang pelaksanaannya terseok-seok hantaman kecaman dan kritik dari berbagai faksi politik. Celakanya, ternyata tanggal 21 Juli Belanda menghianati Linggarjati, menggempur posisi Republik melalui Agresi Militer I yang berlangsung sampai 5 Agustus tahun itu. Lebih sial lagi, Kabinet Sutan Sjahrir ke-III baru saja jatuh sebulan sebelumnya, 27 Juni 1947.

Dalam suasana gelisah begini, di bulan Desember 1947 itu juga, Apostolic Delegate Vatikan yang pertama mulai bekerja di Jakarta dibawah pimpinan Mgr. G.M.J.H. Ghislain de Jonghe d’Ardoye. Vatikan adalah negara Eropa pertama yang mengakui kedaulatan Indonesia, 6 Juli 1947, atau sebagai negara kedua di dunia setelah Mesir melakukannya sebulan sebelumnya, 10 Juni 1947.

Kenapa Vatikan mau ikut-ikutan solidaritas bersama kaum Republik yang hampir tanpa harapan untuk mengusir kolonialisme Belanda pergi selamanya? Apa kepentingannya? Padahal saat itu masih sangat mungkin nasib Proklamasi 17 Agustus 1945 hilang kembali ditelan imperalisme Belanda yang faktanya termasuk barisan pemenang Perang Dunia II bersama Sekutu.

****

KEHADIRAN misi Gereja Katolik itu obyektif dan historis ada di Indonesia sejak sebelum zaman konglomerasi Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Sejak seorang Yesuit di tahun 1546 mengikuti jalur perdagangan rempah-rempah Portugis ke Malaka hingga terus jauh ke Timur mencapai perairan Ambon, Saparua dan Ternate [perlu diingat, ada versi historis lain yang menemukan bukti-bukti kehadiran Gereja Katolik di Sibolga, Sumatera Utara dari abad ke-7].

Nama Yesuit itu Fransiskus Xaverius, di kemudian hari menjadi Santo dalam Gereja Katolik, dia adalah salah satu dari tujuh figur pertama ordo Serikat Yesus yang bersumpah di kapel Montmartre bersama-sama sang pendiri, Santo Ignatius dari Loyola.

Lalu masuk ke zaman VOC yang kental Protestanisme, sehingga Gereja Katolik dicancang habis-habisan. Imam-imam Katolik dilarang masuk, yang sudah ada ditindas keras. Dibawah administrasi Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen, tahun 1624 imam Yesuit Egidius d’Abreu dibunuh di Kastil Batavia karena mengajar agama dan merayakan Misa Kudus di penjara. Tahun 1646, Yesuit lainnya, A. de Rhodes, diusir setelah terlebih dulu salib dan alat-alat ibadat lainnya dibakar.

Seorang evangelis awam Katolik, Yoanes Kaspas Kratx, asal Austria, terpaksa meninggalkan Batavia sebab usahanya dipersulit oleh pejabat-pejabat VOC, ia dituduh memberikan bantuan kepada beberapa imam Katolik yang singgah di pelabuhan Batavia. Kratx lalu pindah ke Makau, masuk Serikat Yesus, dan mati sebagai seorang martir di Vietnam pada 1737.

Masuk ke zaman Hindia-Belanda pasca kebangkrutan konglomerasi VOC tahun 1799, ada sedikit perbaikan nasib Gereja Katolik. Sebabnya adalah negeri Belanda dikuasai Napoleon Bonaparte yang mengangkat adiknya Louis Napoleon, seorang Katolik, menjadi raja di tanah kincir angin itu.

Pada 8 Mei 1807 raja Louis Napoleon mencapai kesepakatan dengan Roma untuk mendirikan Prefektur Apostolik di Hindia-Belanda. Dua orang imam Diosesan tiba di Batavia: Jacobus Nelissen yang kemudian menjadi Prefek Apostolik pertama di Hindia-Belanda, dan Lambertus Prinsen.

Perlahan-lahan mulai ada perkembangan jumlah imam, dari 5 orang di zaman Daendels (1808-1811), menjadi 50 orang di penghujung abad itu. Akan tetapi misi di wilayah Yogyakarta masih tertutup bagi Gereja Katolik. Keadaan mulai berubah sejak seorang imam Yesuit bernama Frans van Lith tiba di Muntilan tahun 1896. Di ujung tahun 1904, mata air Sendangsono di ketinggian perbukitan Menoreh menjadi simbol mulai berkembangnya Gereja Katolik di wilayah ini sejak pembaptisan 171 orang Katolik yang pertama oleh van Lith. Umat Katolik mulai berkembang, dan misi pendidikan menjadi salah satu sarana berbagi cinta kasih Tuhan bersama rakyat. Kader-kader intelektual dari kaum pribumi terus digodok dan didorong maju melalui pendidikan di pusat Muntilan.

Nama-nama seperti Albertus Soegijapranata, Adrianus Djajasepoetra, Ignatius Joseph Kasimo, C.L. Soepardjo dan R.M. Jakob Soedjadi, Frans Seda adalah kader-kader Muntilan didikan Pastor van Lith yang di kemudian hari berada sangat dekat disekitar Soekarno, mereka ikut membela kepentingan bangsa Indonesia melalui motto “100% Katolik, 100% Indonesia”.

Sikap van Lith memang tegas. Seperti dalam artikelnya di majalah Studien, 1922, tentang “De Politiek Van Nederland Ten Opzichte Van Nederlandsch-Indie” dimana dia sudah memecah antara Negeri Belanda vis-à-vis Hindia-Belanda, Pastor Belanda ini menulis: “Kulit putih tidak dapat lagi bertahan di Asia. Sangatlah berbahaya bermain api, untuk berlagak congkak terhadap bangsa Hindia Belanda. Akuilah hak mereka…”

Lebih keras lagi, van Lith juga yang menyerukan agar Volksraad dipecah menjadi stelsel dua kamar untuk menghindari dominasi orang-orang Belanda duduk disitu, tetapi usulannya ditolak. Dia sendiri menjadi anggota Herzienings-Commissie yang dibentuk tahun 1918 untuk mempersiapkan suatu ketatanegaraan baru, dan kemudian mendorong kader-kader pribuminya seperti I.J. Kasimo aktif berjuang melalui dewan rakyat itu.

“Bahwa semua orang kini tahu bahwa kami para misionaris ingin bertindak sebagai penengah. Tetapi, semua juga tahu, jika akhirnya sampai terjadi perpecahan, para misionaris terpaksa memilih untuk berpihak kepada golongan pribumi,” tulis van Lith di artikel itu. Pemerintah kolonial Belanda memang kurang suka pada pastor “penghianat” ini.

Alam pikir seperti inilah yang menyebabkan Soekarno dan para pemimpin kaum Republik lainnya sangat dekat dengan para kader Frans van Lith di masa itu, yang memiliki ideologi dan sikap politik jelas dan tegas berpihak kepada mereka yang tertindas dan terjajah.

Suatu option for the poor yang mau merasul dan merangkul kegelisahan-kegelisahan rakyat kecil.

****

TERCATAT empat orang Presiden Indonesia pernah bertemu dan bahkan mengunjungi Paus di Vatikan.

Presiden Soekarno bertemu tiga Paus yang berbeda di Vatikan. Pertama kali dia ke Roma mengunjungi Paus Pius XIII pada 13 Juni 1956, kemudian Soekarno bertemu Paus Yohanes XXIII tanggal 14 Mei 1959 dan yang terakhir dikunjunginya di Vatikan adalah Paus Paulus VI, tanggal 12 Oktober 1964.

Untuk menjelaskan kedekatan Soekarno dengan kalangan Katolik, harus ditelusuri kembali masa mudanya antara tahun 1934 -1938 ketika dia dibuang ke Ende, Flores. Di situlah, selama empat tahun, kalangan Katolik menjadi bagian hidupnya sehari-hari.

Kebetulan dari rumahnya di kampung Ambugaga, hanya 10 menit berjalan ke arah Timur terdapat kompleks misi Katolik. Setelah selesai berkebun, membaca koran dan buku, sering Soekarno pergi berjalan-jalan ke kompleks misi ini. Di sini dia sering melakukan intellectual exercise dengan para biarawan SVD (Societas Verbi Divini atau Serikat Sabda Allah) seperti Pastor P.G. Huijtink, J. Bouma dan Bruder Lambertus. Soekarno bahkan dipercaya untuk memegang kunci perpustakaan di biara Santo Yosef, sehingga dia dapat memanfaatkannya seluas mungkin.

Budayawan Ignas Kleden mencatat, Pastor Jan Bouma adalah figur sentral dalam misi SVD di Flores, menjadi lawan debat Soekarno yang paling fasih. Pastor Bouma adalah Superior Regional SVD untuk lima periode selama 1932-1947. Dia juga pendiri Seminari Tinggi Santo Paulus di Ledalero, 1937.

Pada tahun 1936, merapat di Ende seorang misionaris muda yang baru menyelesaikan studi doktoralnya di Roma dalam bidang sejarah gereja. Dr. M. van Stiphout SVD belajar di Roma pada saat Mussolini menjadi penguasa Italia. Dia mengalami apa artinya hidup dalam Fasisme. Dengan dia, Soekarno banyak mendiskusikan kecenderungan meluasnya Fasisme pada masa itu.

Sebelumnya di penjara Sukamiskin, Bandung, awal 1931 Soekarno mulai membaca tulisan-tulisan Frans van Lith. Pada pembuangan di Ende, Flores, Soekarno mengalami perjumpaan intelektual dengan para misionaris SVD, dimana dia mengalami pergolakan pemikiran kebangsaannya. Pada dirinya terjadi metamorfosa ideologis dari seorang yang sejak muda terobsesi dengan trilogi “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” ke suatu filsafat kebangsaan yang lebih universal, yang dikemudian hari dikenal sebagai Pancasila.

Di Ende, di bawah pohon sukun, gagasan Pancasila pertama kali dirumuskan oleh Soekarno. Kira-kira satu dekade sebelum dia berpidato memaparkannya di sidang BPUPKI, pada 1 Juni 1945.

Soekarno adalah Presiden RI yang paling banyak mengunjungi Paus di Vatikan. “Aku orang Islam, yang hingga sekarang telah memperoleh tiga buah medali tertinggi dari Vatikan,” katanya kepada Cindy Adams, penulis biografinya.

Perhargaan ini membuat iri hati Presiden Irlandia Eamon de Valera, yang negerinya memiliki 90% umat Katolik. “Saya saja cuma punya satu penghargaan dari Vatikan. Saya iri dengan Anda”, kata de Valera sewaktu berjumpa dengan Soekarno.

****

PRESIDEN Soeharto mengunjungi Vatikan tanggal 25 November 1972 bertemu Paus Paulus VI, dan ini satu-satunya kunjungan ke sana. Tetapi, di masa pemerintahan Soeharto ini tercatat dua kunjungan Paus ke Indonesia, yang pertama adalah Paus Paulus VI pada 3-4 Desember 1970, kemudian Paus Yohanes Paulus II pada 9-13 Oktober 1989.

Pada bulan November 1985, Soeharto datang lagi ke Roma untuk menerima penghargaan FAO atas keberhasilannya dalam hal ketahanan pangan dan swasembada beras. Tetapi oleh karena hubungan Indonesia-Vatikan “tersandera” isu Timor Timur yang mayoritas penduduknya Katolik, dia nampaknya berat hati untuk bertemu Paus Yohanes Paulus II. Sebab dua bulan sebelumnya, 9 September 1985, Soeharto baru saja mengumumkan kembali keadaan darurat perang di Timor Timur sehubungan gagalnya pendekatan “gencatan senjata” yang disepakati sejak 1983 oleh Panglima ABRI saat itu Jend. M. Yusuf— sebelum yang bersangkutan digantikan oleh Jend. L.B. Moerdani, seorang Katolik.

Sejarah Timor Timur antara 1975-1980 memang penuh kisah-kisah kehancuran semacam genosida, kelaparan, ketegangan perlawanan Fretilin dan perlawanan politik lokal. Dan, Gereja Katolik hadir di sana menyaksikan semuanya, dimana Keuskupan Dili memang langsung berada dibawah yurisdiksi Vatikan.

Atas nasehat Panglima ABRI Jend. L.B. Moerdani dan Menteri Luar Negeri Ali Alatas, Soeharto mencoba pendekatan soft power kedua di tahun 1988 [Catatan: ide ini bergulir diantara dua Kabinet Pembangunan, IV dan V, Moerdani masih sebagai Pangab dan kemudian Menhan, Alatas masih sebagai PTRI di New York dan kemudian Menlu]. Soeharto menyatakan Timor-Timur “berstatus sama” dengan dua puluh enam provinsi Indonesia lainnya, mengumumkan “terbukanya” wilayah Timor-Timur dan dimulainya “Operasi Senyum”. Dia lalu mengirimkan undangan kepada Paus Yohanes Paulus II untuk berkunjung ke Indonesia, termasuk ke Timor Timur, dan Sri Paus tiba di bulan Oktober 1989 untuk lima hari lamanya. Ini suatu diplomasi cerdas.

Tetapi yang lebih mendasar adalah— seperti pernah dikatakan budayawan Theodoor W. Geldorp, seorang Yesuit tokoh Majalah Basis— adanya suatu “jaringan komunikasi” antara Soeharto dan kalangan Katolik dalam suasana pasca Dekrit Presiden 1959 hingga paruh pertama dekade 1960-an, ketika cengkraman pengaruh Komunisme mulai semakin kuat di sekitar Presiden Soekarno. Baik bagi Angkatan Darat dan kalangan keagamaan umumnya, termasuk bagi orang-orang Katolik, Komunisme adalah ancaman eksistensial kebangsaan yang sangat serius.

Lahirnya Sekretariat Bersama Golongan Karya (Golkar), 20 Oktober 1964, berasal dari rahim pemikiran “jaringan komunikasi” ini, dengan sulit melupakan figur dua orang perwira tinggi intelijen yaitu Ali Moertopo dan Soedjono Humardani di sisi Angkatan Darat, dan seorang imam Yesuit bernama Josephus Gerardus Beek di sisi kalangan Katolik.

Di kemudian hari, kedua jenderal tersebut bersama-sama kader Pastor Beek seperti Hary Tjan Silalahi, Jusuf Wanandi, Hadi Soesastro, mendirikan think tank Center for Strategic & International Studies (CSIS), yang sering dipanggil “Kelompok Tanah Abang III”. CSIS kemudian menjadi semacam referensi analitis berbagai kebijakan Orde Baru selama pertengahan 1970-an hingga menjelang akhir 1980-an, sebelum pamornya perlahan-lahan turun digeser kalangan ICMI mulai awal 1990-an, sejalan dengan semakin “hijau”-nya angkatan bersenjata, terutama sejak Panglima ABRI dijabat Jend. Faisal Tanjung mulai 1993.

Golkar dimaksudkan untuk menghimpun sebanyak mungkin kelompok fungsional seperti organisasi pemuda, wanita, sarjana, buruh, tani, dan nelayan dalam rangka menghadapi Front Nasional ciptaan Partai Komunis Indonesia. Golkar kemudian menjadi kendaraan politik Soeharto hingga lebih 30 tahun lamanya.

Aad van den Heuvel bekas wartawan Katholieke Radio Omroep (KRO) di Belanda menyaksikan sendiri catatan-catatan Pastor Beek tentang pembentukan Golkar di tahun 1963. Heuvel juga masih ingat di tahun 1966 dia bertemu Beek yang sedang menyusun suatu naskah di mesin tik Remington tua miliknya, keesokan harinya naskah tersebut menjadi isi pidato Jend. Soeharto.

Konsepsi Golkar digagas oleh Pastor Beek, diinspirasikan oleh pemikiran Korporatisme yang memang sudah ada lama dalam tradisi Katolik. Dalam arti politis yaitu suatu Negara Korporatis yang tanpa partai-partai politik, jadi suatu demokrasi representatif dari perwakilan golongan-golongan kekaryaan dan kepentingan, semisal pengusaha, buruh, petani, guru, tukang-tukang, kelompok-kelompok keagamaan, dan sebagainya.

Analoginya adalah seperti tubuh yang anggota-anggotanya memiliki fungsi yang harmonis saling melengkapi dan digerakkan oleh suatu roh kehidupan menuju suatu cita-cita. Memang, kata “korporatisme” berasal dari bahasa Latin “corpus” yang berarti “tubuh”.

Sudah sejak Rasul Paulus dari Tarsus di abad pertama Masehi dimengerti bahwa,”Karena tubuh juga tidak terdiri dari satu anggota, tetapi atas banyak anggota,” dan lebih jauh lagi, “Sebab dalam satu Roh kita semua, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak, maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum dari satu Roh” [1 Korintus 12: 12-31]

Di tahun 1881, Paus Leo XIII menugaskan suatu komisi teologi dan sosial untuk merumuskan Korporatisme ini. Hasilnya, komisi ini mendifinisikannya begini: “A system of social organization that has at its base the grouping of men according to the community of their natural interests and social functions, and as true and proper organs of the state they direct and coordinate labor and capital in matters of common interest.

Jend. Soeharto akur dengan pemikiran ini, membayangkan suatu negara “para pekerja yang berkarya”, bukannya “para tukang cincong” atau “para pesolek politik” yang tidak ada kerjanya. Apalagi di dekade 1950-an Angkatan Darat gregetan melihat sidang-sidang Konsituante jalan di tempat.

Satu peringatan penting dari Pastor Beek kepada “jaringan komunikasi” ini adalah, negara Korporatisme mudah jatuh kedalam Fasisme seperti pengalaman Engelbert Dollfuss di Austria, atau António de Oliveira Salazar di Portugal, juga Benito Mussolini di Italia.

****

KETIGA presiden selanjutnya berada di dalam suatu pemerintahan peralihan yang relatif singkat dan penuh ketegangan domestik. Presiden B.J. Habibie memerintah selama 17 bulan, Presiden Abdurrahman Wahid selama 21 bulan dan Presiden Megawati Soekarnoputri selama kira-kira 3 tahun, melanjutkan masa jabatan Presiden Wahid yang mengalami impeachment. Tidak ada satu pun yang 5 tahun penuh.

Ciri penting di masa ketiga presiden itu adalah secara bertahap “kekuasaan politik” terdistribusi dari tangan seorang presiden— sebagaimana menjadi ciri pemerintahan Soekarno dan Soeharto— ke banyak tangan lainnya seperti badan legislatif (DPR, DPRD), daerah otonom, kelompok-kelompok kepentingan, termasuk kontrol dari media massa. Angkatan bersenjata yang pernah menjadi pilar stabilitas politik nasional, juga telah meninggalkan praktek-praktek politik.

Presiden Habibie dalam pemerintahannya yang singkat disibukkan berbagai agenda reformasi politik yang ruwet, terutama persiapan pemilu dipercepat, masalah stabilitas ekonomi, dan masalah referendum di Timor Timur. Dia memang tidak sempat mengunjungi Vatikan. Juga tidak ada kesempatan berjumpa Paus di tempat lainnya.

Namun begitu, visi “damai di bumi” Habibie sejalan dengan dua tokoh Katolik yang berperan besar di dekade itu, Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo, pemenang Nobel Perdamaian 1996 (bersama Ramos Horta) dan Pastor Y.B. Mangunwijaya, budayawan dan tokoh masyarakat dari Kali Code pemenang Aga Khan bidang arsitektur dan Ramon Magsasay bidang sastra.

Presiden Habibie baru menjabat sebulan, tanggal 24 Juni 1998 dia sudah bertemu Uskup Belo di kantor kepresidenan saat itu, Bina Graha, Jakarta. Referendum Timor Timur masih setahun lagi terjadi, 30 Agustus 1999. Menteri Luar Negeri Ali Alatas ikut dalam pertemuan itu.

Sesudahnya, dihadapan jurnalis dalam dan luar negeri Belo menyampaikan, “We spoke primarily about things concerning improving the situation in East Timor. President Habibie is ready through his government to improve it.  Many of the suggestion I presented, he supported them fully. He is very open and kind, a humanistic minded president…

Di bulan Februari 1999, Presiden Habibie datang memberikan penghormatan terakhir dihadapan jenazah Y.B. Mangunwijaya yang terbaring di gereja Katedral Jakarta, bahkan menyediakan pesawat Herkules untuk membawa kawannya sejak masa kuliah di Aachen itu kembali ke Yogyakarta untuk dimakamkan.

****

PRESIDEN Abdurrahman Wahid bertemu Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 5 April 2000. Itu suasana pasca Referendum di Timor Timur yang di mata dunia internasional penuh pelanggaran HAM. Begitu banyak korban jiwa berjatuhan. Nama dua orang Yesuit yang terbunuh, Pastor Albrecht Karim Arbi dan Pastor Tarcisius Dewanto, menjadi perhatian Vatikan. Dunia internasional tahu, ini kelakuan militer Indonesia yang sakit hati dengan lepasnya provinsi ke-27 itu.

Dunia internasional waktu itu mengharapkan Presiden Wahid dapat mengendalikan militer. Dan Wahid memang kemudian dikenang sebagai pelopor penertiban militer melalui “kartu” promosi jabatan Jend. Agus Wirahadikusuma sebagai Panglima KOSTRAD (malah mau dijadikan KASAD), juga melalui “kartu” pemecatan jabatan Jend. Wiranto sebagai Menko Politik & Keamanan. Suatu harga yang harus dibayarnya melalui berbagai kerusuhan seperti di Maluku yang dibuat sedemikian rupa menjadi “Islam vs Kristen”, selain berbagai intrik politik lainnya di level Pusat. Ancaman disintegrasi atas masalah Aceh dan Papua juga memanas.

Walaupun demikian, sosok Abdurrahman Wahid bagi kalangan Katolik adalah sahabat lama yang saling mengisi. Dia bersama-sama Y.B. Mangunwijaya dan Frans Magniz Suseno berjuang di Forum Demokrasi yang didirikannya sebagai antithesis arus utama demokrasi à la Soeharto. Secara pribadi, Wahid juga kawan akrab Kardinal Darmaatmadja, seorang Yesuit.

Abdurrahman Wahid sudah sejak jauh sebelum jadi presiden adalah sosok agamawan sekaligus budayawan pluralis dan humanis tulen. Ribuan lembar halaman berbagai pemikirannya menjadi saksi soal ini. Dia meyakini, “Sebagai mayoritas di negeri ini, dengan melindungi kaum minoritas, justru itu menunjukkan kekuatan Islam yang sebenamya.” Tidak heran, Israel yang Yahudi, yang menjadi musuh mayoritas dunia Islam dijadikannya teman.

Ketika Abdurrahman Wahid pergi untuk selamanya, 30 Desember 2009, sebagai Uskup Agung Jakarta, Julius Kardinal Darmaatmadja memberikan public statement: “Bagi kami umat Katolik, pengaruhnya sangat besar. Meski dia seorang Muslim, dia mampu menjadi berkat bagi umat beragama lainnya… Secara pribadi dan sebagai pimpinan gereja Katolik di Jakarta, kami merasa sedih dan merasa kehilangan.”

Pada tahun 1996, Wahid pernah datang ke pertemuan internasional komunitas San Egidio di Italia, dan berbicara dibawah tema “La pace è il nome di Dio“… artinya, perdamaian adalah hakekat nama Allah.

****

PRESIDEN terakhir Indonesia yang mengunjungi Paus di Vatikan adalah Megawati Soekarnoputri, tanggal 10 Juni 2002. Seperti dua presiden sebelumnya, pemerintahan Megawati juga menghadapi warisan masalah masalah fundamental selama 3 tahun pemerintahannya.

Lepas dari kekurangannya, Presiden Megawati memiliki prestasi yang harus diakui. Dia yang berhasil membawa Indonesia ke luar dari IMF pada 2003, sekaligus mengembalikan kepercayaan bahwa Indonesia sudah ke luar dari krisis 1998. Selama Megawati jadi presiden, Indonesia tidak memiliki hutang baru baik kepada IMF, Bank Dunia atau negara lain. Dia juga menangkap 21 pengemplang BLBI semacam David Nusa Wijaya, Hendrawan, Atang Latief, Uung Bursa, Prayogo Pangestu, Syamsul Nursalim, Hendra Rahardja, Sudwikatmono, Abdul Latief.

Setelah berhasil menjaga stabilitas politik, kabinet Megawati memulai kembali pembangunan infrastruktur vital yang terhenti sejak krisis 1998, antara lain Tol Cipularang (Cikampek-Purwakarta-Padalarang), Jembatan Surabaya Madura (Suramadu), Tol Cikunir dan rel ganda kereta api.

Ada tiga hal penting yang barangkali layak ditulis dengan tinta emas. Pertama, pemerintahan Megawati memprakarsai dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di tahun 2002; Kedua, melalui Keppres 34/2004 dia menertibkan bisnis TNI, melanjutkan usaha penertiban militer yang dirintis Presiden Wahid; Ketiga, pemerintahan Megawati yang pertama kali mengadakan pemilihan umum presiden secara langsung di tahun 2004, meskipun dia sendiri dikalahkan oleh Susilo B. Yudhoyono.

Soal kedekatan Megawati Soekarnoputri dengan kalangan Katolik tidak dapat dilepaskan dari pengalaman pribadi masa kecilnya bersama ayah-bundanya. Kedekatan pribadi Soekarno dengan kalangan Katolik sejak pembuangan di Ende seperti diulas pada bagian awal tulisan ini, tentu juga menjadi kedekatan batin Megawati secara pribadi.

Ibu Fatmawati tentu pernah berkisah kepadanya bagaimana Megawati kecil dilindungi oleh Gereja Katolik di masa revolusi dulu.

Keadaan semakin genting, maka Presiden Soekarno memindahkan Ibu Kota dari Jakarta ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946, di kota itulah Megawati lahir setahun kemudian, 23 Januari 1947. Megawati berusia kurang dari 2 tahun, sewaktu Belanda melancarkan Agresi Militer II, 19 Desember 1948, dan menangkap para pemimpin Republik. Soekarno terlebih dahulu diasingkan ke Brastagi, lalu ke Prapat sebelum dipindahkan ke Bangka bergabung besama pemimpin Republik lainnya.

Dalam suasana sedih tertekan seperti ini, Uskup Agung Semarang Albertus Soegijapranata yang juga telah memindahkan Keuskupannya ke Yogyakarta sebagai sikap solidaritas dan kesetiaan kepada Republik, memberikan perlindungan dan tumpangan kepada Ibu Negara pertama Indonesia itu bersama putri kecilnya Diah Permata Megawati  Setiawati Soekarnoputri di kompleks Gereja Santo Yosef Bintaran, yang terletak di tepi Timur Kali Code.

Megawati tentu masih ingat, ketika Uskup Soegijapranata wafat di Belanda 22 Juli 1963, Presiden Soekarno tidak mau sahabatnya itu dimakamkan disana dan mengirimkan pesawat khusus menjemput jenazahnya. Peti mati Soegijapranata baru tiba di Kemayoran 28 Juli, tetapi pada 26 Juli Soekarno telah menerbitkan PP 152/1963 yang menetapkan Soegijapranata sebagai Pahlawan Nasional.

Di gereja Katedral Jakarta, kader Pastor Frans van Lith itu dibaringkan sebelum dibawa ke Semarang untuk dimakamkan, Presiden Soekarno datang mengucapkan pidato perpisahan yang mengharukan. Di samping jenazah uskup patriotik itu, Ibu Fatmawati menitikan air matanya.

****

PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono dalam dua kali pemerintahan sejak 2004 selama hampir 10 tahun kemudian, telah menyaksikan tiga periode kepausan, yaitu Yohanes Paulus II, Benediktus XVI dan Fransiskus.

Selama kurun waktu itu tidak pernah Yudhoyono berkunjung ke Vatikan. Sebaliknya Indonesia juga tidak pernah menerima kunjungan seorang Paus. Bahkan juga belum terdengar berita Yudhoyono pernah bertemu seorang Paus dalam kesempatan manapun di berbagai forum internasional ataupun kesempatan lainnya.

Presiden Yudhoyono juga tidak hadir ketika dunia internasional hadir di Vatikan, 8 April 2005, pada upacara pemakaman Paus Yohanes Paulus II. Saat itu Vatikan menjadi perhatian hampir semua media sekelas CNN, BBC, Fox News, juga jadi perhatian para pemimpin yang hadir disana seperti Sekjen PBB Kofi Annan, Presiden George Bush, Pangeran Charles, PM Tony Blair, Presiden Jacques Chirac, PM Mikhail Fradkov, PM Paul Martin, Raja Juan Carlos I, Raja Carl Gustaf XVI, Raja Abdullah II, Presiden Mohammad Khatami, PM Recep Tayip Erdogan, Presiden Moshe Katzav, PM Lee Hai-chan, dan banyak lagi dignitaries lainnya.

****

JADI apa itu “Lobi Vatikan”, jika hal ini memang sungguh suatu realitas? Benang merah historisnya barangkali adalah sekumpulan orang Katolik yang mau menjadi seperti garam, larut menjadi 100% Katolik sekaligus 100% Indonesia.

Garam itu terasa asinnya, tetapi tidak kelihatan bentuknya. Seperti itulah orang Katolik seharusnya kata Pastor Beek: “Larut tetapi tidak hanyut”.

Castle Hill, Amerika Serikat 77904, hari Kerahiman Ilahi, 27 April 2014.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun