Jend. Soeharto akur dengan pemikiran ini, membayangkan suatu negara “para pekerja yang berkarya”, bukannya “para tukang cincong” atau “para pesolek politik” yang tidak ada kerjanya. Apalagi di dekade 1950-an Angkatan Darat gregetan melihat sidang-sidang Konsituante jalan di tempat.
Satu peringatan penting dari Pastor Beek kepada “jaringan komunikasi” ini adalah, negara Korporatisme mudah jatuh kedalam Fasisme seperti pengalaman Engelbert Dollfuss di Austria, atau António de Oliveira Salazar di Portugal, juga Benito Mussolini di Italia.
****
KETIGA presiden selanjutnya berada di dalam suatu pemerintahan peralihan yang relatif singkat dan penuh ketegangan domestik. Presiden B.J. Habibie memerintah selama 17 bulan, Presiden Abdurrahman Wahid selama 21 bulan dan Presiden Megawati Soekarnoputri selama kira-kira 3 tahun, melanjutkan masa jabatan Presiden Wahid yang mengalami impeachment. Tidak ada satu pun yang 5 tahun penuh.
Ciri penting di masa ketiga presiden itu adalah secara bertahap “kekuasaan politik” terdistribusi dari tangan seorang presiden— sebagaimana menjadi ciri pemerintahan Soekarno dan Soeharto— ke banyak tangan lainnya seperti badan legislatif (DPR, DPRD), daerah otonom, kelompok-kelompok kepentingan, termasuk kontrol dari media massa. Angkatan bersenjata yang pernah menjadi pilar stabilitas politik nasional, juga telah meninggalkan praktek-praktek politik.
Presiden Habibie dalam pemerintahannya yang singkat disibukkan berbagai agenda reformasi politik yang ruwet, terutama persiapan pemilu dipercepat, masalah stabilitas ekonomi, dan masalah referendum di Timor Timur. Dia memang tidak sempat mengunjungi Vatikan. Juga tidak ada kesempatan berjumpa Paus di tempat lainnya.
Namun begitu, visi “damai di bumi” Habibie sejalan dengan dua tokoh Katolik yang berperan besar di dekade itu, Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo, pemenang Nobel Perdamaian 1996 (bersama Ramos Horta) dan Pastor Y.B. Mangunwijaya, budayawan dan tokoh masyarakat dari Kali Code pemenang Aga Khan bidang arsitektur dan Ramon Magsasay bidang sastra.
Presiden Habibie baru menjabat sebulan, tanggal 24 Juni 1998 dia sudah bertemu Uskup Belo di kantor kepresidenan saat itu, Bina Graha, Jakarta. Referendum Timor Timur masih setahun lagi terjadi, 30 Agustus 1999. Menteri Luar Negeri Ali Alatas ikut dalam pertemuan itu.
Sesudahnya, dihadapan jurnalis dalam dan luar negeri Belo menyampaikan, “We spoke primarily about things concerning improving the situation in East Timor. President Habibie is ready through his government to improve it. Many of the suggestion I presented, he supported them fully. He is very open and kind, a humanistic minded president…“
Di bulan Februari 1999, Presiden Habibie datang memberikan penghormatan terakhir dihadapan jenazah Y.B. Mangunwijaya yang terbaring di gereja Katedral Jakarta, bahkan menyediakan pesawat Herkules untuk membawa kawannya sejak masa kuliah di Aachen itu kembali ke Yogyakarta untuk dimakamkan.
****