Tepuk tangan memenuhi ruangan. Di sudut matanya, Satrio melihat Mbah Karso mengangguk puas. Perjuangan mereka belum selesai, tapi setidaknya langkah pertama telah diambil.
Malam itu, di beranda rumahnya yang baru, sebuah rumah sederhana di pinggiran kota Tegal, Satrio dan Kinanti duduk bersama, mendengarkan suara kentongan dari kejauhan. Kinanti menyandarkan kepalanya di bahu Satrio.
"Mas," bisiknya, "aku hamil." Satrio menoleh, terkejut dan bahagia. "Tenane, Kin?"
Kinanti mengangguk. "Dan aku ingin anak kita nanti belajar bahasa Tegal sebagai bahasa pertamanya."
"Mesthi, Kin. Lan mengko bocah kuwi bakal ngerti nek ning saben tembung sing disinaoni, ana sejarah sing nyimpen kekuatan."
Di kejauhan, kentongan masih berbunyi, membawa pesan-pesan kuno yang kini memiliki makna baru.Â
Satrio mengeluarkan buku catatan kakeknya dan mulai menulis "Kanggo anakku sing durung lair. Rungokna critane bapakmu iki. Crita ngenani basa sing mbenahi sandi, ngenani perjuangan sing belih tau mati..."
***
Â
Delapan bulan kemudian, di rumah sakit kecil di Kota Tegal, tangisan bayi memecah keheningan malam. Putri pertama Satrio dan Kinanti lahir tepat saat kentongan berbunyi dua belas kali, waktu yang dianggap keramat dalam tradisi Tegal.
"Jenenge sapa, Mas?" tanya Kinanti lemah tapi bahagia.
"Kusuma Wicara," jawab Satrio, menggendong putrinya yang mungil.Â