"Berikan memori flash nya, atau gadis ini akan mati." Profesor Hendra mengarahkan pistolnya ke kepala Kinanti.
Satrio mengeluarkan memori flash dari sakunya. Tepat saat itu, Kinanti menendang sebuah tempat sampah ke arah Profesor Hendra. Dalam kekacauan singkat itu, Satrio menerjang sang profesor. Mereka bergulat memperebutkan pistol.
DOR!Â
Suara tembakan memecah keheningan malam. Satrio terhuyung, memegangi perutnya yang berdarah. Profesor Hendra tersenyum penuh kemenangan, mengambil memori flash yang terjatuh dari tangan Satrio.
"Bodoh," gumamnya, "kau pikir bisa mengalahkan organisasi sekuat ini?"
Â
Namun senyumnya segera pudar ketika membuka isi memori flash itu di laptop- nya. Kosong.
"Data yang asli ada di sini," Kinanti mengangkat sebuah kalung yang dipakainya. Sebuah USB mini tersembunyi dalam bandulnya.Â
"Dan aku sudah mengirim salinannya ke seluruh peneliti bahasa di Indonesia."
Profesor Hendra mengangkat pistolnya, tapi sebelum ia bisa menarik pelatuk, sebuah peluru melesat menembus bahunya. Tim keamanan khusus yang dihubungi Kinanti telah tiba.
***
Â
Setahun kemudian, di sebuah ruang kelas di pedalaman Kota Tegal, Satrio berdiri di depan sekelompok anak muda. Luka tembaknya telah sembuh, meninggalkan bekas yang mengingatkannya pada perjuangan mempertahankan warisan leluhur.
"Bahasa bukan sekadar alat komunikasi," katanya memulai kelas.Â