Mohon tunggu...
Jesamine margareth
Jesamine margareth Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Fakultas Hukum UPN “Veteran” Jakarta

Saya suka menyaksikan konten - konten tentang hal yang berhubungan dengan jurusan kuliah saya, hobi saya lainnya adalah dibidang kecantikan yaitu merias wajah.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mengenal Lebih Dalam Tentang Khulu' : Pengertian, Sebab-Sebab, dan Akibat Hukum

8 Mei 2024   11:24 Diperbarui: 8 Mei 2024   11:44 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengertian Khulu

Khulu' berasal dari bahasa Arab yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai talak tebus. Secara etimologi kata Khulu’ diambil dari kata “Khala’a” yang berarti (mencopot atau menanggalkan), maksudnya ialah suami menceraikan istri dengan suatu pembayaran yang dilakukan istri atas kehendak dan permintaan istri. Kata khulu’ tersebut diistilahkan dengan kata “khal’a ats-Tsauba” yang berarti menanggalkan atau melepaskan pakaian dari badan (pakaian yang dipakai). Kata yang “dipakai” diartikan dengan “menanggalkan istri”, karena istri adalah pakaian dari suami dan suami adalah pakaian dari pada istri. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat :187 yang berbunyi : ِح ل م اُ لَكُ يلَةَ ٰى ال رفَ ُث ال ِ صيَاِم لَ اِل م ِٕىكُ ۤ م ِلبَا س هُ ن نِ َسا كُ م ل ِلبَا س َواَ نتُ ُه ن ل َ م ّٰللاُ َعِلم م اَن كُ و َن كُ نتُ م تَ ختَانُ َسكُ م فَتَا َب اَ نفُ يكُ َو َعفَا َعلَ م ٰ َن َع نكُ ـ وا بَا ِش ُر وهُ ن فَال َوا بتَغُ َب َما ّٰللاُ َكتَ م وا لَكُ ُ َوكُل ُم يَتَبَي َن َحتٰى َوا ش َربُ وا لَكُ َخ يطُ ْلَ بيَ ُض ال َخ ي ِط ِم َن ا ْلَ سَو ِد ال ِر ِم َن ا فَ ج م ال ثُ اَتِ ُّموا َ اِلَى ال ِ صيَام ي ِل م تُبَا ِش ُر وهُ ن َوَْل ال َواَ نتُ و َن د فِى ٰع ِكفُ َم ٰس ِجِ َك ال ودُ تِل فَ َل ّٰللاِ ُحدُ َربُ وهَا ِل َك تَق ُن َكذٰ ِ ٰيتِ ه ّٰللاُ يُبَي ٰ ُه م ِللن ا ِس ا لَعَل و َن يَت قُ 

Yang artinya : “Dihalalkan bagimu pada malam puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkanmu. Maka, sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian, sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam. Akan tetapi, jangan campuri mereka ketika kamu (dalam keadaan) beriktikaf di masjid. Itulah batas-batas (ketentuan) Allah. Maka, janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka bertakwa.” Jadi secara sederhana dapat diartikan ”Mereka (perempuan) adalah Pakaian bagimu (laki-laki), dam kamupun adalah pakaian bagi mereka (perempuan)”. Menurut Sayyid Sabiq dalam buku Fiqih Sunnah 3, khulu’ merupakan perceraian antara suami-istri dengan harta kompensasi yang diberikan istri kepada suaminya. Jadi, khulu' adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri. Maka istri harus memberikan tebusan kepada suami. Menurut Sayyid Sabiq, uang tebusan yang diberikan istri kepada suami merupakan bentuk keadilan bagi suami yang sudah memberi mahar hingga menafkahi istrinya.

Pengertian Rujuk menurut Para Ulama Mazhab

a. Abu Hanifah bin Nu’man bin Tsabit Al-Taimi (Mazhab Hanafi), menurutnya khulu' adalah melepaskan ikatan perkawinan yang tergantung kepada penerimaan istri dengan menggunakan lafal khulu' atau yang semakna dengannya. Akibat dari akad ini baru berlaku jika mendapat persetujuan istri dan mengisyaratkan adanya ganti rugi bagi pihak suami. 

b. Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin’ Amr bin al-Harrits (Mazhab Maliki), ia mendefinisikan khulu’ sebagai talak dengan ganti rugi, baik datangnya dari istri maupun dari wali dan orang lain. Hal ini berarti, aspek ganti rugi sangat menentukan akad ini disamping lafal khulu’ itu sendiri menghendaki terjadinya perpisahan suami istri tersebut dengan ganti rugi. Menurut golongan ini, jika lafal yang digunakan adalah lafal talak, maka harus disebutkan ganti rugi. Namun apabila yang dipakai adalah lafal khulu’ tidak perlu lagi disebutkan ganti rugi, karena lafal khulu’ sudah mengandung pengertian ganti rugi.  

c. Abu Abdullah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (Mazhab Syafi), baginya khulu’ adalah perceraian suami dan istri dengan ganti rugi baik dengan lafal talak maupun lafal khulu'. Contohnya, apabila suami mengatakan ”saya talak engkau atau saya khulu’ engkau dengan membayar ganti rugi kepada saya sebesar...” kemudian istri menerimanya. 

d. Ahmad bin Hanbal (Mazhab Hanbali), ia mengartikan khulu' sebagai tindakan suami menceraikan istrinya dengan ganti rugi yang diambil dari istri atau orang lain dengan menggunakan lafal khusus. Dalam suatu riwayat dikatakan bahwa ulama Mazhab Hanbali mengizinkan terjadinya khulu’ tanpa ganti rugi. Namun pendapat ini lemah dikalangan ulama Hanbali. Pendapat khulu' terkuat ialah bahwa dalam khulu' aspek ganti rugi merupakan rukun khulu’. Maka, khulu' harus dengan ganti rugi dari pihak istri atau orang lain.

Jadi, dari pengertian – pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa khulu’ merupakan permintaan cerai/gugatan cerai dari istri kepada suami dengan syarat istri harus membayar ganti rugi atau iwadh sebagai tebusan mahar hingga nafkah dari suami kepada si istri selama pernikahan mereka. 

Sebab – sebab Khulu’ 

a. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 116 alasan khulu’ yakni 

1. Suami melanggar taklik-talak 

2. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinta ketidakrukunan dalam rumah tangga

b. Sebab-sebab Khulu’ menurut Syaikh as-Sa’di 

1. Istri tidak suka dengan akhlak suami, karena akhlak merupakan perhiasan batin

2. Istri tidak suka kepada fisik atau jasmani suami yang buruk, sebab bagusnya fisik merupakan perihiasan lahir

3. Adanya kekurangan pada aspek agama sang suami

4. Adanya kekhawatiran dari istri berupa ketidakmampuannya untuk menjalankan kewajibannya kepada suaminya, atau murka atau marah kepada suaminya.  

c. Sebab – sebab menurut ahli Agama Islam 

Menurut Ulama Fikih, penyebab terjadinya khulu’ antara lain adalah munculnya sikap suami yang meremehkan istri dan enggan melayani istri hingga senantiasa membawa pertengkaran. Dalam keadaan seperti ini Islam memberikan jalan keluar bagi rumah tangga tersebut dengan menempuh jalan khulu'. Inilah yang dimaksudkan Allah SWT dalam firman-Nya pada surah an-Nisa’ (4) ayat 128 yang berbunyi : ُس ْلَ نفُ ح ِض َر ِت ا َواُ ُح َخ ي ر َوال ُّصل ًحا ُهَما ُصل ِهَما اَ ن يُّ صِل َحا بَ ينَ ي و اِ ع َرا ًضا فَ َل ُجنَا َح َعلَ و ًزا اَ َها نُشُ بَ عِل ِن ا مَراَة َخافَ ت ِم ن َواِ ي ًرا ۝١٢ ِ و َن َخب ُ ِ َما تَ عَمل َكا َن ب وا فَِا ن ّٰللاَ َوتَت قُ وا ح ِسنُ َواِ ن تُ ال ُّش ح 

Yang berarti : “Jika seorang perempuan khawatir suaminya akan nusyuz atau bersikap tidak acuh, keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya. Perdamaian itu lebih baik (bagi mereka), walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Jika kamu berbuat kebaikan dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tidak acuh) sesungguhnya Allah Maha teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” Perdamaian dalam ayat ini artinya dengan mengakhiri hubungan suami istri melalui perceraian atas permintaan istri dengan kesediaannya membayar ganti rugi atau mengembalikan mahar suami yang telah diberikan ketika akad nikah berlangsung. Menurut Ibnu Qudamah adalah ketidakpuasan seorang istri dalam nafkah batin. 

Sebab – sebab lainnya terjadinya khulu' adalah, adanya kecemburuan istri terhadap suami, suami yang malas atau tidak mau mencari nafkah. 

Akibat Hukum Khulu’ 

Akibat hukum dari pengajuan permohonan cerai (khulu’) yang dilakukan oleh istri yang nusyuz ini, menurut sebagian besar ulama 4 (empat) imam madzhab berpendapat bahwa jika suami mengkhulu’ istrinya, ia berhak menentukan dirinya sendiri dan suami tidak boleh merujuknya karena istri telah mengeluarkan uang untuk melepaskan dirinya dari suaminya. Jumhur ulama telah bersepakat sesungguhnya suami yang menjatuhkan khulu’ tidak dapat rujuk kepada istrinya pada masa iddah, kecuali pendapat Ibnu Syihab dan Said al-Musayyad yang mengungkapkan bahwa apabila suami mengembalikan tebusan yang telah diambil dari istrinya, maka ia dapat mempersaksikan rujuknya. Sedangkan, jumhur ulama bersepakat pula suami diizinkan menikahi mantan istrinya yang sudah di khulu’ saat masa iddahnya atas persetujuan istrinya. 

Akibat Hukum Khulu’ menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) 

1. Perkawinan putus dengan talak ba’in sughra

Maksudnya perceraian yang tidak diperkenankan untuk rujuk kembali, namun diperbolehkan menikah lagi dengan syarat melakukan akad baru walaupun dalam keadaan iddah. Ketika pasangan suami istri melakukan perceraian dengan jalan khulu’ maka akan mengakibatkan jatuhnya talak ba’in sughra. Pernyataan mengenai diperbolehkannya melakukan akad baru bagi suami istri yang telah menjalankan khulu. Pendapat ini selaras dengan Surah Al-Baqarah ayat 230 yang berbunyi : َها ي هَم ِ َف قَ هُۥ َ غي َجا ًو ز َح َك ِتَن ى ٰ َط ن ِل َ ع َل َح َجنَا ُل َ َ َب م ن ِفَإ ر ُهۥ ل ُّح ِح ت َعُد َها لَ َف قَ َط ن ِج َرا َل َ َت ل َ َ َي ٍوم ن َمو ُعا َإ َ ن ِ ن اَ َ ن اَ َ يَ َت ن فَإ ِل َ ع َل َها ل ِنُ َ ٱ د ُ ُحدو ُك َِل َق يُبَي يُِقي ٱ د َ ُحدو ُما َوتِل َل لِ 

Artinya: ”Jika dia menceraikannya kembali (setelah talak kedua), perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia menikah dengan laki-laki yang lain. Jika (suami yang lain itu) sudah menceraikannya, tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan mantan istri) untuk menikah kembali jika keduanya menduga akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang (mau) mengetahui.” (Q.S Al-Baqarah ayat 230).

2. Berkurangnya jumlah talak dan tidak dapat dirujuk (Pasal 161 Kompilasi Hukum Islam) 

Talak menurut Hukum Islam hanya boleh dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali. Apabila seorang istri mengajukan permohonan cerai (khulu’), maka akan mengurangi jumlah talak, perceraian khulu’ tidak dapat dirujuk kembali. Menurut Syayuti Talib Talak khulu’ atau talak tebus adalah bentuk perceraian atas persetujuan suami istri yaitu dengan jatuhnya talak satu dari suami kepada istri dengan tebusan harta atau uang dari pihak istri yang menghendaki cerai dengan khulu’ tersebut. Pada Pasal 161 Kompilasi Hukum Islam memaparkan bahwa jika mengenai persoalan khulu’ maka berdampak perceraian itu mengurangi jumlah talak dan tidak bisa dirujuk. 

3. Istri mendapatkan iddah talak biasa (Pasal 155 Kompilasi Hukum Islam) 

Iddah ialah masa waktu terhitung dimana wanita menunggu untuk mengetahui kosongnya rahim, hal ini juga melalui perhitungan quru’ melalui pemahaman perhitungan masa bersih dari haid, kelahiran dan lain-lain. Dalam hal terjadinya permohonan cerai (khulu’) yang dilakukan istri yang nusyuz, maka masa iddahnya berlaku seperti talak biasa.  

4. Bekas suami bebas atas kewajiban memberikan bekas istri nafkah iddah (Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam) 

Mengenai nafkah iddah ini ialah sebuah kewajiban suami ketika terjadi perceraian dalam memenuhi kebutuhan istrinya setelah cerai, hal ini dilakukan selama istri dalam keadaan haid yang biasanya berjalan selama 3- 12 bulan. Akan tetapi hal ini tidak akan terjadi jika istri tersebut nusyuz walaupun permohonan cerai tersebut datang dari istri, hal ini secara langsung membebaskan suami tersebut atas kewajiban nafkah Iddah ini. 

5. Adanya nafkah hadhanah bagi anak 

Yakni nafkah yang diberikan kepada anak hingga anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri. Pasal 80 Ayat 4 Huruf (c) KHI menyatakan bahwa nafkah keluarga di mana di dalamnya termasuk nafkah kehidupan serta pendidikan bagi anak ditanggung oleh ayah. Begitupula setelah terjadi perceraian, Pasal 105 KHI menyatakan bahwa biaya pemeliharaan anak ditanggung oleh ayahnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa biaya pemeliharaan anak baik ketika sebelum perceraian maupun setelah perceraian tetap menjadi tanggungjawab seorang suami. Mantan istri juga berhak atas hak pemeliharaan anak atau hadhanah bagi anak yang belum berusia 12 tahun dan berhak juga atas mahar yang terhutang dengan dengan melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separuh apabila qabla al dukhul sesuai dengan Pasal 149 huruf (c) KHI. 

6. Tidak ada hak mut’ah (berupa uang atau benda) bagi si istri

Mut'ah merupakan suatu pemberian dari suami berbentuk uang atau barang kepada istri sebab adanya talak. Dalam hal terjadinya permohonan cerai (khulu’) yang dilakukan istri yang nusyuz, maka si istri tidak berhak menuntut hak mut’ah kepada suaminya. Pasal 158 Kompilasi Hukum Islam menyatakan istri yang mengajukan khulu’ tidak berhak atas mut’ah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun