Juga terdapat sebuah legenda asal-usul kota yang dikenal sebagai Kota Seribu Sungai yang menceritakan kuntilanak dan meriam karbit. Penulis yakin seluruh masyarakat Pontianak tahu tentang legenda ini.
Dipercaya bahwa Syarif Abdurrahman Alkadrie yang merupakan Sultan Pontianak pertama saat itu sedang mencoba untuk mendirikan pemukiman di sebuah pulau di Sungai Kapuas. Ketika ia menyusuri Sungai Kapuas, ia kerap diganggu oleh hantu kuntilanak.
Akhirnya Syarif Abdurrahman terpaksa melepaskan tembakan meriam untuk mengusir hantu sekaligus menandakan dimana meriam itu jatuh maka disanalah kesultanannya akan didirikan.Â
Isi meriam tersebut pun jatuh di sebuah pulau kecil antara Sungai Kapuas dan Sungai Landak, yang sekarang dikenal sebagai Kampung Beting.
Penulis tidak menemukan catatan sejarah yang membenarkan legenda dari kota yang lahir pada 23 Oktober 1771 ini, namun legenda ini sangat dipercayai hingga diajarkan di sekolah. Â
Festival meriam karbit
Pada awalnya meriam karbit dilakukan selama satu minggu penuh menjelang lebaran. Namun pemerintah daerah mengeluarkan aturan meriam karbit hanya dibunyikan tiga hari sebelum dan tiga hari sesudah Hari Idul Fitri.Â
Enam hari tersebut dirayakan sebagai Festival Meriam Karbit, di mana lebih dari 200 meriam tersebar di sepanjang Sungai Kapuas saling bersaut dentuman. Â
Dulu ketika Indonesia di bawah pemerintahan Orde Baru, tradisi meriam karbit dilarang oleh pemerintah. Setelah runtuhnya Orde Baru, masyarakat mulai melanjutkan tradisi turun temurun ini.
Festival Meriam Karbit selain untuk meramaikan Hari Idul Fitri juga dijadikan sebagai ajang lomba yang diikuti oleh puluhan regu. Salah satu regu tersebut adalah Kuantan Putra yang meraih juara satu pada tahun 2016 yang diwawancarai oleh Tribun Pontianak.Â
Mereka menyatakan bahwa dibutuhkan biaya lebih dari Rp10 juta untuk satu buah meriam karbit, belum termasuk biaya pembangunan panggung, biaya makan dan minuman hingga cat yang dibutuhkan. Dana yang mereka gunakan ini pun seluruhnya sumbangan dari masyarakat sekitar.