Masyarakat Indonesia dengan keberagaman budaya memiliki berbagai cara-cara unik dalam rangka menyambut dan merayakan Hari Idul Fitri. Di Kalimantan Barat, tepatnya di Kota Pontianak, masyarakat Muslim di sini merayakan hari kemenangan dengan membunyikan meriam karbit di pinggiran Sungai Kapuas.
Suara dentuman yang keras terdengar hingga sepenjuru Kota Pontianak, mengartikan Hari Idul Fitri sudah dekat. Untuk masyarakat seperti penulis yang tinggal tidak jauh dari Sungai Kapuas, kadang kaca rumah pun ikut bergetar karena dentuman meriam yang meriah. Â
Meriam karbit sangatlah istimewa untuk masyarakat Pontianak dibuktikan dengan diselenggarakan Festival Meriam Karbit setiap tahunnya. Meriam karbit juga ikut dalam cikal bakal Kota Pontianak ditemukan, yang berhubungan erat dengan sosok Kuntilanak.
Meriam karbit
Meriam karbit berbeda dengan meriam yang digunakan ketika perang dulu walaupun cara menyalakannya mirip. Meriam karbit dibuat dari kayu balok yang panjangnya sekitar 6 meter dan berdiameter sekitar 50 sentimeter.Â
Kayu yang digunakan untuk membuat meriam pun bermacam-macam, namun sekarang kebanyakan menggunakan kayu meranti.
Untuk membunyikan meriam, satu batang kayu tipis yang ujungnya dililit dengan kain akan dilumuri minyak tanah untuk menyulut api. Meriam kemudian diisi dengan air terlebih dahulu kemudian diikuti dengan kalsium karbita atau karbit.Â
Meriam setelah itu ditutup kemudian disulut dengan api. Untuk menarik perhatian masyarakat, meriam juga di cat warna-warni, dibungkus kain bermotif hingga diberikan aksesoris menarik lainnya.
Penulis juga menemukan tradisi menyalakan meriam karbit dalam rangka menyambut dan merayakan Hari Raya Idul Fitri bukan hanya ada di Pontianak, namun juga di kota-kota lain di Kalimantan bahkan hingga di provinsi Aceh.Â
Keraton Kadariah, istana Kesultanan Pontianak yang dipercaya sebagai dimana meriam jatuh pertama kali | Foto diambil dari Wikipedia/Zhilal Darma
Legenda kuntilanak dan meriam karbit
Pada tahun 2017, masyarakat dihebohkan dengan wacana dibangunnya patung kuntilanak raksasa dengan ukuran 100 meter di dekat Tugu Khatulistiwa, Kota Pontianak.Â
Pontianak memang kerap dihubungkan dengan sosok hantu yang satu ini, karena dalam bahasa Melayu memang Pontianak adalah sebutan untuk hantu kuntilanak.
Juga terdapat sebuah legenda asal-usul kota yang dikenal sebagai Kota Seribu Sungai yang menceritakan kuntilanak dan meriam karbit. Penulis yakin seluruh masyarakat Pontianak tahu tentang legenda ini.
Dipercaya bahwa Syarif Abdurrahman Alkadrie yang merupakan Sultan Pontianak pertama saat itu sedang mencoba untuk mendirikan pemukiman di sebuah pulau di Sungai Kapuas. Ketika ia menyusuri Sungai Kapuas, ia kerap diganggu oleh hantu kuntilanak.
Akhirnya Syarif Abdurrahman terpaksa melepaskan tembakan meriam untuk mengusir hantu sekaligus menandakan dimana meriam itu jatuh maka disanalah kesultanannya akan didirikan.Â
Isi meriam tersebut pun jatuh di sebuah pulau kecil antara Sungai Kapuas dan Sungai Landak, yang sekarang dikenal sebagai Kampung Beting.
Penulis tidak menemukan catatan sejarah yang membenarkan legenda dari kota yang lahir pada 23 Oktober 1771 ini, namun legenda ini sangat dipercayai hingga diajarkan di sekolah. Â
Festival meriam karbit
Pada awalnya meriam karbit dilakukan selama satu minggu penuh menjelang lebaran. Namun pemerintah daerah mengeluarkan aturan meriam karbit hanya dibunyikan tiga hari sebelum dan tiga hari sesudah Hari Idul Fitri.Â
Enam hari tersebut dirayakan sebagai Festival Meriam Karbit, di mana lebih dari 200 meriam tersebar di sepanjang Sungai Kapuas saling bersaut dentuman. Â
Dulu ketika Indonesia di bawah pemerintahan Orde Baru, tradisi meriam karbit dilarang oleh pemerintah. Setelah runtuhnya Orde Baru, masyarakat mulai melanjutkan tradisi turun temurun ini.
Festival Meriam Karbit selain untuk meramaikan Hari Idul Fitri juga dijadikan sebagai ajang lomba yang diikuti oleh puluhan regu. Salah satu regu tersebut adalah Kuantan Putra yang meraih juara satu pada tahun 2016 yang diwawancarai oleh Tribun Pontianak.Â
Mereka menyatakan bahwa dibutuhkan biaya lebih dari Rp10 juta untuk satu buah meriam karbit, belum termasuk biaya pembangunan panggung, biaya makan dan minuman hingga cat yang dibutuhkan. Dana yang mereka gunakan ini pun seluruhnya sumbangan dari masyarakat sekitar.
Tradisi meriam karbit telah ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia sebagai Warisan Budaya Takbenda. Selain itu, Festival Meriam Karbit Kota Pontianak juga mendapat pengakuan Museum Rekor Indonesia (MURI) pada tahun 2019 sebagai parade meriam karbit terbanyak, di mana terdapat 212 meriam karbit tahun itu, dan juga festival satu-satunya di dunia.
Dikutip dari wawancara Kumparan dengan budayawan Kota Pontianak Syafaruddin Usman, sekarang meriam karbit bukan untuk mengusir hantu Kuntilanak.Â
Namun dentuman meriam disimbolkan untuk mengusir hantu-hantu yang menganggu masyarakat yang sedang berpuasa, yaitu hantu hawa nafsu. Â Â
**
Sayangnya karena pandemi Covid-19, Festival Meriam Karbit sudah absen dua kali pada tahun 2020 dan 2021. Walaupun festival ditiadakan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Pontianak, masyarakat masih diperbolehkan memainkannya dengan menerapkan protokol kesehatan.
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, ketika melewati tepian Sungai Kapuas penulis tidak menemukan meriam warna-warni yang tertata rapi. Suara dentuman terdengar sesekali, namun tidak sesering dan semeriah dulu. Â
Tradisi meriam karbit adalah salah satu dari banyaknya tradisi turun temurun yang unik milik masyarakat Indonesia dalam rangka menyambut dan merayakan Hari Raya Idul Fitri. Semoga pandemi segera berakhir, agar meriam karbit dapat berdentum kembali di sepanjang Sungai Kapuas.
Baca juga artikel mengenai kuliner khas Ramadan di Kota Pontianak yang berjudul "Sotong Pangkong: Cemilan Khas Pontianak yang Dipukul Dengan Palu"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H